BerandaKulinerDange’ dan Lanteangoro’, Pelengkap Eksistensi Komunitas Bissu

Dange’ dan Lanteangoro’, Pelengkap Eksistensi Komunitas Bissu

Oleh:  M. Farid W Makkulau

Tulisan Sebelumnya: Ince’: Identitas Keturunan Melayu di Pangkep

PALONTARAQ.ID – SIAPA  kini yang tak mengenal Kecamatan Segeri Kabupaten Pangkep? Jika anda mengenal komunitas “waria sakti” yang disebut Bissu, niscaya anda akan mengenal pula daerah ini.

Ya, Kecamatan Segeri adalah pusat aktivitas Komunitas Bissu Dewatae’ di Pangkep. Jaraknya sekitar 70 km di utara Kota Makassar atau sekitar 30 km dari Pangkajene, ibukota Kabupaten Pangkep.

Tak banyak orang yang tahu bahwa di Segeri, selain Bissu sebagai obyek wisata budaya, juga dikenal Dange’ sebagai wisata kuliner dan Lanteangoro’ sebagai obyek wisata alam.

Dange’ dan Lantengoro’ adalah dua sisi berbeda yang telah lama menjadi pelengkap eksistensi Komunitas Bissu.

Di sepanjang jalan poros Segeri-Mandalle yang dilewati transportasi darat dari dan ke Makassar-Toraja berjejer ratusan penjual jajanan khas dange (Turis mancanegara menyebutnya dange(r) atau danger).

Dange’ adalah penganan tradisional yang terbuat dari campuran beras ketan hitam, gula merah dan kelapa.

Kuliner khas ini yang biasanya hanya dapat dinikmati paska panen padi kini dapat dinikmati dan dipesan sepanjang hari dan malam di Segeri.

Dange akan terasa lebih nikmat jika disajikan hangat berteman kopi sambil menyaksikan pemandangan Bulu Lanteangoro’ (Gunung tertinggi di Segeri, berada di timur Jalan Poros Segeri-Mandalle).

Dange. (foto: mfaridwm/palontaraq)
Dange. (foto: mfaridwm/palontaraq)

Dalam setiap penyelenggaraan Mappalili (Upacara Adat Turun Sawah) dan Mappadendang (Upacara Adat Paska Panen Padi) selalu dihadirkan kuliner tradisional Dange’.

Kalau disajikan pada Upacara Adat Mappalili maka Pulo Bolong (tepung beras ketan hitam) yang dipakai membuat Dange adalah hasil panen tahun sebelumnya, sedangkan Dange’ yang disajikan pada Ritual Mappadendang adalah Pulo Bolong hasil panen padi yang baru saja dilaksanakan.

Bissu adalah Tokoh utama dari kedua penyelenggaraan ritual adat Mappalili dan Mappadendang tersebut. Mengapa harus ada Dange di setiap acara ritual adat tersebut, tentunya Bissu-lah yang lebih mengetahuinya.

Gunung Lanteangoro nampak di kejauhan. (foto: mfaridwm)
Gunung Lanteangoro nampak di kejauhan. (foto: mfaridwm)

Selain Dange’, Bulu Lantengoro’ juga menjadi saksi bissu perjalanan Budaya Komunitas Bissu Dewatae’ di Segeri Pangkep.

Kalau saja tak ada Bulusaraung yang berdiri kokoh diatas dua kabupaten, Pangkep dan Maros maka Bulu Lanteangoro’ boleh jadi adalah Gunung tertinggi di Kabupaten Pangkep.

Secara harfiah, Lante’ (bugis) bermakna sampai atau tiba, sedang angngoro’ (bugis) artinya mengorok atau mendengkur.

Penamaan bulu’ (gunung) ini dikonfirmasi dari fakta betapa berbisanya kawali atau badik (senjata tradisional Bugis Makassar) orang Segeri.

Jika mengenai kulit lawan atau menyentuh sedikit dagingnya saja, terutama yang berbentuk gecong dan taji maka dapat dipastikan orang yang terkena tersebut akan mangngoro’, meregang nyawa.

Penamaan Lanteangoro’ pada gunung tertinggi di Segeri tersebut dari sisi karakter orang Segeri sangat sepadan.

Kata “Segeri” sendiri diduga berasal dari kata “Se’geri” (bugis) yang berarti “tegas”, “menegaskan” atau “menggertak”. Orang Segeri dalam perjalanan sejarahnya memang dikenal banyak situasi perang dan pembunuhan.

Karenannya orang Segeri diharuskan tegas dan tidak boleh kalah gertak dari orang lain. Kokohnya Bulu Lanteangoro’ lebih kokoh lagi tekad dan semangat orang Segeri yang sangat menyenangi mendaki gunung keramat tersebut.

Orang Segeri meyakini bahwa segala macam ilmu hitam seperti doti, seppu’, pammoso’, senjata sakti atau sihir akan hilang pengaruhnya jika melewati puncak Lanteangoro’.

Bissu saat maggiri'. (foto:ullaberjutarasa/ist)
Bissu saat maggiri’. (foto-foto by: awan/ist)
Bissu Wa'nure saat melakukan atraksi maggiri' (foto: mfaridwm/ist)
Bissu Wa’nure saat melakukan atraksi maggiri’ (foto: mfaridwm/ist)
Pusaka Bissu, rakkala yang dibungkus kain putih. (foto: mfaridwm)
Pusaka Bissu, rakkala yang dibungkus kain putih. (foto: mfaridwm)

Bagi Bissu sendiri pun meyakini bahwa jika arajang (pusaka) Bissu yang berbentuk rakkala’ (bajak sawah) rusak, patah, atau lapuk sehingga tidak dapat digunakan lagi dalam penyelenggaraan upacara adat maka itu berarti penggantinya dalam proses alamiah telah ada di puncak Lanteangoro’, tentunya setelah melakukan serangkaian ritual tertentu.

Kenapa sampai harus menjemput pusaka atau penggantinya di Bulu Lanteangoro’, tentunya hanya Bissu yang lebih mengetahuinya.

Dange’ dan Bulu Lanteangoro’ dengan sendirinya bagaikan dua sisi mata uang yang menjadi pelengkap eksistensi komunitas Bissu DewataE di Pangkep.

Jikalau kita mengunjungi Kecamatan Segeri Pangkep dan belum sempat menyaksikan atraksi seni tari maggiri’ (menusuk tubuh dengan keris) yang biasa dilakoni Bissu, minimal kita dapat menikmati kuliner khas Dange’ seraya memandang dari jauh kekokohan Bulu Lanteangoro’ di sebelah timur jalan poros Makassar-Parepare dari dan ke daerah tujuan wisata lainnya, Tana Toraja. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT