BerandaSejarah LokalSekilas Sejarah dan Budaya Tabo-tabo

Sekilas Sejarah dan Budaya Tabo-tabo

Oleh:  M. Farid W Makkulau

PALONTARAQ.ID – DESA Tabo-Tabo adalah satu diantara lima desa yang berada dalam lingkup wilayah Kecamatan Bungoro, Kabupaten Pangkep. Untuk sampai di desa yang berada di daerah lereng pegunungan sebelah timur Kecamatan Bungoro ini, dapat ditempuh sekitar 30 menit dengan jarak sekitar 18 km dari ibukota kecamatan atau 35 menit dari ibukota kabupaten.

Desa Tabo-Tabo memiliki luas wilayah daratan + 3421 km2 dengan batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Ma’rang dan Segeri, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Labakkang, sebelah barat berbatasan dengan Ma’rang dan Labakkang dan sebelah timurnya berbatasan dengan Desa Mangilu dan Kabupaten Bone.

Peta Tabo-tabo. (foto: mfaridwm)
Peta Tabo-tabo. (foto: mfaridwm)

Secara administratif, Desa Tabo-Tabo terdiri atas empat dusun, yaitu: Dusun Satu yang terdiri atas Kampung Salo Mettie, Accedange, dan Lappa Pandang. Dusun dua, yang terdiri atas Tabo-Tabo selatan, Liu Boddong, dan Panggalungang. Dusun Tiga, yang terdiri atas Kampung Pottuppung, Tinjo Bali, Padang Pare, dan Lampaniki serta Dusun empat, yang terdiri atas Kampung Bonto Tangnga, Batu Putih, dan Cangkoleng.

Wilayah Desa Tabo-tabo didominasi daratan untuk pertanian, perkebunan dan kehutanan serta pegunungan karts. Beberapa bagian kecil dari pegunungan karst tersebut dieksploitasi oleh perusahaan marmer.

Tabo-Tabo memiliki potensi tenaga kerja yang cukup besar dan terbesar di seluruh pelosok dusun dimana terdapat Kelompok Tani, SPP, Majelis Ta’lim, PKK, Kader Posyandu, Karang Taruna, Pelajar dan Mahasiswa, Lembaga Pembangunan Desa (LPD), Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan Perangkat Desa lainnya yang merupakan urat nadi pelaksanaan roda pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan.

Asal Muasal Nama Tabo-Tabo

Penulis wawancara dengan M.Saleh, Imam Masjid Bonto Tangnga. (foto: ist)
Penulis wawancara dengan M.Saleh, Imam Masjid Bonto Tangnga. (foto: ist)

Secara harfiah, Tabo berarti bulatan. Kata ini, dalam Bahasa Bugis mendapatkan konfirmasi dari beberapa tokoh masyarakat yang penulis wawancarai.

Seperti diungkapkan Muhammad Saleh (71), Imam Masjid Babul Khaerat,Bonto Tangnga Desa Tabo-tabo kepada penulis. “Dahulu masyarakat punya kebiasaan mengambil pasir di sungai dan membentuknya menjadi bulatan. Kegiatan ini oleh masyarakat setempat disebut aktabo atau maktabo”, ujarnya.

Penulis menduga bulatan pasir yang dimaksudkan tersebut adalah bulatan pasir yang bercampur atau diikat oleh tanah sungai sehingga bisa terbentuk atau membentuk layaknya bola pasir.

Senada dengan Muhammad Saleh, Pengurus Forum Desa “Forum Tabo-Tabo Sejahtera”, ibu Syamsiah yang juga Kaur Umum di Kantor Desa Tabo-Tabo mengungkapkan bahwa apa saja kue atau adonan kue yang dibuat layaknya membentuk bulatan pada bagian atasnya maka dinamai Maktabo, atau membuat bulatan.

Jadi, menurutnya Tabo-Tabo berarti bulatan-bulatan (tidak persis layaknya bola, hanya bulatan pada bagian atasnya), sedangkan maktabo berarti membuat bulatan.

Penulis wawancara dengan M. Jasmin, Tokoh masyarakat di Tabo-tabo selatan. (foto: ist)
Penulis wawancara dengan M. Jasmin, Tokoh masyarakat di Tabo-tabo selatan. (foto: ist)

Sementara M. Jasmin (55), Tokoh masyarakat dan mantan Kepala Dusun I di Tabo-tabo selatan ini mengungkapkan bahwa penamaan Tabo-tabo terkait kebiasaan masyarakat yang akrab menggunakan “Bila” (buah pohon lokal, biasa terdapat di rawa atau sungai) sebagai timba air atau tempat makan.

Buah “Bila” tersebut biasanya dipotong dua, setengah lingkaran, dan bulatan setengahnya itulah yang disebut Tabo-tabo. Hal senada diungkapkan Umar Zain, bahwa yang dimaksudkan Tabo-Tabo adalah bulatan, yang dianggapnya bulatan tidak seperti bundaran bola, tapi setengahnya saja.

Pemerintahan Lokal di Tabo-Tabo

Jauh sebelum terbentuknya Tabo-tabo sebagai suatu desa, maka Tabo-tabo yang penduduk awalnya ini adalah pengungsian dan pelarian dari Bone. Inilah sebabnya mengapa masyarakat Tabo-tabo berpenutur Bahasa Bugis.

Menurut M. Jasmin, gelombang kedatangan orang Bone, khususnya orang Lamuru, Bone barat ke Tabo-tabo ini boleh jadi disebabkan karena perang berkepanjangan dan paceklik pangan.

Tabo-tabo pada saat kedatangan orang Bone ini ketika itu masih merupakan hutan dan tanpa penguasaan kerajaan manapun, sehingga dapat dikatakan orang Bone inilah yang membuka lahan persawahan dan permukiman.

Wa' Bempu, Kepala Desa ketiga Tabo-tabo. (foto: repro/mfaridwm)
Wa’ Bempu, Kepala Desa ketiga Tabo-tabo. (foto: repro/mfaridwm)
Muhammad Syukur, Kepala Desa keempatTabo-tabo. (foto: repro/mfaridwm)
Muhammad Syukur, Kepala Desa keempat Tabo-tabo. (foto: repro/mfaridwm)

Setelah terbentuknya komunitas pada dua wilayah, yaitu di Tabo-Tabo Toa dan Bonto Tangnga yang didiami orang Bone, maka bersepakatlah mereka untuk membentuk unit pemerintahan lokal yang disebut Pammatoangan.

Matoa Tabo-tabo Toa mengikhlaskan dirinya berada dibawah kekuasaan Karaeng Pangkajene di Pangkajene. Berturut-turut yang pernah menjadi Matoa di Tabo-tabo Toa adalah Matoa Cambang Nome, Matoa Matoa Messa (Hamzah), dan Matoa Made. Penulis tidak mendapatkan informasi masa kekuasaan masing-masing Matoa di Tabo-tabo Toa ini.

Berbeda dengan Pammatoangan di Tabo-Tabo Toa, Pammatoangan di Bonto Tangnga lebih memilih berada dibawah kekuasaan Kekaraengan Labakkang di Labakkang.

Berturut-turut yang pernah menjadi Matoa di Bonto Tangnga adalah Matoa Puang Masiri, Matoa La Kocci, dan Matoa Pare. Penulis juga tidak mendapatkan informasi masa kekuasaan masing-masing di Pammatoangan Bontoa Tangnga ini.

Penulis wawancara dengan Kades Tabo-tabo, Umar Zain,S.Kom, MM. (foto: ist)
Penulis wawancara dengan Kades Tabo-tabo, Umar Zain,S.Kom, MM. (foto: ist)

Setelah terbentuk Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) sebagai Daerah Tingkat (Dati) II Sulawesi Selatan, Bupati HA Mallarangeng Dg Matutu menetapkan wilayah ini sebagai desa, dengan nama Desa Tabo-Tabo Tangnga pada Tahun 1961 sebagai gabungan dari kesatuan wilayah Pammatoangan sebelumnya, wilayah Matoa Tabo-tabo Toa dan wilayah Matoa Bonto Tangnga.

Pada Tahun 1977 bersamaan dengan selesainya Pembangunan Bendungan Tabo-Tabo, Desa Tabo-Tabo Tangnga diubah namanya menjadi Desa Tabo-Tabo pada masa pemerintahan Bupati Pangkep HM Arsyad B.

Menurut Umar Zain,S.Kom, MM, Kepala Desa Tabo-Tabo saat ini, berturut-turut disebutkannya Kades yang pernah memerintah di Tabo-Tabo paska kekuasaan Pammatoangan adalah H. Borahima selama 33 tahun, Suyuti (Plt Kades selama 2 Tahun), Wa’ Bempu (selama 8 Tahun), M. Syukur (selama 5 tahun), H. Mansyur (Plt Kades selama 1,6 Tahun), Umar Zain (Periode Pertama, 6 Tahun), Iskandar (Plt Kades selama 1 Tahun), Umar Zain (Periode kedua Kades, 2014-2019)

Sosial Ekonomi Masyarakat Tabo-Tabo

Masyarakat Desa Tabo-tabo Adalah Petani Sawah dan Petani Kebun. Dalam menggarap sawah dan kebunnya, masyarakat selalu bergotong royong. Membajak sawah umumnya menggunakan rakkala (bajak sawah) dengan tenaga sapi.

Pada kegiatan panen, masyarakat menggunakan pisau kecil yang disebut rakkapeng dan umumnya dilakukan perempuan. Sistim pertanian sawah hanya dilakukan sekali setahun yaitu pada musim hujan dan kegiatan gotong royong lebih khusus diperhatikan pada perbaikan tanggul dan irigasi.

Pada masa pemerintahan Kepala Desa H. Borahima dalam Tahun 1980-1985, banyak masyarakatnya yang memilih merantau ke Kalimantan, Kendari, Palopo dan bahkan ke Malaysia untuk meningkatkan taraf hidupnya dibanding harus bertahan menghadapi musim paceklik.

Pemerintahan desa tetap dilanjutkan oleh H. Borahima sampai dengan Tahun 1990, kemudian dilanjutkan oleh Kepala Desa kedua bernama Wa’ Bempu. Di masa Wa’ Bempu inilah perusahaan marmer PT. Batara Indo Surya mulai masuk survey dan beroperasi di Tabo-Tabo. Setelahnya, masuk pula perusahaan marmer lainnya PT GMR, banyak warga yang ikut direkrut sebagai karyawan.

Air Terjun Tabo-tabo dalam kawasan Balai Diklat Kehutanan. (foto: s_halim)
Air Terjun Tabo-tabo dalam kawasan Balai Diklat Kehutanan. (foto: s_halim)

Dalam masa pemerintahan Kepala Desa Muhammad Syukur, PT. Semen Tonasa sudah mulai pengambilan silika di lokasi Dusun 3, yaitu di Padang Pare, dan seterusnya berlanjut di pemerintahan Kepala Desa Umar Zain sampai sekarang.

Masuknya perusahaan marmer dan semen di Tabo-Tabo ini secara tidak langsung mengubah cara pandang masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya, di satu sisi tetap menggarap lahan persawahan dan perkebunannya, di sisi lain mengurus dirinya sebagai karyawan/pegawai di perusahaan.

Budaya khas Masyarakat Tabo-Tabo

Paska berakhirnya kekuasaan Pammatoangan, maka yang berlaku adalah kesepakatan tidak tertulis bahwa tidak ada Arung (Bangsawan dalam bahasa bugis) di Tabo-Tabo karena disadari asal masyarakatnya adalah pendatang yang menghadapi kekurangan pangan.

Hal inilah yang memunculkan istilah “Padaki” yang artinya: Semua orang sama atau kita semua sama. Maksudnya tidak ada pembedaan antara orang yang asalnya arung dengan orang yang tidak ada dasarnya Arung.

Hal ini sudah berlaku di Tabo-tabo sejak masih terdiri dari dua dusun, yaitu: Kampung Salo Mettie, Pattuppung, Panggalungan dan Tabo-tabo Selatan di wilayah dusun satu dan Kampung Bonto Tangnga, Cangkoleng, Batu Putih, Padang Pare, Lampaniti, Tinjo Bali di wilayah dusun dua sebelum dimekarkan menjadi empat dusun sebagaimana adanya sekarang.

Adat yang berlaku di Tabo-tabo ini masih berlaku sampai sekarang, yaitu kenyataan dan pemakluman bersama bahwa tidak ada arung (bangsawan) di Tabo-tabo.

Menikmati kesegaran air terjun Tabo-tabo dalam kawasan Balai Diklat Kehutanan. (foto: sahriah_halim)
Menikmati kesegaran air terjun Tabo-tabo dalam kawasan Balai Diklat Kehutanan. (foto: s_halim)

Kesepakatan tidak tertulis tentang ketiadaan arung tersebut, lama kelamaan berubah penyebutan dari padaki menjadi padakki, yang sekarang istilah “Padakki” ini menjadi nama ibukota desa.

Meski begitu dalam prakteknya, masyarakat Tabo-Tabo tetap meyakini bahwa semua orang bisa makan bersama dalam satu tempat makan (dahulunya yang dipakai adalah bulatan atau potongan Buah Bila) karena tidak ada puang atas orang lain, dan karenanya semua budaya gotong royong atau bekerja bersama harus terus dihidupkan untuk sama-sama menghadapi kehidupan ekonomi.

Tidak ada ‘Budaya Arungeng’ di Tabo-Tabo, yang ada adalah budaya pertanian, yaitu budaya menghidupkan tradisi makan bersama paska paden padi sebagai wujud kesyukuran.

Tradisi makan bersama ini masih lestari sampai sekarang dan dilaksanakan bersamaan di lokasi kampung yang sudah disepakati dari dahulu, yaitu di Bonto Tangnga, Pisi-pising, Takcepo, Tabo-tabo yang masuk dalam wilayah Dusun Satu dan Pakrasangan dan Balang Ngura di wilayah dusun dua.

Tradisi makan bersama ini juga selalu dimeriahkan dengan acara “Massaung Manu” setelahnya. Kegiatan sabung ayam ini tentu saja sekadar hiburan dan tanpa dibumbui dengan taruhan atau perjudian. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT