BerandaHighlightMenangkal Radikalisme, Menjaga Indonesia

Menangkal Radikalisme, Menjaga Indonesia

Oleh: Luthfi A. Mutty (Sumber Terbuka: DISINI)

Tulisan sebelumnya: Kenapa DPR tidak butuh Masukan Rakyat?

PALONTARAQ.ID – Pada tanggal 25 Oktober 2019, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai NasDem melaksanakan Focus Group Discussion (FGD). Saya jadi pembicara. Topiknya: Menangkal Radikalisme, Menjaga Indonesia.

Dua pembicara lainnya, Mayjen (Purn) Supiadin Aries Saputra, Anggota DPR RI Periode Tahun 2014-2019. Juga mantan Pangdam Aceh dan Pangdam Bali. Ada pula Jaleswari Pramodawarhani, Deputi V Kantor Staf Kepresidenan (KSP) membidangi Politik, Hukum dan Keamanan.

Saya banyak membahas peran Kepala Daerah dalam menangkal radikalisme. Karena memang itulah pengalaman dan kompetensi saya. Dalam pandangan saya, radikalisme akan tumbuh subur di lahan yang penuh Kemiskinan, Ketimpangan, dan Ketidakadilan.

Maka penangan radikalisme harus dilakukan di dua sisi. Pertama,  Sisi hulu. Pada sisi ini, berkenaan dengan tujuan pemberian otonomi. Yakni untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat.

Tujuan lainnya, harus mampu meningkatkan daya saing daerah. Dua hal ini dilaksanakan paralel. Daya saing yang meningkat akan mendorong tumbuhnya iklim usaha. Hal ini akan membuat terciptanya lapangan kerja. Implikasinya, tenaga kerja terserap, pengangguran berkurang dan angka kemiskinan menurun.

Maka Kepala Daerah harus memiliki data mengenai kantong-kantong kemiskinan. Memberi kesempatan kepada warga setempat untuk terlibat dalam kegiatan pembangunan. Jangan biarkan mereka menjadi penonton di daerahnya sendiri. Karena itu bisa memicu lahirnya ketidak-adilan dan kecemburuan sosial.

Pendeknya, yang harus dilakukan adalah “Pembangunan Daerah”. Bukan sekedar “pembangunan di daerah”.

Upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat dan daya saing hanya mungkin terjadi jika keamanan dan ketertiban terjamin. Maka kesejahteraan, keamanan dan ketertiban ibarat dua sisi dari selembar uang.

Foto bersama dengan Narasumber FGD. (foto: ist/palontaraq)
Foto bersama dengan Narasumber FGD. (foto: ist/palontaraq)

Kedua, dari Sisi hilir.  Ini bentuknya law enforcement. Di sisi ini, Kepala Daerah juga berperan penting. Radikalisme selalu bergandengan dengan Terorisme. Juga menjadi benih terjadinya konflik. Maka dapat dipastikan akan berujung pada terganggunya Keamanan dan ketertiban.

Kepala Daerah dari dulu secara mandatori bertanggung jawab atas terciptanya keamanan dan ketertiban di wilayahnya. Tugas mandatori itu dapat dilihat dari berbagai peraturan perundangan. Mulai Perpu No.23 Thn 1959 tentang Pernyataan Keadaan Bahaya, hingga UU No.7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial.

Selain itu, semua UU tentang Pemerintahan Daerah mengatur tugas mandatori itu. Bahkan UU No.18 Tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) mengatur bahwa “Kepala daerah memegang kebijakan politik polisionil bleid” di daerah.

Jika sewaktu waktu terjadi keadaan yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban dalam masyarakat, maka Kepala Daerah dapat menggunakan polisi dan tentara.

Meski begitu, sebagai negara demokrasi, prosedur penggunaannya harus sesuai prinsip dan asas pemerintahan demokratis. Di negara demokrasi, tentara dan polisi tunduk pada penguasa sipil yang mendapat mandat dari rakyat. Itulah makna dari kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat.

Maka polisi hanya boleh bergerak atas permintaan Kepala Daerah.  Sementara tentara, atas perintah presiden. Artinya, polisi dan tentara tidak boleh bergerak sendiri dan atas inisiatif sendiri.

Maka untuk menyelesaikan masalah tanpa masalah, penggunaan kekerasan secara paksa yang absah ( legitimate coersive power), harus teratur dan terukur. (*)

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT