BerandaSosial BudayaNarasi BudayaBare'-bare'na Cenrana Luwu

Bare’-bare’na Cenrana Luwu

Oleh:  La Oddang Tosessungriu

PALONTARAQ.ID – “Titti atauwi Luwu’keng // Abiona kitonangi // Titti abiowi Luwu’keng // Ataunna kitonangi // Tellengngi kisitellengeng // MEne’ kisimEnereng // Kisiomporeng patimpa’ baja-baja // TebbakkE tongengngE // ..

(Jikalau Luwu kami miring ke kanan // Sisi kirinya yang kami tumpangi // Kalaupun Luwu kami miring ke kiri // Sisi kanannya yang kami tumpangi // Tenggelam pun kami sama tenggelam // Kalaulah terapung maka kami terapung bersama // Terbit bersama menyingkap hari esok // Kebenaran takkan mati // ..)

Memasuki gerbang abad 16, Cenrana yang merupakan suatu anak negeri Tana Luwu diluar tapal batas, tak mampu dipertahankan. Ekspedisi pasukan yang dipimpin oleh Sang Datu Luwu TosEngereng dikalahkan secara telak oleh pasukan Bone dibawah komando ArumponE La Tenrisukki sendiri (LSW, LAKB, LAL).

Sejak itu, negeri satelit Luwu yang paling penting di kawasan gerbang teluk Bone beralih pengguasaan ke kerajaan Bone yang terbit masa kejayaannya.

Namun penduduk negeri Cenrana yang sejak awal didirikannya oleh Kerajaan Luwu pada abad 14, merupakan rakyat Luwu yang setia.

Setelah negerinya dikuasai oleh Tana Bone, terjadilah pengungsian besar-besaran menuju induk negeri mereka, Tana Luwu.

Arung Cenrana menghadapkan rakyatnya kepada OPT Datu Luwu seraya memekikkan ikrarnya, yakni : “temmassarang akkEpuangenna To CEnranaE ri Luwu” (orang-orang pantang terpisahkan dengan pertuanannya di Luwu).

Topapoatakkeng Datu Luwu terharu demi menyaksikan kesetiaan Cenrana. Mereka diterima dan diberikan pemukiman khusus di kompleks perkampungan Ibukota (Lalempare’), serta Arung Cenrana Luwu’E ditabalkan sebagai Matoa, yakni salah satu diantara ketiga BatE TelluE(tiga kaum) yang telah ada sebelumnya, yaitu Lalengtonro’ dan WagE.

BatE TelluE, hal mana CEnrana termasuk didalamnya, merupakan jabatan penting dalam pemerintahan executive kerajaan Luwu, sehingga termasuk dalam jajaran Ade’ Seppulodua (Dewan Adat 12).

Selain itu, BatE TelluE termasuk pula dalam jajaran legislative, yakni Ade’ AsEra (Dewan Adat 9), bersama Ana’ TelluE dan BandEra TelluE.

Seiring perjalanan sejarah kerajaan Luwu pada abad-abad setelahnya, Kematoaan Cenrana ikut aktif dalam berbagai peristiwa penting.

Antara lain ikut mengawal Cenning Luwu Settiaraja selaku “Tune’ Kanna” (Ksatria Utama) pada perang laut di Teluk Buton, bersama Laksamana Gowa KaraEng Bontomarannu menghadang ekspedisi VoC dan Petta MalampE’E Gemme’na pada abad 17 (LAKL).

Matoa Cenrana yang tampil dengan keberanian tak lumrah pada peristiwa itu adalah Petta Baso’ Barani (Baso Baraniya), sebagaimana tertulis dalam Lontara Pattojo kepunyaan Almarhumah Andi Wara.

Pasukan Cenrana yang merupakan squad pasukan elit Luwu, berperan penting tatkala mengawal OPT Settiaraja menuju Benteng Sombaopu untuk bertemu sepupu sekalinya, yakni Sultan Hasanuddin.

Lontara Luwu mencatat jika pasukan Cenrana yang bertelanjang dada dalam balutan “SalEppang Kanna Tenribali” (slempang bersilang ksatria tak terlawan) dan bercelana putih, memagar diri OPT Datu Luwu berjalan lurus tak terhentikan menuju gerbang utama benteng Sombaopu dibawah hujan peluru lasykar Gowa dan Wajo.

Namun atas kuasa Allah, OPT Datu Luwu dan para pengawalnya tidak terluka. Demi menerima laporan perihal munculnya pasukan “aneh” itu, Sultan Hasanuddin menitahkan membuka pintu benteng dan mempersilahkan mereka untuk masuk.

“Mereka adalah pasukan Luwu yang mengiringi adikku Settiaraja, percuma ditembaki. Mereka tak terhentikan sebelum mencapai maksud dan tujuannya”, seru Sultan.

Pertemuan OPT Datu Luwu Settiaraja dengan Sultan Hasanuddin pada waktu itu menentukan arah sejarah Sulawesi dikemudian hari. ” Tibalah saatnya untuk berpikir arif, demi keselamatan rakyat anda saat ini. Lumbung beras BantaEng telah habis terbakar, rakyat Gowa kelaparan dan dijangkiti wabah penyakit.

Akhirilah perang ini dengan perundingan, berilah kesempatan kepada rakyatmu untuk bernafas sejenak, biarlah turunanmu kelak yang melanjutkan perang ini”, demikian nasehat OPT Settiaraja.

Pandangan itu rupanya dapat diterima Sultan Hasanuddin. Beberapa hari kemudian setelah pertemuan itu, pucuk cinta diulam tiba, utusan Admiral J.Spellman tiba untuk menawarkan perundingan gencatan senjata di Bungaya.

Pada masa pemerintahan OPT Datu Luwu Iskandar Petta MatinroE ri Matekko dalam pertengahan abad 19, peran kematoaan Cenrana sebagaimana tertulis pada jurnal Governor Celebes, menyatakan pasukan Cenrana merupakan pasukan ring 1 OPT Datu (PASPANPRES).

Selain itu, Cenrana pula merupakan penghubung Kedatuan Luwu pada zona kerajaan Bone, LimaE Ajatappareng, MassEnrEmpulu, Barru, TanEtE, Gowa hingga di kawasan Sinjai (Tondong, Bulo-Bulo dan Lamatti’).

Maka dalam hal ini, warga Cenrana adalah beragam dari kawasan-kawasan diatas. Mereka ada yang berbahasa Ugi, Makassar, Enrekang, Duri dan bahkan Toraja.

Pada akhirnya dimasa ini, yakni dalam era OPT Datu Luwu XL, sesungguhnya tidak banyak yang dapat saya banggakan selaku pribadi yang terlahir dari rumpun keluarga sederhana.

Namun menjadi bagian dari Pasukan Cenrana yang setia prawira ini adalah kebanggaan yang amat disyukuri. Saya bersama dan dipersaudarakan Allah dengan pribadi-pribadi beragam namun terikat dalam 1 komitmen, yaitu : mempertahankan Tana Luwu sebagai benteng terakhir pelestarian budaya Sulawesi Selatan, selaku Cenrana !.

Waktu menguji kami untuk setia pada komitmen ini! Kadangkala kami dianggap tidak ada, namun kami hadir dengan karya bhakti kepada OPT Datu sebagai perwujudan tunggal Tana Luwu.

Karya bhakti yang tak meminta pengakuan ataupun tanda jasa. Karena sesungguhnya janji kami adalah kepada Allah, sehingga ridho-Nya jua yang kami harapkan.

Anak-anakku serta saudara-saudaraku para Cenrana. Ketulusan kalian adalah anugerah yang paling membanggakan bagiku.

Wallahu ‘alam Bish-shawab. (*)

Artikel sebelumnya
Artikel selanjutnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT