BerandaBeritaDaerahTanaman yang Berharga

Tanaman yang Berharga

– Suatu Mutiara Pendidikan Kearifan Lokal Sulawesi Selatan

Oleh: La Oddang Tosessungriu

Related Post: Perkawinan Sah jika Kedua Mempelai sudah Tanam Pohon

PALONTARAQ.ID – “Nilai suatu kehidupan, diukur dari harganya,” – demikian kalimat ini, kurangkai dengan ala kadarnya hari ini. Bagaimana mengenal harga kehidupan? Sekiranya putraku bertanya kelak pada suatu ketika.

“Segala sesuatu memiliki harganya masing-masing, anakku. Namun yang menjadi neraca ukur bagi semuanya adalah Harga Diri. Tetapi, menilai harga diri haruslah dengan timbangan iman, dan iman itu mestilah terjaga validitasnya dengan barometer taqwa.”

Kembali pada penanaman bibit kemuliaan ini, suatu ketika saya mendapati seseorang yang selalu bahagia jika mendapati seorang anak balita. Tak peduli anak siapa, jika mendapati seorang bayi maka didekatinya lalu mencium tangan anak itu dengan penuh takzim.

Orangtua anak itu panik, “Aduh jangan dicium tangannya, Puang. Nanti ia kualat..”.

Maka dengan bersungguh-sungguh, orang itu berkata, “Subhanallah, saya sedang berhadapan dengan Waliyullah yang mulia dan penuh berkah. Semoga dengan mencium tangannya yang suci ini, segala kekotoran duniawiku yang kini penuh noda dan dosa sedikitnya dapatlah luntur..”.

Suatu ketika, seorang tua mengeluhkan sikap anaknya. “Ia tidak tahu tata krama, bahkan tidak menghargaiku samasekali selaku orang tuanya”.

“Wahai, seberapa banyak “harga” yang telah anda tanamkan dalam dirinya? Jika anda yakin telah cukup menanamkan “harga diri” yang cukup pada anak anda sejak dini, lalu memelihara dan merawatnya dengan suri tauladan yang baik,”

“Maka yakinlah bahwa pohon berharga itu akan berbuah lebat pada hari ini. Ia akan berbuah terus menerus tanpa mengenal musim, bahkan disaat anda kelak terbujur di haribaan-Nya.”

“Duhai, saya tidak menanamkan apa-apa, selain mempertaruhkan tulang belulang berselaput urat dan daging ini kepada kehidupan yang keras, demi menghidupinya dan membesarkannya sampai hari ini.”

“Menjalani ikhtiar itu, kuperas keringat dan darahku hingga berliter-liter. Apakah itu tidak cukup!” – Sanggah orang tua itu kemudian.

Subhanallah, anda ibarat memagari sebidang kebun yang luas, namun tidak berusaha menanamkan apapun didalamnya. Tanah itu lestari tak terinjak siapapun, berkat pagar batu karang yang anda susun disekelilingnya.

Namun anda tidak berusaha menanamkan apapun didalamnya, maka tumbuhlah semak perdu berduri, ..yang justru menusuk telapak kaki anda sendiri pada hari ini, cetus nurani ini.

“..katakan kepadaku, apa dan bagaimana menanamkan pohon ber-harga itu..”, pintanya memelas. Pepohonan itu bernama “harga diri”. Ia disebut dengan lafaldz berbeda oleh berbagai bahasa di muka bumi ini. Ia adalah “siri” di jazirah Sulawesi. Ia pula yang disebut “maruah” di negeri-negeri berbahasa Melayu.”

“Ia juga digelar “martabat” di Pulau Jawa. Iapun adalah “honour” bagi seluruh bangsa berbahasa Inggris. Namun apapun namanya, ia adalah “nilai kemanusiaan” yang paling dalam. Ia adalah keluhuran, dimana visi misinya adalah tak lain pencaharian menuju ridlo Tuhan semata. Namun ikhtiar pencarian itu akan menjadi petualangan tak berujung, jikalau tanpa disertai “ininnawa” (hati nurani kemanusiaan).

Seorang tua lain senantiasa tekun merawat tanaman berharga itu kepada anak-anaknya. Sejak anak-anak itu masih bayi mungil, ia memperlakukannya dengan lembut. Tatkala bayi itu telah belajar duduk sendiri, tak sekalipun ia lewat didepannya tanpa “marEllau tabE’” (amit takzim).

Ibundanya tak sekalipun merengut paksa segala sesuatu dari genggaman bayinya, melainkan dengan amat lembut, seraya menukar sesuatu yang lain, ..hal yang menurutnya aman digenggam buah hatinya. Perlakuan takzim itu didasari oleh rasa syukur tak terhingga atas karunia ini dan rasa sayang tak bertepi kepada buah hati ini.

Iapun tidak pernah “menyuruh” anak-anaknya, melainkan “meminta tolong” yang didahului permintaan maaf. “TabE’ Ana’ku, tulungnga’ cinampe’ taelliangnga’ colo’..” (Maaf nak, tolonglah sebentar untuk pergi membeli korek api..), sejak anak itu kecil hingga tumbuh besar.

Ketika anak itu kembali dari membelikan korek api, iapun menerimanya dengan mimik wajah cerah seraya memuji dengan tulus : “Maccaa ana’ku, kurusumange’ta, nak..” (Pintarnya anakku, terima kasih nak..). Maka anak-anak itu kini terbiasa dengan kata-kata halus dan penghargaan.

“Apakah dengan penghargaan semacam itu justru tidak membentuk si anak sebagai pribadi yang gila pujian dan angkuh dikemudian hari ?”, sergah orang tua itu pula. Wahai, ketulusan senantiasa menghasilkan buah yang manis.

Seorang Master Chef dari Eropa, dihadapkan pada sebuah tantangan, memasak semangkuk Coto Makassar. Ia diperlengkapi dengan buku recipie yang lengkap nan detail. Mulai dari ingredient dengan quantity-nya, hingga pada preparation sampai proses memasaknya.

Namun yakinlah, sehebat apapun ia dan selengkap apapun petunjuknya, namun ia tidak akan pernah bisa menghasilkan semangkuk Coto yang sebenarnya, tanpa pernah merasakan taste Coto Makassar, masakan orang lain sebelumnya.

Demikian pula dengan seorang anak, ia tidak akan pernah bisa menghargai orang lain, tanpa sebelumnya memiliki nilai harga diri dalam sanubarinya.

Maka seorang yang senantiasa menghargai orang lain, tak lain adalah orang yang memiliki perbendaharaan harga diri yang nilainya tak terkira.

Hartawan yang dermawan mendermakan harta dan seorang budiman yang dermawan nan mulia mendermakan budi pemuliaannya kepada sesamanya manusia tanpa pandang bulu.

Alkisah seorang ahli Lontara mengajarkan bab-bab (parE’) silsilah kepada anaknya. Setiap waktu beliau pula mengisahkan perihal tokoh-tokoh sejarah Sulawesi Selatan dan Barat yang amat dimuliakan karena kiprah kesejarahannya yang penuh dedikasi.

Hal mana, nama besarnya dikenang dan dibanggakan oleh anak turunannya dan bahkan oleh masyarakat sekampungnya. Taruhlah kata sebagai misal adalah tentang ketokohan Puetta MallinrungngE La OddampEro Arungmatoa Wajo Petta MatinroE ri Masigi’na.

Berkisahlah ia tentang sosok Arung Larompong yang fenomenal itu dengan penuh pemuliaan serta kekagumannya. Mulai dari nazabnya hingga riwayat kesejarahannya. Puteranya mendengarkan dengan takjub dan mata berbinar.

“Etta, apakah beliau adalah salahseorang nenek moyang kita ?”, tanyanya dengan penuh harap. Dengan tersenyum, Pallontara’ itu menggelengkan kepala. “Bukan, nak. Beliau DatuE bukanlah nenekku dan juga bukan nenek ibundamu..”.

Selanjutnya beliau menguraikan siapa-siapa anak turunan Arung Matoa Wajo yang juga sempat menjadi Arung Singkang dan Arung PEnEki tersebut.

Terbersit kecewa dalam hati anak itu, hingga memberanikan bertanya : “Nigatosi palE’ nEnEta idi’, Etta ?” (lalu siapa gerangan nenek kita, ayahanda ?).

Lagi-lagi dengan tersenyum maklum, orang tua itu berkata, “Aja’na jolo’ taissengngi abbatireng rialEta, Ana’ku. Ajeppui jolo’ abbatirengna tauwwE, mamuarE namujeppuitoi matu’ alEmu ripaggangkanna”

Artinya: “Janganlah dulu mengenal asal usul diri kita, anakku. Pahami dulu asal muasal orang lain, semoga kelak dengan begitu engkau akan mengetahui pula diri kita yang sesungguhnya.”

Bahwa orang lain disekitar kita adalah cermin dari kita yang sesungguhnya. Mengenali sosok manusia lainnya pada akhirnya didapati sosok kemanusiaan kita yang sesungguhnya.

Mengenali diri dimulai pada diri kita sendiri tak lain berakibat menumbuhkan benih ego dan kesombongan yang pertumbuhannya selalu lebih cepat dari akal budi dalam diri setiap manusia.

Segala hal diukur menurut persepsi kita. Padahal persepsi/anggapan seseorang sangat dipengaruhi oleh kadar pengetahuan dan kondisi emosional (obsesi ?) seketika itu.

Mengenali nenek moyang kita sebagai seorang bangsawan tinggi sehingga menganggap nenek moyang orang lain tarafnya “pasti” dibawah kedudukan nenek moyang kita. Maka semakin suburlah ego kesombongan itu hingga pada saatnya akan berbuah ujub dan pongah.

Kembali pada penanaman bibit kemuliaan ini, suatu ketika saya mendapati seseorang yang selalu bahagia jika mendapati seorang anak balita.

Tak peduli anak siapa, jika mendapati seorang bayi maka didekatinya lalu mencium tangan anak itu dengan penuh takzim. Orang tua anak itu panik, “Aduh jangan dicium tangannya, Puang. Nanti ia kualat..”.

Maka dengan bersungguh-sungguh, orang itu berkata, “Subhanallah, saya sedang berhadapan dengan Waliyullah yang mulia dan penuh berkah. Semoga dengan mencium tangannya yang suci ini, segala kekotoran duniawiku yang kini penuh noda dan dosa sedikitnya dapatlah luntur”.

Bahwa tangan-tangan kita telah ternoda oleh kotoran dosa yang telah mengkristal, terlebih jarang pula dibasuh dengan air wudlu. Maka bagaimana mungkin kita “pEdE” (percaya diri) memberikan tangan ini untuk dicium seorang Waliyullah yang tanpa dosa?

Wallahu ‘alam bish-shawab. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT