BerandaHumanioraTrauma Perempuan Barat dan Program Pemberdayaan Perempuan

Trauma Perempuan Barat dan Program Pemberdayaan Perempuan

Oleh: Dr. Adian Husaini *)

PALONTARAQ.ID – Owen Chadwick, dalam bukunya, “ The Secularization of the European Mind in the Nineteenth Century” , (New York: Cambridge University Press, 1975), menulis: “ Waspadalah terhadap seorang wanita jika Anda berada di depannya, bagal jika Anda di belakangnya, dan seorang pendeta apakah Anda di depan atau di belakang.

Artinya : “Berhati-hati, jika anda berada di depan wanita, hatilah-hatilah anda jika berada di belakang tarik, dan berhati-hatilah jika berada di depan atau di belakang pendeta.”

Begitulah trauma dan dendam masyarakat Barat, khususnya kaum perempuan Barat terhadap agama. Derajat mereka disejajarkan dengan keledai. Berbagai perlakuan yang mengerikan mereka terima. Banyak sekali perempuan di Barat yang menjadi korban pengadilan gereja (inkuisisi).

Perlakuan kejam terhadap perempuan di Barat inilah yang kemudian turut memicu gerakan pemberontakan perempuan dan menuntut persamaan dengan laki-laki, yang sekarang populer dengan paham “kesetaraan gender”. Ini tak lepas dari latar belakang sejarah perlakuan peradaban Barat terhadap perempuan.

Gerakan pembebasan perempuan tanpa kawalan agama ini akhirnya berujung pada ekstrimisme. Perlakuan terhadap perempuan kemudian bergerak dari satu kutub ekstrim ke kutub ekstrim lain: dari penindasan menuju kebebasan yang kebablasan.

Philip J. Adler, dari East Carolina University, dalam bukunya World Civilizations, (terbit tahun 2000), menggambarkan bagaimana kekejaman Barat dalam memandang dan memperlakukan perempuan. Sampai abad ke-17, di Eropa, wanita masih dianggap sebagai jelmaan setan atau alat bagi setan untuk menggoda manusia. Sejak awal penciptaannya, perempuan memang dipandang tidak sempurna.

Mengutip seorang penulis Jerman abad ke-17, Adler menulis: It is a fact that women has only a weaker faith (In God). Katanya, adalah fakta bahwa wanita itu lemah dalam kepercayaannya kepada Tuhan. Dan itu, kata mereka, sesuai dengan konsep etimologis mereka tentang wanita, yang dalam bahasa mereka disebut ‘female’ berasal dari bahasa Yunani ‘femina’.

Kata ‘femina’ berasal dari kata ‘fe’ dan ‘minus’. ‘Fe’ artinya ‘fides’, ‘faith’ (kepercayaan atau iman). Sedangkan ‘mina’ berasal dari kata ‘minus’, artinya ‘kurang’. Jadi ‘femina’ artinya ‘seseorang yang imannya kurang’ (one with less faith). Karena itu, kata penulis Jerman abad ke-17 itu: Therefore, the female is evil by nature. (Karena itu, wanita memang secara alami merupakan makhluk jahat).

Masyarakat Barat seperti terjebak dalam berbagai titik ekstrim dan lingkaran setan yang tiada ujung pangkal dalam soal nilai. Mereka berangkat dari satu titik ekstrim ke titik ekstrim lainnya. Dalam kasus homoseksual, dulu mereka memperlakukan mereka dengan sangat kejam dan sadis.

Robert Held, dalam bukunya, Inquisition, (Florence: Bilingual publishers, 1985), memuat foto-foto dan lukisan-lukisan yang sangat mengerikan tentang kejahatan Inquisisi yang dilakukan tokoh-tokoh Gereja ketika itu. Dia paparkan lebih dari 50 jenis dan model alat-alat siksaan yang sangat brutal, seperti pembakaran hidup-hidup, pencungkilan mata, gergaji pembelah tubuh manusia, pemotongan lidah, alat penghancur kepala, pengebor vagina, dan berbagai alat dan model siksaan lain yang sangat brutal.

Ironisnya lagi, sekitar 85 persen korban penyiksaan dan pembunuhan adalah perempuan. Antara tahun 1450-1800, diperkirakan antara dua-empat juta perempuan dibakar hidup-hidup di dataran Katolik maupun Protestan Eropa.

Dalam kasus gerakan feminisme Barat juga terjebak ke dalam titik-titik ekstrim. Jika dulu mereka menindas perempuan habis-habisan, maka kemudian mereka memberikan kebebasan nyaris tanpa batas kepada perempuan.

Lebih fatal lagi, sebagian tokoh agama mereka, kemudian mencari legitimasi dalil-dalil agama untuk melegalkan pandangan mereka tentang kebebasan perempuan yang kebablasan tadi.

Dalam buku “Feminist Aproaches to The Bible”, seorang aktivis perempuan, Pamela J. Milne, mencatat, bahwa dalam tradisi Barat, Bible manjadi sumber terpenting bagi penindasan terhadap perempuan.

Tahun 1895, Elizabeth Cady Stanton menerbitkan buku The Women’s Bible, dimana ia mengkaji seluruh teks Bible yang berkaitan dengan perempuan. Kesimpulannya, Bible mengandung ajaran yang menghinakan perempuan, dan dari ajaran inilah terbentuk dasar-dasar pandangan Kristen terhadap perempuan.

Berikutnya, Stanton berusaha meyakinkan, bahwa Bible bukanlah kata-kata Tuhan, tetapi sekedar koleksi tentang sejarah dan mitologi yang ditulis oleh kaum laki-laki. Sebab itu, perempuan tidak memiliki kewajiban moral untuk mengikuti Ajaran Bible.

Para tokoh agama Kristen kemudian memandang karya Elizabeth C. Stanton sebagai karya setan. (Phyllis Trible (et.al.), Feminist Aproaches to The Bible, (Washington: Biblical Archeology Society, 1995).

***

Itulah pengalaman kehidupan perempuan di Barat. Semoga perempuan muslimah — juga laki-lakinya – tidak terjebak dalam pemahaman yang keliru. Sebab, Islam tidak memiliki konsep yang merendahkan martabat perempuan. Pembagian peran di dunia adalah sebagai ujian bagi perempuan dan laki-laki, untuk dilaporkan nanti kepada Allah SWT, di Hari Akhir.

Karena memandang perempuan sebagai makhluk tertindas itulah, maka dimunculkan program khusus bernama “Pemberdayaan Perempuan”. Sampai-sampai dibikin kementerian khusus untuk itu. Padahal, saat ini, sudah begitu banyak perempuan yang berkemampuanuntuk menindas laki-laki yang tidak berdaya. Kasihan laki-laki! Tidak ada program dan anggaran negara khusus untuk memberdayakan mereka!

Wallahu A’lam bish-shawab. (*)

 

Dr. Adian Husaini, Jakarta, 30 Januari 2023.

SUMBER: www.adianhusaini.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT