BerandaKolomBila Prabowo kalah Akan Sulit bagi Pribumi bangkit

Bila Prabowo kalah Akan Sulit bagi Pribumi bangkit

bilateral-indonesia-dengan-tiongkok-jpg2_ratio-16x9
Presiden Jokowi dan Presiden Cina (foto: antarafoto)

Oleh: Buyung Tanjung 

PALONTARAQ.ID – SAYA termasuk orang yang meyakini peringatan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto bahwa Indonesia berpotensi bubar 2030. Kata “bubar” disini bukan berarti punahnya NKRI.

NKRI mungkin malah akan jaya tetapi sebagaimana yang Cak Nun-pernah katakan, bahwa saat itu Bangsa Indonesia (Pribumi) cuma jadi jongos dan kehilangan kendali atas Indonesia.

Saat itulah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bermetamorfosis jadi Negara Korporasi Republik Indocina. Peringatan Prabowo Subianto itu mengingatkan kita pada proses kolonisasi China atas Singapura.

Lihat juga: Jejak Digital: Jokowi sukses buka lapangan kerja buat TKA

Giliran kolonisasi Indonesia oleh Cina bukan suatu hal yang mustahil. Proses menuju itu dilakukan dalam empat tahap.

Empat Tahapan menuju Kepunahan

Tahap pertama, yakni melalui Dominasi Ekonomi. Tahapan ini telah mereka lewati dengan sukses. WNI turunan China sukses menguasai 85 % sektor ekonomi. Hulu dan Hilir. Sudah tidak ada lagi sector yang tidak mereka rambah dan kuasai.

Mulai dari bisnis perbankan, agri bisnis, bisnis property, pabrikan, perhotelan, ekspor-impor, otomotif, perkebunan, kehutanan, pertambangan, media massa, hingga ke hal yang paling mendasar dan strategis, yakni jadi agen, pedagang menengah, eceran dan distributor serta eksportir dan importir kebutuhan sembako, seperti minyak makan, beras, gula, garam, bawang putih dan merah, dan lain-lain.

Tahap kedua, yakni Penguasaan tanah. Oleh sebuah badan dunia, sebagaimana yang dikutip oleh Amien Rais, saat ini tanah negeri ini mulai dari hutan dan lahan pertanian serta pertambangan 74 % dikuasai mereka. Artinya apa, bahwa negeri ini sudah kehilangan kedulatan atas sumber daya alamnya.

Lihat juga: Ketika Masyarakat Adat menagih janji Jokowi

Tahap ketiga, yakni Demografi. Beberapa tahun belakangan ini populasi orang China melonjak pesat di sejumlah kota besar Indonesia, seperti Medan, Jakarta, Surabaya, Bali, Semarang, Bandung, Menado, Pekan Baru dan Kepulauan Riau.

Pesatnya pertumbuhan mereka ditengarai selain melalui angka kelahiran yg memang tidak dibatasi pemerintah, diduga masuk melalui gelombang imigran gelap setiap tahunnya. Atau memanfaatkan kebijakan pemerintah rezim Jokowi (Kepres 20 2018 tentang TKA) yang mempermudah masuknya tenaga kerja dari China dalam kaitannya dengan banyaknya investasi dan proyek RRC saat ini di Indonesia.

Indikasi politik demografi ini terlihat dari menjamurnya pemukiman yang diduga diperuntukkan untuk imigran China di berbagai kota saat ini. Para pengembang China sedang giat-giatnya membangun kota baru buat hunian mereka.

Lihat juga: Jokowi is Considered not credible in managing the Country

Pesatnya pertumbuhan Orang-orang China di negeri ini berbanding lurus dengan keberhasilan mereka memiliki dan menguasai lahan hunian yang makin hari makin luas. Baik karena dibeli dengan harga yang menggiurkan dari pribumi maupun dengan cara-cara mafia, seperti penggusuran pribumi secara paksa ala Kali Jodo, Kampung Pulo, Luar Batang dan Pasar Ikan Jakarta, maupun perampasan tanah negara seperti perampasan tanah PT KAI seluas 8,5 hektar di Medan yang sekarang berdiri megah Gedung Point Center.

Belum lagi kasus dugaan pengalihan fungsi ribuan hektar lahan ex perkebunan negara menjadi perumahaman mahal di pinggiran kota Medan. Kalau dahulu Orang-orang Cina cuma terkonsentrasi di inti kota untuk berbinis—sehingga pribumi tersingkir ke pinggiran—saat ini seiring dengan semakin meledaknya jumlah populasi WNI —mereka sudah pula menguasai lahan hunian di pinggiran.

Meningkatnya jumlah populasi dan penguasan mereka akan wilayah, akan mempengaruhi politik demografi. Kalau hari ini mereka baru tahap menguasai wilayah, tidak lama lagi karena komposisi penduduk dan luasnya wilayah yang mereka miliki, mereka segera akan jadi penguasa wilayah tersebut. Apakah jadi gubernur, walikota sebagai sebagamana pernah terjadi pada DKI, Kalimantan Barat, Bangka Belitung dan nyaris Medan.

“Kolonialisasi” China memang lebih halus dibanding dengan Belanda. Tapi sesungguhnya mereka lebih licik. Menurut amatan saya, melalui gelombang populasi itu, saat ini mereka sedang mengembangkan doktrin penjajahan sipil atas Indonesia.

Lihat juga: Jokowi janji muliakan Petani, Pemerintah kembali Impor Beras 1 Juta Ton Tahun ini

Bila Belanda membawa bedil (tentara) untuk mengkoloni Indonesia. China tidak memerlukan bedil untuk mengukuhkan hegomoni politiknyanya di Indonesia— dengan uangnya yang banyak mereka dengan mudahnya bisa “membeli” Oknum-oknum bersenjata bahkan pemimpin negeri utk mengamankan kepentingan mereka.

Tahap Keempat, Sekarang China-china itu sedang memasuki tahapan keempat. Yakni tahapan menegakkan supremasi politik. Pasca reformasi  Orang-orang China mulai memasuki dunia politik. Hasrat memasuki dunia politik ini terkait dengan kesuksesan mereka menguasai ekonomi.

Superioritas di bidang ekonomi itu telah melahirkan kelompok cina terpelajar. Kelompok ini lah yang mendorong lahirnya superioritas di bidang politik. Mereka tidak lagi puas mendominasi di bidang ekonomi saja. Mereka ingin ikut ambil bagian dalam kekuasaaan.

Dengan uangnya yang banyak dan penguasaan media yang luas, baik koran maupun televisi — politisi-politisi China relative cepat melesat popular. Dalam konteks inilah Ahok muncul dan hadir sebagai syimbol kebangkitan superioritas politik cina di Indonesia.

Lihat juga: Di Ambang Kemenangan, Prabowo tak Terbendung

Target para politisi China itu menurut dugaan saya bukan cuma mendudukkan Ahok Gubernur DKI, tapi menjadikan Ahok jadi RI-1. Karena itulah sosok Ahok dipoles sedemikian rupa sebagai Mr. Clean. Anti korupsi. Walaupun kenyataannya Ahok diduga terlibat korupsi Sumber Waras.

Alhamdulilah, mulut najis Ahok keseleo. Ahok kalah dan “masuk” Mako Brimob. Namun hilangnya kesempatan Ahok tidak otomatis mematahkan ambisi China melanjutkan rencana mereka mewujudkan doktrin penjajahan sipil mereka atas negeri ini. Tidak!

Melalui politik populasi, saya memperkirakan, kalau pemerintahan Jokowi tidak segera mengeluarkan regulasi membatasi jumlah keberadaan orang cina di Indonesia – kalau pemerintah tidak segera melakukan kebijakan merazia dan memulangkan imigran gelap yang masuk ke Indonesia.

Kalau pemerintah masih ngoyo dan ngeyel mempermudah masuknya Tenaga Kerja Asing dari China yang tidak dibatasi masa tinggalnya, saya memperkirakan pasca pilpres 2019 negeri ini akan dibanjiri  Bangsa China. Jumlah mereka bisa lebih banyak atau menyamai jumlah pribumi.

Target mereka ialah memenangkan capres dari kalangan bangsa mereka sendiri pada Pilpres 2024 dan seterusnya. Jadi pantaslah seeorang Prabowo mencemaskan bahwa Indonesia akan bubar 2030. Saya pikir kecemasan yang disuarakan Prabowo adalah juga kecemasan kita semua. Kecemasan ratusan juta anak bangsa.

Lihat juga: Jokowi tolak Delegasi Uyghur

Semua tentunya terpulang kepada kesadaran para pribumi. “kami sudah kerjakan apa yang bisa kami kerjakan. Sekarang kaulah yang tentukan arti nilai tulang tulang berserakan,” ucap penyair Khairil Anwar.

Apakah kemerdekaan yang ditebus oleh pendahulu-pendahulu kita dengan mengorbankan nyawa dan darah akan kita biarkan dirampas mereka ? Hanya tinggal satu cara untuk mencegah agar Indonesia tidak bermetamorfosis jadi “NKRI”, memenangkan Prabowo pada Pilpres 2019 ini. Bersama Prabowo kita rebut kembali kedaulatan yang dirampas para korporat.  (*)

 

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT