BerandaNarasi SejarahAdat Istiadat dan Sepakbola?

Adat Istiadat dan Sepakbola?

Oleh: Wim Poli, Guru Besar UNHAS

PALONTARAQ.ID – Apakah ada hubungan antara adat-istiadat dan sepak bola? Ternyata ada, menurut kasus yang diceritakan di bawah ini.

J.P.K. van Eechoud adalah Residen Papua pertama, berdasarkan keputusan Letnan Gubernur Jenderal Hubertus van Mook tertanggal 2 Februari 1947, yang berlaku surut mulai 15 Juli 1946.

Sebelum itu ia adalah perwira polisi, penjelajah Papua yang terkenal dan dihargai secara luas. Ia adalah orang kepercayaan Jenderal Douglas McArthur, lewat usahanya membuat peta Papua yang digunakan McArthur untuk mendarat pada 22 April 1944 di Hamada, sekitar 4,5 km dari Hollandia.

Untuk menunjang pemerintahannya, van Eechoud antara lain membentuk Batalyon Papua yang hanya terdiri atas orang-orang asli Papua.

Sehubungan dengan Batalyon Papua ini ada sebuah peristiwa menarik yang ditulis oleh van Eechoud di dalam bukunya, “Vergeten Aarde” (Bumi yang Dilupakan, 1951), yaitu tentang pertandingan sepak bola yang digagaskannya antara para anggota batalyon dari berbagai suku-bangsa di Papua.

Ia sendiri turut menyaksikan pertandingan pertama antara kesebelasan Hollandia dan Biak pada awal 1945. Di akhir pertandingan ia umumkan bahwa pertandingan pada minggu berikutnya adalah antara kesebelasan Biak dan kesebelasan Numfor. Segera terjadi kejadian yang tidak disangka-sangka.

Sebuah delegasi mendatanginya, meminta agar pertandingan tersebut dibatalkan. Alasannya, Biak dan Numfor adalah orang-orang dari satu suku-bangsa, sehingga tidak pantas bahwa mereka bertanding yang satu melawan yang lainnya.

Ternyata Sepakbola dan adat-istiadat adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan di dalam pikiran para anggota Batalyon Papua.

Kejadian ini diceritakan van Eechoud di dalam buku “Vergeten Aarde” di bawah judul “Geschonden Papoea-Wereld” (Dunia Papua yang Rusak).

Menurutnya, alam pikiran manusia Papua terusik oleh kontaknya dengan budaya baru yang datang dari luar. Para anggota Batalyon Papua berasal dari berbagai suku-bangsa.

Mereka dipersatukan dalam komunikasi lewat satu bahasa, yaitu bahasa Melayu. Mereka dipertemukan di satu tempat, yaitu asrama batalyon di Kontanica.

Mereka harus taat pada peraturan militer yang sama, yang diterapkan secara ketat. Sepintas lalu, dari luar, tampaknya mereka sudah dipersatukan.

Tetapi, mata van Eechoud yang jeli melihat bahwa di dalam diri manusia Papua yang hendak dipersatukannya itu masih ada keterikatan pada adat-istiadat lamanya, yang tampaknya baru dapat ditiadakan dalam diri manusia Papua generasi berikutnya melalui usaha yang sadar, terarah, dan terpadu.

Mengubah pola pikir manusia tidaklah secepat dan semudah membangun berbagai fasilitas fisik serta pidato yang memukau.

Tidaklah mengherankan bahwa para pamong praja Belanda yang ke Indonesia dahulu terlebih dahulu harus dibekali dengan pengetahuan “Indologie,” yaitu ilmu tentang Indonesia (sejarah, kebudayaan, filsafat), di Universitas Leiden dan Utrecht.

Jan van Baal (1909-1992), misalnya, menjadi Gubernur Papua pada tahun 1953-1958.

Sebelum ke Indonesia ia telah mencapai gelar Doktor Antropologi pada tahun 1934 dengan disertasi yang berjudul ““Godsdienst en Samenleving in Nederlands Zuid-Nieuw Guinea” (Agama dan Kehidupan Bersama di Papua Selatan).

Agama dan kehidupan bersama merupakan satu kesatuan. Masalah muncul ketika ada agama baru yang datang dari luar, yang berbenturan dengan adat-istiadat setempat.

Renungan: Bagaimana dengan pola pikir manusia Indonesia sekarang ini? Inti pembangunan adalah manusia dengan nilai-nilai yang dianutnya, yang tidak tampak.

Tanpa memperhatikan nilai-nilai tersebut, pembangunan fisik yang tampak berhasil mungkin akan berakhir dengan kegagalan yang tidak disangka-sangka. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT