BerandaNarasi SejarahRiwayat Raja Bone (27): La Parenrengi Arung Ugi

Riwayat Raja Bone (27): La Parenrengi Arung Ugi

Oleh: M. Farid W Makkulau

Tulisan Sebelumnya: Riwayat Raja Bone (26): La Mappaseling Arung Pannyili

PALONTARAQ.ID – Riwayat Raja Bone (La Parenrengi Arung Lompu (1845 – 1857) menggantikan pamannya La Mappaseling Arung Panynyili sebagai Arung Mangkaue’ ri Bone.

La Parenrengi adalah anak dari La Mappaewa Arung Lompu To Malompo ri Bone saudara kandung MatinroE ri Salassana. Sedangkan ibunya bernama We Tabacina atau Bau Cina Karaeng Kanjenne anak dari La Pasanrangi Petta CambangE Arung Malolo Sidenreng.

Dalam Lontaraq Akkarungnge ri Bone dijelaskan bahwa anak dari MappalakaE dengan Petta CambangE adalah : Pertama, La Patongai Datu Lompulle Ranreng Talotenre.

Petta CambangE inilah yang dipersiapkan menjadi Addatuang Sidenreng, namun karena berperang dengan saudaranya La Panguriseng sehingga kedudukannya itu direbut darinya. Kedua, La Unru Arung Ujung. Ketiga, We Tabacina Karaeng Kanjenne dan Keempat, We Batari. Yang terakhir ini meninggal di masa kecilnya.

We Tabacina kawin dengan La Mappaewa Arung Lompu To Malompo ri Bone. Dari perkawinannya itu lahirlah La Parenrengi, yang oleh Hadat Tujuh Bone diangkat menjadi Arumpone. Anak MappalakaE dengan Petta CambangE berikutnya adalah Toancalo Arung Amali Tomarilaleng Bone yang juga Ranreng Talotenre.

Berikutnya, We Rukiyah dan Sitti Saira Arung Lompu. Sitti Saira kawin dengan anak sepupu satu kalinya bernama Singkeru’ Rukka Arung Palakka MatinroE ri Topaccing. Dari perkawinannya itu lahirlah We Patima Banri Arung Timurung.

La Parenrengi Arung Ugi yang telah diangkat menjadi Arumpone dan masih tetap didampingi oleh pamannya yang bernama La Mappangara Arung Sinri.

Dalam suatu khutbah Jum’at namanya disebut sebagai Sultan Ahmad Saleh Mahyuddin. La Mappangara Arung Sinri masih tetap berjasa dalam memperbaiki hubungan antara Bone dengan Kompeni Belanda. Karena jasanya tersebutlah sehingga Kompeni Belanda benar-benar memperlihatkan perhatiannya dalam menjalin kerja sama dengan Bone.

Pembesar Kompeni Belanda yang ada di Ujungpandang sengaja masuk ke wilayah Kerajaan Bone sebagai tanda bahwa Bone dengan Kompeni Belanda bersahabat yang dimulai dari MatinroE ri Salassana.

Ketika Pembesar Kompeni Belanda yang bernama Tuan de Peres masuk ke Bone pada tahun 1846, Arumpone La Parenrengi menjemput dan menerimanya dengan baik.

Usai kunjungan Belanda ke Bone tersebut, La Mappangara Tomarilaleng Bone meminta kepada Arumpone agar dirinya dapat diberhentikan sebagai Tomarilaleng dan permintaan pamannya tersebut dipenuhi Arumpone dengan pertimbangan pamannya itu memang sudah tua dan ingin istirahat.

peta bone. (foto: ist/palontaraq)
peta bone. (foto: ist/palontaraq)

Dalam tahun 1849, maka berangkatlah pamannya tersebut ke Ujungpandang untuk bertemu Pembesar Kompeni Belanda Tuan de Peres. Kepada Arung Sinri Pembesar Belanda menunjukkan tempat yang baik untuk ditempati, yaitu Marusu’.

Setelah kesepakatan antara Arung Sinri dengan Pembesar Kompeni Belanda selesai dan Arung Sinri setuju untuk tinggal di Marusu’, maka kembalilah ke Bone mengumpulkan semua barang-barangnya dan segenap keluarganya untuk dibawa ke Ujungpandang.

Setelah semua barang-barangnya selesai dikemas dan segenap keluarganya yang akan mengikutinya dipersiapkan, La Mappangara Arung Sinri minta izin kepada kemanakannya Arumpone untuk berangkat ke Ujungpandang. Arumpone La Parenrengi melepas kepergian pamannya diikuti oleh beberapa keluarganya.

Arung Sinri bersama rombongannya berjalan menelusuri hutan, melewati Lappariaja akhirnya sampai di padang yang luas di Maros, di tempat yang telah ditunjukkan oleh Pembesar Kompeni Belanda, yaitu tempat yang bernama SessoE. Di tempat itulah Arung Sinri dengan seluruh pengikutnya menetap. Kepada pengikutnya dibagikan tanah untuk digarap sebagai sumber penghidupan dengan keluarganya.

Arung Sinri yang dikenal sangat patuh dalam melaksanakan Syariat Islam, maka iapun merasa tenang dan aman dalam beribadah ditempatnya yang baru itu.

Beberapa saat kemudian Arung Sinri memilih suatu tarekat untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, yaitu tarekat khalwatiyah. Pergilah ke Barru menemui seorang ulama’ yang bernama Haji Kalula. Inilah yang membimbingnya untuk lebih memperdalam ilmu agama Islam yang dianutnya. Anak cucunyalah secara turun temurun yang menjadi Pangulu Lompo Tarekat Khalwatiyah itu.

Pada tanggal 16 Februari 1857, Arumpone La Parenrengi meninggal dunia di Ajang Benteng sehingga digelari MatinroE ri Ajang Benteng. Arumpone ini digantikan oleh janda sepupu satu kalinya yang bernama We Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara. (*)

 

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT