BerandaSosial BudayaKearifan LokalKebijakan Nene' Mallomo di Sidrap

Kebijakan Nene’ Mallomo di Sidrap

Oleh:  Etta Adil

PALONTARAQ.ID – DALAM Kepustakaan Bugis, untuk terwujudnya permerintahan yang baik, seorang pemimpin dituntut memiliki 4 kualitas pribadi, sebagaimana banyak diungkap dalam Lontaraq Bugis, yaitu Maccai na Malempu; Waraniwi na Magetteng (Cendekia lagi Jujur, Berani lagi Teguh dalam Pendirian).

Ungkapan ini bermakna bahwa kecerdasan saja belum cukup, kecerdasan haruslah disertai dengan kejujuran. Banyak orang cendekia menggunakan kecerdasannya membodohi orang lain. Karena itu, kecerdasan haruslah disertai dengan kejujuran. Selanjutnya, keberanian saja tidak cukup tapi harus disertai dengan keteguhan dalam pendirian.

Orang yang berani tetapi tidak cendekia dan teguh dalam pendirian dapat disebut orang nekad. Salah seorang pemimpin bugis yang dalam Sejarah Sidenreng Rappang Abad XVI, dikenal memiliki empat kualitas pribadi tersebut adalah La Pagala Nene’ Malomo, seorang hakim (Pabbicara) dan murid dari La Taddampare, menjatuhkan pidana mati terhadap putranya sendiri yang amat dicintainya karena telah terbukti mengambil luku orang lain tanpa seizin dengan pemiliknya.

Tentu saja kejadian itu telah mencoreng muka ayahnya sendiri yang dikenal sebagai hakim yang jujur. Ketika ditanya mengapa ia memidana mati putranya sendiri dan apakah dia menilai sepotong kayu sama dengan jiwa seorang manusia, beliau menjawab, Ade’e temmakeana’ temmakke eppo (Hukum tidak mengenal anak dan tidak mengenal cucu).

Nene Mallomo. (foto: youtube.com/ist)
Nene Mallomo. (foto: youtube.com/ist)

Dalam Lontaraq La Toa, Nene’ Mallomo’ disepadankan dengan tokoh Bugis bijak lainnya seperti Puang Rimaggalatung dari Wajo dan KajaoLaliddong dari Bone.

Pidana mati itu dilakukan semata-mata untuk mempertahankan harga dirinya sebagai hakim yang jujur di tengah-tengah masyarakatnya. Sekiranya ia memberikan pengampunan kepada putranya sendiri, tentulah ia akan menanggung malu yang sangat dalam karena akan dicibir oleh masyarakat sekitarnya, dan wibawanya sebagai hakim yang jujur akan hilang seketika.

Bagi masyarakat Bugis, falsafah Taro Ada Taro Gau (satunya kata dengan perbuatan) adalah suatu keharusan. Manusia yang tidak bisa menyerasikan antara perkataan dan perbuatannya akan mendapat gelar sebagai manusia “munafik” (munape), suatu gelar yang sangat dihindari oleh manusia Bugis.

Salah satu petuah dari Nene’Mallomo mengatakan bahwa orang Sidrap harus mempunyai sifat Macca (pintar), Malempu (jujur), Getteng (konsisten), Warani (berani), Mapato (rajin), Temmapasilengang (adil) serta sifat Deceng Kapang (menghormati orang lain).

Nene’Mallomo juga merupakan penggagas falsafah hidup masyarakat Bugis Sidrap, yang terkenal dengan 5 (lima) M, yaitu: Massappa (mencari rezeki yang halal), Mabbola (membangun rumah dari rezeki yang halal), Mappabotting (mempererat silaturrahmi dengan ikatan pernikahan), Mappatarakka Hajji (menunaikan ibadah haji) dan Mattaro Sengareng (merendahkan diri dan keikhlasan).

Salah satu pappaseng (pesan) Nene’Mallomo bagi aparat kerajaan adalah “Tellu tau kupaseng: Arung Mangkaue’, Pabbicarae’, Suroe’. Aja pura mucapa’i lempue’ o Arung Mangkau’. Malempuko mumadeceng bicara, mumagetteng, apak i ariasennge’ malempu, madeceng bicarae’ lamperi sunge’. Apak teammate lempue’, temmaruttung lappae’, teppettu maompennge’, teppolo masselomoe'”.
Artinya:
“Aku berpesan kepada tiga golongan: Maharaja, pabbicara dan pesuruh. Jangan sekali-kali engkau meremehkan kejujuran itu, wahai maharaja. Berlaku jujurlah serta peliharalah tutur katamu, engkau harus tegas. Sebab kejujuran dan tutur kata yang baik itu memanjangkan usia.

Oleh karena takkan mati kejujuran itu, takkan runtuh yang datar, takkan putus yang kendur, takkan patah yang lentur”. Oleh karena kearifan serta kebijaksanaannya, Nene’Mallomo kemudian menjadi ikon Kabupaten Sidenreng Rappang dan sering disebut sebagai “Bumi Nene’Mallomo”.

Kabupaten Sidrap dalam lingkup Propinsi Sulawesi Selatan dikenal sebagai daerah lumbung beras. Keberhasilan panen padi di Sidrap adalah buah ketegasan Nene Mallomo’ dalam menjalankan hukum dan adat, dalam budaya masyarakat setempat dikenal Tudang Sipulung (Musyawarah besar) masalah pertanian yang dihadiri pemuka adat dan tokoh masyarakat. Sampai saat ini tradisi ini masih hidup dan dilaksanakan setiap tahun.

* * *

Lambang Kabupaten Sidrap (foto : google) Kabupaten Sidenreng Rappang terletak pada ketinggian antara 10-1500 mdpl. Topografi wilayahnya sangat bervariasi, dari wilayah dataran rendah seluas 879.85 km² (46.72%), berbukit seluas 290.17 km² (15.43%) dan bergunung seluas 712.81 km2 (37.85%).

Kabupaten Sidenreng Rappang merupakan salah satu sentra penghasil beras di Sulawesi Selatan. Hal ini terutama didukung oleh jaringan irigasi teknis yang mampu mengairi sawah sepanjang tahun. Beberapa jaringan irigasi yang ada di Sidenreng Rappang antara lain: Jaringan Irigasi Bulu Cenrana, mengairi 6000 hektar sawah, Jaringan Irigasi Bila, mengairi 5400 hektar sawah, dan Jaringan Irigasi Bulu Timoreng, mengairi 5400 hektar sawah.

Lambang Daerah Kabupaen Sidrap
Lambang Daerah Kabupaen Sidrap

Selain penghasil utama beras di Indonesia Bagian Timur, daerah ini juga merupakan penghasil utama telur ayam dan telur itik di luar Pulau Jawa.

Komoditas pertanian lainnya adalah kakao, kopra, dan kemiri. Masyarakat Sidrap adalah masyarakat pekerja keras, hal yang sangat ditanamkan Nene’ Malomo, “Resopa Tammangingngi Malomo Nalatei Pammase Dewata” (Hanya dengan kerja keras, Segala Pertolongan dan Rahmat Tuhan akan mudah datang”. Pesan Nene’ Malomo ini dijadikan Motto daerah oleh pemerintah dan masyarakat Sidrap sebagai jiwa dan semangat membangun daerahnya. (*)

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT