Laporan: Etta Adil
Related Post: Menengok Taman Sari, Kompleks Permandian Raja Jawa
PALONTARAQ.ID – Mengunjungi Keraton Kesultanan Ngayogyakarto Hadiningrat perlulah memperhatikan adab dan etika yang seharusnya berlaku sebagaimana aturan tidak tertulis dalam suatu kerajaan atau kesultanan.
Penulis berkesempatan mengunjungi kompleks kedhaton yang merupakan inti dari keraton secara keseluruhan. Pengalaman berada dalam kedhaton, sangat perlu penulis sharing disini mengingat seringkali banyak pengunjung yang terlupa.
Sebagaimana yang penulis pernah alami—mendapat teguran karena mengiyakan secara spontan permintaan pengunjung lainnya untuk dipotret, yang ternyata dalam posisi membelakangi beberapa abdi dalem yang duduk. Hal ini dalam etika keraton dianggap tidak sopan atau menyalahi Adab-adab dalam kedhaton.
Untuk memasuki area kedhaton, maka terlebih dahulu pengunjung harus melewati Pintu Gerbang Regol Donopratopo pada sisi selatan Kraton Yogyakarta, kompleks Sri Manganti. Di muka gerbang terdapat sepasang arca raksasa Dwarapala, Cinkorobolo di sebelah timur dan Bolobuto di sebelah barat.
Saat masuk dalam kedhaton, kita akan menyaksikan halaman yang begitu luas yang dirindangi pohon sawo kecik dengan beberapa bangunan yang terpisah-pisah didalamnya, dan pada tiap bangunan itu ada abdi dalem yang duduk di depannya.
Kompleks kraton setidaknya terbagi atas tiga bagian halaman. Pertama adalah Pelataran Kedhaton dan merupakan wilayah Sultan. Kedua adalah Keputren yang merupakan wilayah istri dan putri Sultan. Ketiga adalah Kesatriyan, merupakan wilayah putra Sultan.
Tidak semua bangunan dalam kedhaton terbuka untuk umum, terutama dari bangsal Kencono ke arah barat. Itulah sebabnya pihak keraton menyiapkan satu guide khusus untuk tiap rombongan wisatawan.
Pos penjagaan terdapat disisi timur dimana pada dinding penyekatnya tergantung Praja Cihna, yaitu Lambang Kesultanan Yogyakarta.
Secara keseluruhan Lambang itu terdiri atas: Bagian atas terdapat Songkok yang dimaknai sebagai mahkota Raja (Sultan), Pada sebelah kiri dan kanan songkok Sultan terdapat Sumping/hiasan telinga yang dimaknai sebagai sifat waspada dan bijaksana.
Pada bagian bawahnya terdapat sepasang sayap mengapit aksara “Ha Ba” (dalam aksara Jawa), singkatan dari Hamengku Buwono dari dinasti yang memerintah.
Pada bagian Pelataran Kedhaton terdapat Bangsal Kencono yang menghadap ke timur. Tidak boleh ada pengunjung yang memasuki area yang merupakan balairung utama istana Sultan ini.
Di tempat inilah menurut pemandu wisata setempat, adalah merupakan tempat dilangsungkannya upacara untuk keluarga kerajaan, selain untukupacara kenegaraan.
Pada keempat sisinya, ada Tratag Bangsal Kencana yang laiknya sebagai tempat latihan menari, dan Bangsal Kencana nDalem Ageng Proboyakso.
Pusat Istana yang sebenarnya adalah Bangunan yang berdinding kayu menghadap ke selatan dimana didalamnya disemayamkan Pusaka Kerajaan, Tahta Sultan, dan Regalia (Lambang Kerajaan).
Pada sebelah utara adalah Bangsal nDalem Ageng Proboyakso dimana berdiri Gedhong Jene, bangunan tempat tinggal resmi Sultan yang bertahta.
Pada sebelah timur laut Gedhong Jene, berdiri bangunan bertingkat Gedhong Purworetno yang menjadi kantor resmi Sultan. Terakhir, ada Bangsal Manis yang menghadap ke arah timur dimana bangunan ini umumnya dipakai dalam perjamuan resmi kerajaan, selain sebagai tempat membersihkan pusaka kerajaan pada Bulan Suro (Bulan pertama dalam kalender Jawa).
Ada banyak bangunan lain dalam kedhaton (kompleks kraton) yang memiliki makna khusus dan peruntukannya sendiri. Untuk memahami kedhaton dan simbol-simbol budaya yang dilekatkan padanya, rasa-rasanya tidak cukup hanya dengan satu kali berkunjung ke kedhaton.
Kunjungan ke kompleks keraton sangat diperlukan bagi siapa saja yang memiliki minat khusus memahami karakter bangunan kraton dan kegiatan Sultan yang dilekatkan pada tiap bangunan itu.
Untuk tidak penasaran, lebih baik berkunjung langsung kesana, dua sampai tiga kali dengan pencermatan yang lebih baik, sebagai bagian tak terpisahkan dari memahami sistem pemerintahan dan budaya Kesultanan Ngayogyakarto Hadiningrat. (*)