Pemerintahan yang Kuat

Oleh: La Oddang Tosessungriu

PALONTARAQ.ID – “Puang temmatenni sulo // Ata tenriatenning sulo // Puang temmabbawampawang // Ata tenribawampawang // Puang mappatutu // Ata ripatutu // Puang teppalEo // Ata tenrilEo // Puang teggoro’ liu // Ata telliu sEpe’” (Lontara Akkarungeng Luwu, pasal: La Dewaraja, lembar 48)

(Raja (pemerintah) tidak memegang obor // Abdi (rakyat) tidak dipegangkan obor // Raja tidak sewenang-wenang // Abdi tidak disewenangi // Raja (pemerintah) yang mengasihi // Abdi (rakyat) yang dikasihi // Raja (pemerintah) tidak menculasi // Abdi (rakyat) tidak diculasi // Raja (pemerintah) tidak membatalkan kesepakatan // Abdi (rakyat) tidak merusak kepentingan bersama)

Sesungguhnya “tuppu’” adalah pilar pertama yang menopang adat istiadat (baca ; pangadereng) Bugis. Menurut pengertian katanya adalah “berbenturan”, yakni pertemuan 2 obyek pada garis lintasan yang sama, bergerak dari arah berlawanan, lalu bertumbuk atau berbenturan.

Jika diibaratkan, 2 ekor kerbau jantan yang berlaga (mattumpu’) dengan saling membenturkan kepala dan tanduknya satu sama lain, beserta masing-masing kedua kaki belakang bertumpu serta mendorong kedepan untuk memundurkan lawannya.

Olehnya itu, makna “tuppu” tak lain adalah pertemuan 2 obyek (pihak) dari kutub berlawanan hingga menghasilkan tumpuan yang pada akhirnya saling menguatkan satu sama lain.

Bagaikan 2 batang balok kayu kayu yang didirikan miring (condong) saling berhadapan hingga kedua ujungnya bertemu sehingga masing-masing batangnya terpancang kuat di tanah, menyerupai kuda-kuda yang kokoh.

Tatkala ditafsirkan menurut perspektif society, suatu negara didirikan oleh 2 kutub dari arah berlawanan, yakni : pemerintah dan rakyat. Maka seperti inilah suatu negara/kerajaan (state) dalam pandangan budaya Bugis, sebagaimana dinyatakannya :

“Naiyya tanaE // Assituppu’rengnairitu Puang na Ata” (Lontara’ Attoriolong Luwu, lembar: 22)
(Sesungguhnya negeri // tak lain adalah titik pertemuan antara pemerintah dan rakyat)

Bahwa syarat utama pendirian suatu negara (kerajaan) adalah terjadinya kontrak sosial yang disebut “tuppu’” antara raja (pemerintah) dan rakyat.

Maka tidak ada raja jika tidak ada rakyat. Ia disebut “raja” karena ada rakyat yang “me-raja-kannya”.

Sebaliknya, tidak ada rakyat jikalau tiada raja, hal mana jika ada rakyat tanpa pemerintah yang terlembaga, tak lain disebut “kumpulan orang” belaka. Group-group kekerabatan seperti ini jika di Luwu disebut “anang” (kaum).

Dalam khazanah “Pangadereng Tana Luwu” (undang-undang dan norma hukum kerajaan Luwu), didapati suatu istilah, yaitu: “tuppu’ bicara”, hal mana kira-kira pengertiannya adalah konstitusi hukum yang digolongkan dalam unsur “ure’ marajana bicaranna Ade’ TanaE” (Garis-Garis Besar Haluan Negara).

Antara lain konstitusi itu menyatakan dengan tegas, yakni: “Puang temmatenni sulo, Ata tenriatenning sulo” (Raja atau pemerintah tidak memegang obor, Abdi atau rakyat tidak dipegangkan obor).

Makna “memegang obor” disini adalah “mengeritik” ataupun mendekati pengertian “somasi”. Bahwa tidak layak bagi pemerintah untuk mengeritik, terlebih mencari-cari kesalahan rakyat (mengkriminalisasi) rakyatnya. Meskipun pada kenyataannya, keselarasan “tuppu’” antara raja dan rakyat diatur menurut kelayakan “wari” (strata) vertical (solompawo).

Disebabkan karena pemerintah ditempatkan pada puncak tatanan wari’, sehingga dipandang dari segala arah oleh rakyat yang dibawahnya, sebagaimana dinyatakan :

“Bulu’-bulu mutettongi // Bulu’-bulu’ kilEwo”
(Engkau (pemerintah) berdiri di puncak (suatu) gunung // Gunung (itu) pula yang kami kelilingi)

Maka raja (pemerintah) selalu “diawasi” dan nampak jelas dari segala dimensi oleh rakyat yang mengelilinginya dibawah. Bahwa kekuasaan pemerintahan tak lain adalah “panggung pertunjukan” yang ditontong dari segala arah oleh pemirsanya, yakni: rakyat.

Bukan hanya sekedar terlihat jelas, bahkan suara terkecil raja (pemerintah) itu terdengar dan bau paling samarnya dapat tercium oleh rakyatnya.

Maka raja (pemerintah) sudah pada tempatnya “menjaga” penampilan serta bahkan sedapat mungkin menahan buang angin. Ia harus rajin-rajin gosok gigi agar senyumnya tak ternoda oleh secubit sayur daun kankung yang terselip disela giginya.

Jika itu terjadi, percumalah busana agung nan mewah berselaput emas yang dikenakannya ketika itu, dialahkan oleh secuil daun kankung, meski sayur kankung itu telah dimasak oleh seorang Super Chef kaliber Internasional.

Kodrat menduduki tempat yang tinggi adalah menjadi pusat perhatian, sebagaimana pemerintah disaksikan oleh jutaan pasang mata rakyatnya. Hingga pada dasarnya, wajar saja jika ada saja pemerintah yang senantiasa melakukan “pencitraan”.

Rajin “turun” dari persemayamannya untuk menyapa rakyat, agar nampak seakan-akan rendah hati atau bermasyarakat. Namun celakanya, ada yang keasyikan pencitraan membaur dengan rakyat sehingga “lupa” jika dirinya adalah “pemerintah”.

Berhati kecil sebagaimana layaknya rakyat, sehingga mudah tersinggung (baper?) dan meladeni celoteh pendapat rakyat tentang hal-hal yang sesungguhnya kecil dan nyeleneh.
Sibuk mengurusi harga sayur mayur di pasar-pasar rakyat, hingga lupa mengurusi harga minyak yang melayang bagai layang-layang putus tali.

Fokus memperhatikan selokan di kampung-kampung, lalai memikirkan debit air dari gunung-gunung gundul yang dapat saja membobol waduk besar. Kemudian ketika bencana terjadi, dengan ringannya ia berkata, “Ini cobaan dari Allah SWT”.

Kelalaian yang ditimpakan kepada Tuhan Robbul Alamin ?. Tatkala kebijakan ekonominya dikritik, ia berkilah dengan nada datar, “Ini kerajaan yang besar, tidak mungkin-lah saya mampu memikirkan semuanya, meski sudah berusaha semampunya..”. Masalahnya.., Tuanku.

Anda terlalu fokus memikirkan ternak ayam rakyat, sementara sapi-sapi dan kerbau kerajaan kita menyeberang ke wilayah kerajaan tetangga. Bukan cuma itu, bahkan wilayah padang rumput dan kebun jagung kita “direbut” mereka.

Hingga kemudian kita harus mengimpor jagung untuk pakan ayam-ayam yang tersisa tak seberapa ini. Maka ributlah rakyat, meneriakkan ketidak puasannya. Hiruk pikuk berdemonstrasi dengan cara-cara mengabaikan tata krama.

Menyatakan “kebenarannya” dengan cara tidak benar menurut tinjauan adab sopan santun !. Mengusung poster bergambar wajah yang menyerupai rajanya dengan hidung babi. Berganti maknalah “tuppu’” (keselarasan 2 kutub) menjadi “tumpu’” (beradu kepala).

Pada akhirnya fenomena lama terus saja berkembang dengan suburnya, menjadi paradigma berpikir masyarakat diseluruh belahan dunia manapun dari masa ke masa, bahwa: kekuasaan pemerintahan identik dengan penguasaan keseluruhan atas rakyat dengan atas nama hukum.

Pemerintah menggunakan kesaktian hukum untuk menindak rakyat dengan bermacam alasan serba mewujudkan stabilitas: stabilitas politik, stabilitas alur pembangunan, stabilitas pertumbuhan ekonomi, serta segala “stabilitas” lainnya.

Termasuk dalam hal ini adalah mengasah kembali kembali senjata-senjata andalan peninggalan kolonial terhadap rakyat yang “membangkan”, yakni berbagai pasal dan istilah : Ekstrimis, pengacau keamanan, teroris, penghasut, pengujar kata hinaan dan .. pengujar kebencian!

Raja ataupun pemerintah yang bersemayam pada ketinggian tahta kekuasaan semestinya “pE dE” (convidence), sekiranya ia benar sadar akan kemuliaan martabat amanahnya.
Keutamaan atas kodratnya itu diletakkannya pada ruang jiwanya yang “besar”, sehingga tidak gampang tersinggung dengan celoteh rakyat, sehingga membuatnya berang dan blingsatan menangkis kesana kemari seraya berkotek-kotek: “Tidak benar itu! bohong! hoaks! hoaks! hoaks!”

Keberaniannya ditunjukkan dengan tenang dan tidak meledak-ledak dengan statement “Saya Tidak Takut!” Karena sesungguhnya “orang berani” tidak menyatakan “ketidaktakutannya” dengan pernyataan, melainkan dengan ketidak pedulian (cuek).

Sebaliknya, kepada siapapun yang mengeritik dan merasa lebih baik dari raja panik yang pemberang ini, semestinya tidak semata mencari celah kekurangan belaka. Melainkan menyatakan hal-hal yang lebih baik secara proporsional (terukur) dengan cara yang baik pula, bukannya dengan ledakan emosi yang tak mampu menyembunyikan ambisi setinggi gunung Himalaya.

Sungguh tidak mudah menjadi raja (pemerintah) sejati. Mereka adalah orang-orang yang dikaruniai kodrat kepemimpinan dan kearifan negarawan. Merekalah yang mendedikasikan segala curahan pikiran yang menembus tabir nuraninya demi kemaslahatan rakyatnya dengan ikhlas demi rindu terhadap ridho Allah semata.

Segala kehendak yang dimilikinya diikhtiarkan demi ketenteraman dan kesejahteraan rakyatnya, mengucur tiada henti dari cinta tulusnya terhadap bangsa dan tanah airnya, itulah martabat ketinggiannya yang sesungguhnya. Tak henti bersyukur kepada Tuhannya karena merasa terberkati atas jabatan amanah yang diembannya, hingga dengan ini ia senantiasa istiqomah.

Raja (pemerintah) yang demikian inilah yang “tidak pusing” dengan perbedaan pendapat “siapapun” dengannya sehingga merasa tidak layak jika wibawa hukum kerajaan (negara) mengadili suatu pendapat rakyat. Ia paham bahwa rakyat memiliki kemerdekaan berpendapat. Jikalau pendapat itu “keliru”, itu akan dibantah secara alami oleh pendapat rakyat lainnya.

Bahwa kodrat alami kekuasaan pemerintahan dimanapun dan kapanpun berlangsungnya adalah “dikritisi”. Karena “kekuasaan-lah” yang dikritisi, bukannya “ke-jelataan” rakyat.
Olehnya itulah sehingga kearifan kenegarawan Kerajaan Luwu Agung pada masa lalu menggariskan Penguasa tidak mencari dalih kesalahan pada rakyatnya dan rakyat tidak dipersalahkan atas ke-tidaktahuannya.

Senada dengan petuah tanya Sayyidina Umar bin Khattab ra, “Mana yang lebih buruk: Orang bersalah ataukah orang yang mencari-cari kesalahan?” Naudzubillahi min dzalik, semoga kita dihindarkan dari keduanya.

Wallahu ‘alam bish-shawab. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT