BerandaBeritaDaerahRiwayat Raja Bone (15): La Tenri Tatta Arung Palakka

Riwayat Raja Bone (15): La Tenri Tatta Arung Palakka

Oleh:  M. Farid W Makkulau

Tulisan SebelumnyaRiwayat Raja Bone (14): La Tenriaji Tosenrima

PALONTARAQ.ID – PEMINAT Sejarah Sulawesi Selatan tidak ada yang tidak kenal nama ini. Ya, Arung Palakka. Raja Bone inilah yang banyak menjadi titik perhatian kajian sejarah Sulawesi Selatan Abad XVII.

Peran Arung Palakka sangat memukau dalam mengobarkan Perang Makassar dan jatuhnya imperium besar di Nusantara bagian timur, yaitu Kerajaan Gowa. Sosok Arung Palakka menjadi perdebatan perannya di atas pentas sejarah, apakah sebutan yang layak bagi perjuangannya, sebagai pengkhianatkah atau sebagai sang pembebas?

La Tenri Tatta Arung Palakka lahir pada tahun 1635 di Kampung Lamatta, Mario riwawo, Soppeng. Ibunya bernama We Tenrisui, Datu Mario Riwawo dengan suaminya La Pottobune Arung Tanatengnga Datu Lompulle. Ibu dari We Tenri Sui adalah We Baji atau We Dangke LebaE ri Mario Riwawo dengan suaminya La Tenri Ruwa Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng.

La Tenri Ruwalah yang mula-mula menerima Islam dari KaraengE ri Gowa yang juga dianggap sebagai orang pertama menerima Islam di Celebes Selatan. Karena pada waktu itu orang Bone menolak Islam, maka Arumpone La Tenri Ruwa pergi ke Bantaeng dan disanalah ia meninggal sehingga digelari MatinroE ri Bantaeng.

Lihat pula:  Nama-nama Arung Palakka

Lukisan Arung Palakka (foto: istimewa)
Lukisan Arung Palakka (foto: istimewa)

Ketika La Tenri Tatta baru berusia 11 tahun, Bone dibawah pemerintahan kakeknya, La Tenri Ruwa. Saat itu Bone diserang dan ditaklukkan oleh Gowa. Orang tuanya La Pottobune ditangkap dan ditawan bersama Arumpone serta beberapa anak bangsawan Bone lainnya.

Peristiwa tersebut disebut Beta Pasempe (Kekalahan di Pasempe) karena Perang Bone-Gowa berlangsung di Pasempe (1646), sebuah kampung kecil dalam wilayah Bone yang dipilih La Tenri Ruwa untuk melakukan perlawanan. Ketika mulai dewasa, La Tenritatta dikawinkanlah dengan I Mangkawani Daeng Talele.

Paska Perang Pasempe, Sebanyak 10.000 orang Bone digiring ke Gowa untuk dijadikan tenaga kerja paksa dalam membangun Benteng – benteng Makassar.

La Tenritatta Arung Palakka bersama seluruh keluarganya meninggalkan rumah KaraengE ri Gowa. Ia pun turun bekerja bersama orang Bone, merasakan bagaimana penderitaan dan penyiksaan yang dialami rakyat Bone. La Tenri Tatta menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana orang Gowa menyiksa orang Bone jika didapati tidak bekerja atau malas karena kelaparan.

Patung Arung Palakka di pusat kota Bone.
Patung Arung Palakka di pusat kota Bone.

Dalam kerja paksa membangun benteng-benteng Makassar itu, Arung Palakka melihat bangsanya, Bugis Bone-Soppeng diperlakukan tak ubahnya hewan, dicambuk dan ditendang. Bahkan tidak sedikit yang mati terbunuh oleh orang Gowa yang mengawasi penggalian parit dan pembangunan benteng tersebut.

Melihat tindakan orang Gowa terhadap orang Bone yang semakin tidak berperikemanusiaan, hati La Tenri Tatta menjadi tergugah dan berpikir untuk membuat suatu rencana pembebasan. Bersama Arung Belo, Arung Ampana dan lainnya dibuatlah kesepakatan untuk melarikan diri dari tempat penggalian parit dan pembuatan benteng tersebut menuju ke Bone.

Arung Palakka bertekad menegakkan kembali kebesaran Bone dan membebaskan rakyat Bugis Bone-Soppeng dari penjajahan Gowa. Maka direncanakanlah pelarian tepat pada saat rakyat Makassar menggelar pesta di Tallo. Arung Palakka, beberapa bangsawan Bugis Bone Soppeng dan pasukan kecilnya berhasil melarikan diri sampai di Bone dan langsung menemui Tobala, Jennang Bone.

La Tenri Tatta Arung Palakka juga menyampaikan kepada Datu Soppeng La Tenri Bali, pamannya agar Bone-Soppeng dipersatukan sesuai kesepakatan Pincara LopiE ri Attapang (Perjanjian ri Attapang). Bersatu pulalah kembali Tobala dengan La Tenri Tatta membangkitkan kembali semangat perlawanan orang Bone terhadap Gowa.

Letak Kabupaten Bone dalam Geografi Sulawesi Selatan (foto : ist/palontaraq)
Letak Kabupaten Bone dalam Geografi Sulawesi Selatan (foto : ist/palontaraq)

Sebagai wujud kegembiraan orang Bone atas kembalinya La Tenri Tatta ke Bone, maka orang Bone sepakat untuk mengangkatnya menjadi Arung Palakka (1660) mewarisi kakeknya.

Setelah mempersatukan pendapat dengan Jennang Tobala untuk tidak mundur dalam melawan Gowa, pergilah Arung Palakka ke Lamuru untuk menghadang orang Gowa yang mengikutinya. Terjadilah perang yang sangat dahsyat dan menelan korban yang tidak sedikit dari kedua belah pihak. Karena kekuatan Gowa ternyata lebih kuat, maka ia pun mengundurkan diri bersama pengawalnya.

Dalam perjalanannya menghindari serangan Gowa, La Tenri Tatta Arung Palakka singgah menemui Datu Soppeng minta bekal untuk dimakan dalam perjalanan bersama pengawalnya. Karena dia akan pergi mencari teman yang bisa diajak kerja sama melawan Gowa. Hal ini dimaksudkan agar dapat menegakkan kembali kebesaran Bone.

Atas permintaannya itu, Datu Soppeng memberinya emas pusaka dari orang tuanya. Emas itulah yang dijadikan bekal bersama segenap pengawalnya pergi mencari teman yang bisa diajak kerja sama menegakkan kembali kebesaran Bone. La Tenri Tatta Arung Palakka sebelum berangkat berjanji tidak akan memotong rambutnya sebelum ia kembali ke Bone.

Makam Arung Palakka di Katangka Gowa (foto: mfaridwm/palontaraq)
Makam Arung Palakka di Katangka Gowa (foto: mfaridwm/palontaraq)

Berangkatlah La Tenritatta Arung Palakka bersama segenap pengawalnya, sementara orang Gowa tetap mengikuti jejaknya. Orang Bone pun kembali melawan di bawah pimpinan Tobala yang dibantu oleh orang Soppeng.

Akan tetapi karena kekuatan Gowa masih lebih kuat, sehingga orang Bone kembali mengalami kekalahan. Bahkan Tobala tewas dalam peperangan dan Datu Soppeng tertawan. Akibatnya banyak orang Bone-Soppeng yang kembali ditawan oleh Gowa. Sementara Arung Palakka tetap diburu dimanapun berada, seakan-akan tidak ada lagi tempat yang aman di Tanah Bugis Bone. Akhirnya ia memutuskan untuk menyeberang ke Tanah Uliyo (Butung), dalam Bulan Desember 1660.

Sesampainya di Butung (Buton), naiklah La Tenritatta menemui Raja Butung. Raja Butung menerimanya dan bersedia membantunya. Tetapi ternyata Gowa tidak akan berhenti untuk mengikuti jejaknya.

Setelah KaraengE ri Gowa mengetahui bahwa La Tenri Tatta bersama sejumlah pengawalnya telah menyeberang ke Butung, ia segera memerintahkan Arung Gattareng untuk menyusulnya. Akan tetapi Arung Gattareng tidak sampai di Tanah Uliyo dan kembali tanpa membawa hasil. KaraengE ri Gowa lantas mengirim pasukan tempur untuk mengikuti sampai di Butung.

Penulis dalam Kompleks Makam Arung Palakka di Katangka, Gowa. (foto: ist/palontaraq)
Penulis dalam Kompleks Makam Arung Palakka di Katangka, Gowa. (foto: ist/palontaraq)

Sesampainya di Butung pasukan Gowa tersebut mencari ke berbagai tempat, namun tidak berhasil menemukan La Tenri Tatta dengan seluruh pengawalnya. Raja Butung berusaha meyakinkan orang Gowa bahwa La Tenritatta tidak ada di atas Tanah Butung. Oleh karena itu, orang Gowa kembali tanpa menemukan La Tenritatta dan pengawalnya.

Arung Palakka mendapatkan bantuan perlindungan dan tinggal sementara di Buton. Selama tinggal di Buton, Arung Palakka telah menjalin komunikasi awal dengan Kompeni Belanda untuk membantunya membebaskan bangsanya memerangi Gowa.

Pada tahun 1663 Arung Palakka bersama pengawal dan pasukan kecilnya sebanyak 400 orang ke Batavia dengan menumpang kapal Belanda yang singgah di Buton dari Ternate. Belanda memberi tempat pasukan Arung Palakka di Angke (Muara Angke) di Batavia, itulah sebabkan pasukannya disana disebut juga Bugis Toangke.

Setelah memenangkan Perang Pariaman dalam tahun 1666, Arung Palakka mendesak Kompeni Belanda agar segera membantunya menyelesaikan masalah di timur Nusantara, khususnya dalam membebaskan negerinya dari penjajahan Gowa.

Sementara Kerajaan Gowa mengutus Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bontomarannu dalam ekspedisi pencarian Arung Palakka dan pasukannya, Arung Palakka sendiri dengan pasukan Bugis dan Belanda dibawah pimpinan Speelman telah berada dalam perjalanan menuju ke Tanah Ugi. Dia akan langsung ke Butung untuk mengambil seluruh orang Bone – Soppeng yang mengungsi kesana akibat tindakan orang Gowa. Begitu pula Orang Gowa yang kesana karena tidak senang dengan tindakan kekuasaan rajanya, hal ini terjadi dalam tahun 1667.

Sebelum Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu memulai serangannya terhadap Butung, datanglah kapal Kompeni Belanda yang ditumpangi Pasukan sekutu Arung Palakka-Speelman. Arung Palakka mengutus beberapa orang menemui Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu diatas kapalnya.

Kepada utusan itu, Arung Palakka berpesan, ”Janganlah Raja Butung diserang, karena dia tidak bersalah. Tetapi kalau KaraengE ri Gowa benar-benar mau berperang, maka sekarang lawannya sudah ada dan alangkah baiknya jika Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu turun ke kapal sekarang juga dengan mengibarkan bendera putih untuk kita bicara secara baik”.

Tak lama kemudian, Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bonto Marannu turun dari kapalnya, mengibarkan bendera putih dan menemui Arung Palakka.

Diatas kapal kompeni, Arung Palakka berkata kepada keduanya, ”Saya tidak tahu perselisihan Luwu dengan Bone, saya juga tidak tahu apa perselisihan saya dengan Karaeng Bontomarannu. Maka menurut pikiran saya, alangkah baiknya kalau Datu Luwu dan Karaeng Bontomarannu, bersama seluruh pasukannya kembali ke negerinya”.

Taman Patung Arung Palakka (sumber: plukme!)
Taman Patung Arung Palakka (sumber: plukme!)

Setelah itu, dibawalah Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu bersama seluruh pasukannya ikut di kapal, diikutkan pula semua orang Bone, Soppeng dan Gowa yang ada di Butung. Alat-alat perang orang Gowa dan pasukan Datu Luwu diserahkan kepada orang Bone.

Ketika KaraengE ri Gowa mengetahui bahwa Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu diikutkan di kapal Kompeni maka iapun berpikir bahwa kesepakatan antara Luwu dengan Gowa telah pecah. Oleh karena itu seluruh tawanannya dikembalikan ke negerinya, termasuk Arumpone dan Datu Soppeng La Tenri Bali.

Tanggal 17 Desember 1666, Angkatan Perang Bugis-Belanda sudah sampai di perairan Sombaopu. Ringkas cerita, pecahlah Perang Makassar dalam dua babak, dalam Tahun 1666-1667.

Pasukan Bugis La Tenri Tatta bersama pasukan Belanda Speelman menggempur habis-habisan Gowa dan menyerahlah Sultan Hasanuddin yang ditandai dengan Perjanjian Bungaya pada Tahun 1668. Arung Palakka berhasil memerdekakan rakyat Bone-Soppeng dari Penjajahan Gowa yang telah berlangsung dalam kurun waktu 1611-1667.

Masih banyak lagi pertempuran kecil paska Perjanjian Bungaya sebagai upaya Arung Palakka menstabilkan dan menundukkan seluruh kawasan Sulawesi Selatan dibawah perintahnya.

Dalam tahun 1672, Arung Palakka naik takhta menjadi Arung Mangkaue’ ri Bone (Raja Bone) menggantikan pamannya, La Maddaremmeng. Belanda memberikan kewenangan kepada Arung Palakka untuk membawahi seluruh arung dan negeri di Celebes Selatan.  (*)

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT