BerandaCerita RakyatCerita Rakyat: Sitti Naharira (1)

Cerita Rakyat: Sitti Naharira (1)

Oleh: H. Djamaluddin Hatibu

PALONTARAQ.IDCerita Rakyat “Sitti Naharira” ini merupakan karya tulis dari H. Djamaluddin Hatibu, seorang pegiat budaya di Pangkep. Pernah menjadi Anggota DPRD Pangkep dan Pembina Kwarcab Pramuka Pangkep.

Sebelumnya, Cerita Rakyat ini pernah dimuat secara berseri di Surat Kabar Mingguan (SKM) Himbauan atas permintaan penulisnya sendiri. Cerita Sitti Naharira ini diakui ada dalam Lontaraq tersendiri, meski kebanyakannya dihafalnya secara turun temurun sebagai narasi tutur masyarakat Bugis Makassar di wilayah Kepulauan Pangkep, khususnya di Liukang Tupabbiring. (M. Farid W Makkulau)

Berikut ini Cerita Rakyat Sitti Naharira sebagaimana ditulis/diceritakan ulang oleh H. Djamaluddin Hatibu (almarhum).

***

Berkata yang empunya cerita, dahulu di sebuah negeri berdiamlah seorang saudagar wanita bernama Sitti Naharira. Tersohor kekayaannya, dikenal mulia akhlaknya, fasih dalam tuturnya dan memiliki banyak keterampilan.  Kedua orang tuanya sudah lama kembali kehadirat Ilahi.

Karena anak tunggal maka segenap harta peninggalan orangtuanya menjadi pusaka Sitti Naharira. Memberi tak meminta, meminjamkan tanpa meminjam yang menjadikan penghuni negeri hormat dan segan terhadapnya.

Apatah lagi tiada orang meminta pertolongan yang tak ditolongnya. Tiada orang yang meminta yang tak diberi. Kemudian jauh dari sifat membanggakan diri.

Saat usianya menjelas 25 tahun, menjadi pemikiran sendiri bagi Sitti Naharira karena belum ada seorangpun laki-laki yang meminangnya.

Bukan tak ada yang berminat, namun banyak hal yang dipertimbangkan para pemuda di negeri itu. Kekayaan, kecantikan, kearifan, dan sifat terpuji lainnya yang membuat laki-laki kehilangan nyali mendekatinya.

Suatu ketika berlabuhlah sebuah kapal besar yang diketahui nakhodanya bernama Hasan. Kala menginjak pantai negeri itu bertemu pandanglah sang nakhoda ini dengan Sitti Naharira yang saat itu memandang lewat jendela ke arah kapal sang nakhoda. Sang nakhoda terpesona melihat kecantikan  Sitti Naharira yang diterpa angin semilir dengan rambutnya yang terurai.

Pandangan pertama itu membuat Nakhoda Hasan penasaran. Setiap saat terbayang di pelupuk matanya kecantikan dan keanggunan Sitti Naharira yang laksana bulan purnama empat belas hari muncul di atas bukit.

Demi mengurai rasa penasaran yang bergelayut di hati, Nakhoda Hasan menemui sahabat lamanya Punggawa Bonang. Punggawa Bonang mempersilakan tamunya duduk di atas tikar berbentuk bundar.

Karena penasaran, belum sempurna duduknya Punggawa Bonang sudah mengajukan pertanyaan. “Muatan apa gerangan yang Nakhoda bawa dan singgah di negeri ini?” – tanya Punggawa Bonang.

”Hanya barang campuran sedikit, rencana mau membawa ke Majene ataukah Tappalang. Keperluan kami singgah hanya sekadar menambah perbekalan air minum dan memperbaiki layar depan yang robek dihantam angin kencang antara Kapoposan dan Gondong Bali,”  jawab Nakhoda  Hasan.

Setelah percakapan saling menanyakan kabar itu, kemudian terbetiklah dalam hati Nakhoda Hasan ingin menanyakan perihal perempuan cantik yang dilihatnya dibalik jendela rumahnya kala pertama kali menginjakkan kaki di pantai.

Seraya memperbaiki posisi duduknya, wajah nakhoda Hasan terlihat  serius layaknya orang menanggung beban berat. Melihat gelagat yang tak biasa itu,  Punggawa Bonang menunggu hal apa lagi yang ingin disampaikan nakhoda Hasan.

“Siapa gerangan perempuan yang begitu rupawan dengan rambutnya terurai. Kuberadu pandang saat pertama kali menginjakkan kaki di pantai. Dia memandangku dari balik jendela rumahnya di pinggir pelabuhan bagian selatan sana?” tanya Nakhoda Hasan serius.

“Wahai Adik, itulah kembang terindah di negeri ini. Dia seorang saudagar besar, arif bijaksana, fasih dalam bertutur ditambah lagi bertangan terampil. Namanya Sitti Naharira” jawab Punggawa Bonang sambil tertawa, tangannya menepuk-nepuk paha Nakhoda Hasan.

Nakhoda Hasan mengangguk-angguk mendengar penjelasan Punggawa Bonang.

“Ada apa gerangan nakhoda mempertanyakan itu? tanya Punggawa Bonang penuh selidik.

“Kalau ada keinginan mendekatinya saya siap membantu” ujar Punggawa Bonang menawarkan bantuan .

Mendengar tawaran bantuan tersebut nakhoda Hasan justru tertawa kecut. Berat rasanya  membayangkan bersanding dengan Sitti Naharira dengan segala kelebihannya itu.

“Apa yang saya katakan tadi memang benar adanya, laut tak dapat  diketahui kedalamannya  tanpa kita berani menduganya. Kita pun tak tahu apa kita diterima atau ditolak jika kita tak mencoba meminangnya.”

“Kalau keinginan hanya tersimpan di hati, tidak kita utarakan maka kita tak akan tahu hitam putih atau belangnya” hibur Punggawa Bonang melihat raut wajah Nakhoda Hasan yang menyiratkan keraguan.

”Saya paham apa yang ada di hatimu, jika betul-betul ada hasrat untuk memiliki tidak ada salahnya kita mencoba meminangnya. Semoga dengan seizin Allah, lamaranmu diterima” ujar Punggawa Bonang dengan bijak.

“Kalau demikian pendapat Punggawa, saya serahkan sepenuhnya urusan ini pelamaran ini” kata Nakhoda Hasan penuh harap.

 

Bersambung ……

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT