BerandaArtikelApakah ada istilah Islam Arab dan Islam bukan Arab

Apakah ada istilah Islam Arab dan Islam bukan Arab

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

PALONTARAQ.ID – Salah satu keunikan agama Islam adalah bahwa nama “Islam” sudah disebutkan dalam Kitab Suci al-Quran. Juga, ritual-ritual dalam agama Islam ditetapkan berdasarkan wahyu, dan bukan berdasar budaya. Sebab, Islam memiliki uswah hasanah (suri tauladan) yang paripurna, yaitu Nabi Muhammad saw.

Meskipun Islam datang ke Indonesia di bawa oleh orang-orang Arab dan dari negeri Arab, para pendakwah Islam tidak pernah menyatakan, bahwa Islam yang mereka bawa adalah “Islam Arab”. Meskipun memperhatikan aspek budaya lokal dalam strategi dakwahnya, tetapi para wali yang mengajarkan Islam di Jawa, juga tetap menyampaikan ajaran Islam yang murni.

Dalam Disertasi Doktor di Universitas Ibn Khaldun Bogor, yang berjudul “Pendidikan Aqidah Sunan Bonang”, Dr. Muhammad Isa Anshary membuktikan, bahwa ajaran Wali Songo yang disebarkan di Tanah Jawa, khususnya, adalah ajaran aqidah Ahlu Sunnah wal-Jamaah.

Tahun 1916 terbit naskah berjudul Het Boek van Bonang di Leiden Belanda. Naskah itu dipercayai sebagai ajaran asli Sunan Bonang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Tengahan (campuran Sansekerta-Jawa) yang memang menjadi bahasa yang sedang berlaku di Jawa sekitar abad 16 M, yaitu masa hidupnya Sunan Bonang. Selain itu, naskah tersebut juga diakhiri dengan kalimat, “Tammat carita cinitra kang pakerti Pang?ran ing Benang.” (Het Boek van Bonang, hlm. ix-xvii)

Het Boek van Bonang memuat ajaran akidah Sunan Bonang yang disampaikan dengan metode bercerita antara Syekh Al-Bari dengan muridnya yang bernama Rijalullah. Ajaran akidah Sunan Bonang tidak jauh berbeda dengan ajaran para ulama Ahlus Sunnah. Ajaran itu diambil dari kitab Ihyâ’ ‘Ulumiddîn karya Imam Al-Ghazali dan At-Tamhîd fî Bayân At-Tauhîd karya Abu Syakur As-Salimi. “Wedaling carita saking kitab Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn lan saking Tamhîd”, demikianlah Sunan Bonang menulis.

Jadi, meskipun menggunakan sarana bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar dakwah, para Wali Songo tetap mengajarkan Islam yang murni, tanpa menyebut Islam Arab, atau nama daerah lain. Sebagai agama yang dibawa oleh Nabi terakhir, Islam memang ditujukan untuk seluruh umat manusia sampai akhir zaman. Karena itu, ajaran Islam senantiasa aktual dan cocok untuk kondisi apa saja dan di mana saja.

Karena itu, penyebutan Islam dengan tambahan nama wilayah atau daerah tertentu, biasanya dimaksudkan sebagai penyebutan identitas budaya, dan bukan sebagai agama (ad-Dinul Islam). Islam Arab, mungkin dimaksudkan sebagai “Islam di Arab”, yakni “budaya atau peradaban muslim Arab”. Penyebutan “Islam Madura” misalnya, dimaknai sebagai “budaya muslim Madura”.

Bukan hanya menjaga kemurnian ajaran Islam, para ulama penyebar Islam di wilayah Nusantara bahkan berhasil menyatukan sebagian besar penduduk Nusantara – meliputi negara Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Kamboja, Laos – dengan satu agama dan satu bahasa (Melayu). Bahkan, dalam satu mazhab Ahlus Sunnah wal-Jamaah. Padahal, pada mulanya, bahasa dan budaya mereka begitu beragam.

Karena itulah, penggunaan nama “Islam Arab” dan “Islam non Arab” pada akhirnya akan lenyap dengan sendirinya. Sebab, fakta ajaran Islam memang satu, di seluruh dunia. Umat Islam merujuk pada al-Quran dan hadits yang sama. Mereka juga mengikuti mazhab fiqih yang sama. Kiblat nya pun satu. Umat Islam seluruh dunia, ruku’ dan sujud dengan cara yang sama. Sampai datangnya kiamat, umat Islam pasti mengubur jenazah dengan cara yang sama.

Itulah keunikan Islam sebagai “agama wahyu” (revealed religion). Prof. Naquib al-Attas menyebut Islam sebagai “the only genuine revealed religion” (satu- satunya agama wahyu yang murni). Sedangkan agama selain Islam disebutnya sebagai agama budaya, atau cultural religion.

Islam juga memiliki ajaran yang final (tsawabit). Tidak semua ajaran Islam berubah mengikuti waktu dan tempat. Islam bukan agama budaya atau agama buatan. Meskipun al-Quran ditafsirkan oleh manusia, tetapi manusia-manusia penafsir al-Quran (mufassir) haruslah orang yang punya otoritas ilmu, sehingga kebenaran tafsir itu diterima secara ijma’.

Jika orang muslim melaksanakan shalat mengikuti mazhab Syafii, bukan berarti ia menamakan agamanya sebagai “Islam Syafii”. Semua bidang ilmu menghargai otoritas ilmuwan di bidangnya. Jadi, tidak benar, jika Islam itu bersifat relatif karena mengikuti pemikiran para ulamanya. Sebab, dalam penafsiran al-Quran ada kebenaran objektif yang diterima sebagai kebenaran secara ijma’.

Contoh, tafsir kata “khinzir” dalam al-Quran, pasti dimaknai “babi”. Tidak ada seorang mufassir pun yang memahami “khinzir” sebagai “ayam goreng”. Begitu juga para mufassir pasti bersepakat, bahwa Nabi Isa a.s. tidak mati di tiang salib untuk menebus dosa manusia. Semua mufassir pasti menjelaskan, bahwa Nabi Isa adalah manusia, utusan Allah, dan bukan Tuhan atau Anak Tuhan.

Jadi, begitulah sifat ajaran Islam, dari dulu sejak kini, dan nanti, sampai Hari Kiamat. Tidak seorang manusia pun yang mampu mengubah ajaran-ajaran pokok dalam Islam. Tidak seorang pun yang akan sukses mengubah cara shalat orang muslim. Sampai Hari Kiamat, orang muslim pasti mengeluarkan jari telunjuk saat mengerjakan tahiyyat dalam shalatnya. Wallaahu A’lam bish-Shawab. (Palu, 26 Januari 2023).

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT