BerandaSosial BudayaBahasa DaerahRetorika dalam Prosesi Pernikahan Masyarakat Makassar

Retorika dalam Prosesi Pernikahan Masyarakat Makassar

Oleh: Karmila, Mirnawati, Nur Alifya Muchtfadiana

Related Post: Kasiratangan dalam Perkawinan Adat Makassar

PALONTARAQ.ID – Pernikahan tidak hanya suatu ikatan antara pria dan wanita sebagai suami-istri untuk mendapatkan keturunan, membangun, serta membina kehidupan rumah tangga.

Tetapi, suatu hubungan yang menyangkut para anggota keluarga dari pihak suami maupun dari pihak istri. Seperti pada pernikahan suku Bugis-Makassar merupakan suatu hal yang sakral, religius, dan sangat dihargai.

Oleh sebab itu, lembaga adat mengatur sesuai dengan kenyataan dalam masyarakat suku Bugis-Makassar yang terbesar menganut agama Islam sehingga pernikahan bukan saja ikatan lahir batin antara suami-istri.

Tetapi, pernikahan merupakan pertalian hubungan kekeluargaan antara pihak pria dan wanita. Upacara dilaksanakan di rumah mempelai pria dan rumah mempelai wanita pada malam hari. Mempelai memakai baju pengantin.

Ritual semacam itu sebagian besar diatur oleh para bangsawan dan dilakukan pada satu malam di waktu yang sama dengan kegiatan lainnya.  Namun, saat ini upacara mappaci atau korontigi sudah menjadi hal yang lumrah, dan dilakukan dalam setiap perkawinan.

Dalam acara ini, para orang tua yang dipercaya untuk menggunakan batu kapur untuk ibadah termasuk tokoh masyarakat, dianggap memiliki kelebihan dalam bidang ilmu pengetahuan dan sosial.

Dalam pernikahan masyarakat Makassar, nyori empo-empo dilaksanakan setelah Korontigi. Beberapa jam sebelum malam korontigi, tuan rumah berkeliling ke rumah keluarga dan tetangga untuk ammuntuli (menyampaikan undangan) agar bisa hadir pada malam Korontigi serta nyori empo-empo.

“Kubuntuluki anne mae korontigi bunting sinampe ri ballak”

Artinya:

“Saya ke sini untuk mengajak Anda untuk datang sebentar Korontigi di rumah,” kata tuan rumah saat Ammuntuli.

Sebelum korontigi dimulai, hal yang pertama dilakukan adalah akratek. Lalu dilanjutkan ke Korontigi. Pada saat korontigi, gendang (ganrang) dimainkan hingga acara selesai, barulah masuk ke nyori empo-empo.

Pada saat nyori empo-empo ini, Tuan rumah menunjuk satu orang untuk membacakan nama beserta isi undangan dari kerabat beserta tetangga yang hadir.

Selanjutnya, talam dipukul (andekdek talang) sebagai tanda untuk memanggil seluruh keluarga beserta tetangga untuk nyori empo-empo.

Pelaksanaan nyori empo-empo ini dilakukan dengan cara setiap keluarga atau tetangga yang ikut dalam nyori empo-empo, namanya akan disebut beserta jumlah uang yang diberikan atau biasa disebut dengan Panynyoriang.

Contohnya:

“Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatu. Sukkuruki naki mammuji mange ri karaeng Allah Taala sabak iami anne nana sareki buku magassing naki niak aseng haderek ri anne tampaka. Bajiki nakuparamulamo anne acaraya iami antu Nyori empo-empo”.

Artinya:

Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatu. Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kita Kesehatan untuk bisa berkumpul di tempaat ini. Baiklah, saya akan memulai acara Nyori Empo-empo), kata MC saat memulai proses nyori empo-empo.

Selanjutnya, MC membacakan nama beserta isi undangan. “Undangan maka sekrea anne battu di keluargana Djuanda Daeng Mile iami antu pannyoriagna sibilangngang sakbu.

Pannyoriang maka rua iami antu battu ri Safri Daeng Tola pannyoriangna ruangbilangngang limampulo. Nai antu poeng na nyori? Ohhh panynyoriang battu ri cikalinna Kasmawati Dg. Ngasi pannyoriangna limambilangngang sakbu”, sambung MC.

Undangan yang pertama dari keluarga Djuanda Dg. Mile berisi Rp.100.000. Selanjutnya undangan yang kedua dari Safri Dg. Tola berisi Rp.250.000. Selanjutnya siapa lagi? Ohh undangan dari sepupunya Kasmawati Dg. Ngasi berisi Rp.500.000). Begitulah sampai undangannya habis.

Dalam membacakannya dibutuhkan keterampilan dalam mencairkan suasana seperti halnya menampilkan sikap humoris atau lucu sehingga para tamu undangan tidak merasa bosan dan mengantuk. Selain itu, permainan intonasi dan irama dalam menyampaikannya cukup berperan penting sehingga dapat tersampaikan dengan jelas dan penuh semangat.

(* Penulis adalah Karmila, Mirnawati, Nur Alifya Muchtfadiana, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah Universitas Negeri Makassar. 

(** Tulisan ini telah disunting seperlunya oleh Redaksi Palontaraq. 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT