BerandaNarasi SejarahKita sedang Mundur atau lagi Maju?

Kita sedang Mundur atau lagi Maju?

Sureq Galigo. (foto: ist)
Sureq Galigo. (foto: ist/palontaraq)

Oleh: La Oddang Tosessungriu

PALONTARAQ.ID – “Siulilingeng nawa-nawa ronnang ri Wiringlangi //siampalu anrE pakkita sia ri RuwanglettE // ompo sibEtta Cinna ri Botinglangi”

(kerinduan saling membelit sejak di khayangan Wiringlangi, tatapan saling bertaut tatkala di khayangan RuwanglettE, saling melombakan hasrat ketika di khayangan)

Hasrat yang tak terputus adalah penanda kehidupan bagi manusia. Tak terkecuali PapoataE Sawerigading di negeri yang jauh dari Tana Luwu, tanah resapan air ketubannya.

Hasrat perantauannya terpenuhi sudah, namun hasrat iba dan rindunya pada We Panangngareng menggugah nuraninya setiap waktu. Namun bias rindunya demikian jauh di Tana Luwu sana.

Bagaimana ia mampu melangkahi kuasa sumpah “cucupiu” yang diamsalkan dirinya sendiri? “Cucupiu mapiunatopa, ala taddEwe’Etopa ri Luwu, …dan seterusnya”, demikian “sumpah keramat” yang diucapkannya. Ia mengutuk diri, pantangan “popogamaru” yang paling sakral telah terucap lidah kala itu.

Akibat gelap mata oleh kecewa karena hasrat tabu yang terhalang “sapa’ tana” (pantangan negeri). Hingga takdir menghanyutkan nasibnya hingga Negeri “Cinna”, tanah berlabuhnya segala “keinginan” ini.

“AmasEangnga’ pongratu anri, rara pale’ku, awalasuna pangemmerengku, urini’mai siulilingeng dekka temmaggangkaku” (kasihilah aku duhai adinda Dewi, berdarahlah telapak tanganku, setipis bawang tenggorokanku, aku disini dililit dahaga yang tak terhingga), do’anya pada We TenriabEng sang Bissu Rilangi.

Tergeraklah hati sang adik kembar, menyaksikan penderitaan kakaknya itu. Disiapkanlah waktu dan tempat di khayangan Botinglangi untuk mempertemukan Sawerigading dan We Panangngareng.

Pertemuan batiniah dua sejoli dari tempat berbeda yang berjauhan, bersua di khayangan yang tinggi melampaui mega, sementara raganya berbalur minyak dewata masing-masing berbaring di Luwu dan Cinna.

Bagi siapapun yang membaca epik ini 100 tahun yang lalu, niscaya dianggapnya ini adalah keajaiban yang tak mungkin berulang setelah masa I La Galigo.

Namun siapa sangka, “pertemuan khayangan” bukanlah dongeng ?. Teknologi satelit yang mengorbit diatas lengkungan “tarawu” memungkinkan siapapun bertemu di dunia maya.

Bagi anak negeri Luwu dan Cinna hari ini, menikmati kemajuan teknologi informasi sebagai ruang diskusi. Namun betulkah ini kemajuan kita?

Tentu saja, bukan. Ini adalah karya bangsa lain yang Alhamdulillah kita ikut menikmatinya. Sementara itu, I La Galigo sebagai karya agung Tana Luwu dari masa lalu telah dinobatkan UNESCO sebagai kitab warisan dunia selaku epos terpanjang di dunia.

Lalu apa karya kita hari ini? Maka sesungguhnya, dibanding generasi terdahulu, kita sedang maju ataukah justru sedang mundur? Apa yang selalu kita pikir hari ini? Jawabnya,  tergantung apa yang dijunjung diatas kepala, itulah dalam pikiran kita.

Wallahu ‘alam Bish-shawab. (*)

Artikel sebelumnya
Artikel selanjutnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT