BerandaFeatureMentalitas Jalan Pintas

Mentalitas Jalan Pintas

Oleh: Wim Poli, Guru Besar UNHAS

PALONTARAQ.ID – Sering kali pengetahuan yang ditarik dari pengalaman sendiri bertentangan dengan pengetahuan yang diturunkan dari teori.

Itulah yang dialami penulis dari dua pengalaman berikut ini.

Pertama, pada suatu ketika, sekitar 12 tahun yang lalu, penulis diundang untuk memberikan pelatihan pembangunan kepada sejumlah kepala daerah sebuah provinsi.

Pelatihan diadakan di sebuah hotel. Anehnya, para bupati tidak mau menginap di hotel tersebut. Alasannya: mereka menghindar dari kemungkinan pertemuan dengan warga kabupatennya.

Mengapa menghindar? Karena, mereka akan didatangi warganya dengan map yang berisi usulan proyek pembangunan.

Proyek pembangunan adalah obyek buruan yang perlu disetujui bupatinya. Obyek buruan tersebut adalah sumber pendapatan pengusul proyek.

Penulis tersentak, seolah-olah terbangun dari tidurnya, menghadapi “mentalitas jalan-pintas,” atau “hand-out mentality.”

Pertanyaan selanjutnya yang menggelitik ialah: apa pendapat para warga yang tidak berhasil berjumpa dengan bupatinya?

Kedua, pada suatu ketika, sekitar 8 tahun yang lalu, gubernur sebuah provinsi bertemu dengan penulis di sebuah rumah makan di Makassar. Percakapan kami tentu berkisar pada pembangunan di provinsinya.

Dengan polos penulis menyarankan agar setiap kali ia singgah di Makassar diadakanlah pertemuan dengan para mahasiswa asal provinsinya, untuk dialog tentang pembangunan.

Sang gubernur tersenyum, kemudian tertawa, lalu menjelaskan bahwa pertemuan semacam itu akan diwarnai datangnya para mahasiswa dengan map yang berisi usulan proyek yang perlu mendapat persetujuannya.

Penulis tersentak lagi, belum belajar dari pengalaman pertamanya. Pengetahuan teoretis penulis adalah: “no commitment without participation.”

Tidak ada komitmen warga masyarakat dalam pembangunan jika mereka tidak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Bagaikan terbangun kedua kali dari tidurnya, penulis sekali lagi menghadapi “mentalitas jalan-pintas” atau “hand-out mentality.”

Dan, sekali lagi, pertanyaan yang menggelitik ialah: apa pendapat mereka yang sukar bertemu dengan gubernurnya?

Dari dua pengalaman tersebut di atas, penulis menyimpulkan betapa ia tidak tahu kondisi lapangan yang jauh dari teorinya yang indah-indah.

Maka, benarlah pernyataan Einstein bahwa satu-satunya sumber pengetahuan adalah pengalaman.

Renungan: Metode belajar-mengajar yang efektif? Pengalaman dan posisiku?

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT