BerandaBeritaDaerahSekilas tentang Langkanaya, Balla Lompoa ri Marusu

Sekilas tentang Langkanaya, Balla Lompoa ri Marusu

Ilustrasi - Balla Lompoa ri Gowa. (foto: KITLV/palontaraq)
Ilustrasi – Balla Lompoa ri Gowa. (foto: KITLV/palontaraq)

Oleh: Andi Fahry Makkasau

Tulisan Sebelumnya: Gallarang Appaka, dari Gowa-Tallo ke Maros

PALONTARAQ.ID – Istana Raja yang disebut Balla Lompoa, dalam Bahasa Makassar atau disebut SaorajaE dalam Bahasa Bugis, adalah unsur terpenting dalam eksistensi kekuasaan Raja-raja Suku Makassar.

Balla Lompoa, tidak saja menjadi rumah tinggal bagi Raja dan keluarganya, dan tempat mengendalikan kekuasaan tetapi diyakini menyerupai anatomi tubuh manusia dan menempati areal persegi sebagai simbol alam semesta (sulapa’ appa’) yang memancarkan aura kekuatan dan kekuasaan.

Olehnya itu, Balla Lompoa terbagi atas 3 (tiga) susun. Yang paling atas disebut Pammakkang yang menjadi simbol Dunia Atas (Botinglangi), merupakan tempat menyimpan benda-benda dan pusaka kerajaan (regalia) atau lazim pula disebut Kalompoang.

Bagian tengah, disebut Kale Balla, sebagai simbol dunia tengah (Lino). Pada bagian Kale balla inilah kehidupan sehari-hari dijalani, tempat tidur, tempat istirahat, tempat menerima tamu, dan tempat memasak.

Terakhir, bagian bawah yang disebut Siring, sebagai simbol dunia bawah (peretiwi), tempat menyimpan alat-alat pertanian dan tempat tinggal budak/hamba sahaya, bahkan terkadang menjadi tempat tahanan kerajaan.

Lihat pula: Rumah Adat, Tradisi Menre’ Bola, dan Dapur Orang Bugis Makassar

Dalam Lontaraq Marusu tertulis keterangan bahwa I Mappasomba Daeng Nguraga (Raja Maros IV) adalah pemilik sebuah istana yang sangat besar, sebuah istana yang berbentuk Rumah Panggung dengan panjang sebanyak 12 Paddaserang (Rangkaian Rumah). Dalam hitungan normal rumah biasa 1 paddaserang panjangnya 3-4 meter, tetapi untuk Balla Lompoa lazimnya berukuran 7-9 meter.

Balla Lompoa Karaeng Marusu ini yang dinamakan Langkanaya adalah Balla Lompoa terbesar saat itu dengan total panjangnya 12 x 9 meter atau 108 meter, lebih panjang dari sebuah lapangan sepakbola, lebarnya menurut keterangan sebanyak 5 petak (6 baris tiang) yang masing-masing panjangnya 7 meter sehingga lebar rumah termasuk tamping sepanjang 35 meter. Sungguh sebuah rumah panggung (Rumah Raja) yang sangat besar.

Dalam lontara Marusu disebutkan “……….. memmatei Karaeng Loe ri Marusu, ana’na nikanayya I Mappasomba areng kalenna, Daeng Nguraga areng Paddaengna anjari Karaeng ri Marusu . iyami ampareki Langkanayya sampuloi anrua paddaseranna…..nanikana’mo Karaeng Patanna Langkana…”.

Istana “Langkanaya” ini jauh lebih besar dari Istana Tamalate, Balla Lompoa yang dibuat oleh Kasuwiang Salapanga (cikal bakal Bate Salapanga) untuk Putri Manurunga ri Takaba’sia setelah disepakati untuk diangkat menjadi Raja dengan gelar Sombayya (Raja yang disembah).

Istana “Tamalatea” disebut demikian untuk melambangkan simbol dedaunan dari pohon kayu yang menjadi bahan pembuat rumah belum layu ketika Istana tersebut sudah selesai. Panjangnya 9 paddaserang. Berarti lebih kecil dari Langkanaya, Balla Lompoa Marusu yang panjangnya 12 paddaserang.

Situs berdirinya Istana Langkanaya ini terbentang dari Selatan ke Utara membentang di atas Sungai Maros. Tiang Tengah Langkanaya yang dikenal dengan sebutan Langotinga (Pocci Balla atau Posi’bola) situs penandanya adalah sebuah Pohon Bidara yang saat ini masih tumbuh di Jalan Melati Kassikebo Maros.

Istana inilah yang diwariskan turun temurun sejak I Mappasomba Daeng Nguraga Karaeng Patanna Langkana ke anak cucunya yang ditempati terakhir oleh Karaengta Barasa (Raja Maros VII).

Terdapatnya Sungai Maros melintas di bawah kolong Istana Balla Lompoa ini berkaitan dengan sebuah mitos yang menjadi cerita tutur dari para orang tua dalam keluarga Besar kami di Marusu.

Ketika masa pemerintahan Raja Maros VI bernama I Karaeng Daeng Marewa, beliau terkenal sebagai seorang Raja yang sangat taat beragama, dalam Lontaraq Marusu, Beliau tercatat sebagai Raja Maros Pertama yang memeluk Islam.

Lihat pula: Tantangan Penulisan Sejarah Daerah Sulawesi Selatan

Baginda Raja Maros VI ini memeluk Islam langsung dari Dato ri Bandang tidak lama setelah I Mallingkaan Daeng Manyonri Karaeng Matoaya (Raja Tallo) memeluk Islam dan bergelar Sultan Abdullah Awwalul Islam yang kemudian disusul oleh I Mangngarai Daeng Manrabbia (Raja Gowa) dengan gelar Sultan Alauddin. Kondisi tersebut terjadi karena pada saat itu, Baginda adalah Tumailalang di Gowa dan Pabbicara Butta ri Tallo.

Kita kembali kepada sosok Baginda Raja Maros VI ini, disamping sebagai seorang Raja yang taat menjalankan syariah Islam, Baginda juga mendalami ilmu tasawwuf sehingga kedalaman ilmu agama Islam Baginda sangatlah dalam. Konon Baginda memiliki banyak karomah setara seorang waliyullah.

Syahdan suatu ketika permaisuri Baginda tengah hamil, sang istri ngidam ingin melihat ikan-ikan bermain di kolong Istananya. “….Karaeng Baineya eroki nacini juku tembang ammassi’ ri sirinna…..” Keinginan ini disampaikan kepada suaminya.

Baginda seketika mendengar permintaan istrinya tersebut lalu berangkat ke Kaki Gunung Bawakaraeng, beliau berdoa dan bermunajab lalu menancapkan tongkatnya dan dengan kekuasaan Allah terjadilah semburan air dari situ kemudian baginda menarik tongkatnya sambil berjalan melalui hutan belantara hingga melintasi kolong Balla lompoa sampai ke lepas pantai.

Dari jejak tarikan tongkat Baginda tsb lah konon mengalir air menyerupai selokan kecil yang didalamnya banyak ikan-ikan kecil bermain. Betapa bahagianya sang permaisuri karena keinginannya menikmati ikan-ikan bermain di kolong istana dapat terwujud.

Sejak saat itulah di bawah kolong istana Balla Lompoa mengalir sungai kecil yang makin lama mengalami abrasi menjadi semakin lebar. Sungai kecil itulah yang konon sekarang menjadi Sungai Maros. Karena kejadian ini Baginda lalu digelar Karaeng Angsakayyai Binangayya ri Marusu.

Apa yang kami ceritakan di atas adalah sebuah cerita yang tertulis dalam Lontara Maros. Kebenarannya tentulah hanya Allah SWT yang mengetahui dengan pasti. Pesan yang ingin kami sampaikan melalui tulisan ini adalah bahwa jejak kebudayaan dan eksistensi Maros sejak zaman dulu ternyata telah memberi warna lain dari cerita sejarah yang ada di Butta Mangkasara.

Cerita ini paling tidak menguraikan satu literasi yang menjelaskan suatu hal yang membuat Maros punya nilai lebih dibanding kerajaan lain saat itu. Meskipun kemudian sangat disayangkan karena Maros pasca Perjanjian Bungaya 1667/1669 terus mengalami downgrade hingga ke masa Kolonialisme Belanda, dari sebuah Kerajaan Besar menjadi Distrik Adat Gemenschaap.

Namun pun demikian kita semua wangsa dzuriyat Kerajaan Marusu tetap bangga dengan semua torehan prestasi para pendahulu kita. Fakta itu tidak bisa dibohongi bahwa mereka adalah orang hebat di masanya masing-masing. Alfatihah….Aamiin !

Wallahu alam bissawab.

Maros, Subuh 5 Agustus 2019

Artikel sebelumnya
Artikel selanjutnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT