BerandaSosial BudayaNarasi BudayaSiapa dan Bagaimana itu Togog?

Siapa dan Bagaimana itu Togog?

Oleh: Etta Adil

Related Post:  Drama Satu Babak di MRT, Black Saturday 13th

PALONTARAQ.ID – Tiba-tiba saja istilah “Togog” ini populer, dan maaf, perbincangan di Media Sosial terkait istilah “Togog” ini umumnya dialamatkan kepada pendukung Jokowi, yang banyak berkomentar memuji Jokowi tanpa tahu sebenarnya konteks persoalan sosial politik dan ekonomi yang sedang diperbincangkan.

Sebenarnya apa sih yang dimaksud “Togog” itu? Banyak netizen, entah dapat dibenarkan atau tidak, bahwa Togog yang dimaksud adalah singkatan dari tolol, goblok, dan gila.

Penulis tak ingin membahas siapa yang Togog diantara pendukung kedua capres ini, pendukung Jokowi ataukah Prabowo? Yang ingin penulis bahas sebenarnya adalah Togog sebagai tokoh pewayangan Jawa.

Kebetulan saja waktu bertemu kedua Capres ini di kereta MRT yang dilanjutkan dengan makan siang bersama di Restoran Sate Khas Senayan, FX, Jakarta Selatan, Sabtu (13/7/2019), posisi duduk Jokowi di depan tokoh Togog, sedangkan Prabowo berada di depan Tokoh Petruk Semar.

Togog. (foto: ist/palontaraq)
Togog. (foto: ist/palontaraq)

Togog dalam Cerita Pewayangan

Togog dalam Pewayangan Jawa dikisahkan sebagai putra dewa yang lahir sebelum Semar, tetapi karena tidak mampu mengayomi Bumi, maka Togog kembali ke asalnya dan pada waktu bersamaan, lahirlah Semar.

Pada zaman kadewatan diceritakan Sanghyang Wenang mengadakan sayembara untuk memilih penguasa kahyangan dari keempat anaknya yang lahir dari sebutir telur.

Lapisan-lapisan telur yakni kulit paling luar diberi nama Batara Antaga (Togog), kulit selaput diberi nama Batara Sarawita (Bilung), putih telur diberi nama Batara Ismaya (Semar) dan kuning telur diberi nama Batara Manikmaya (Batara Guru).

Untuk itu sayembara diadakan dengan cara barang siapa dari keempat anaknya tersebut dapat menelan bulat-bulat dan memuntahkan kembali Gunung Jamurdipa maka dialah yang akan terpilih menjadi penguasa Kahyangan.

Pada giliran pertama Batara Antaga (Togog) mencoba untuk melakukannya, tetapi yang terjadi malah mulutnya robek dan jadi dower karena Togog memaksakan dirinya untuk menelan, padahal mulutnya tidak muat.

Giliran kedua Batara Sarawita salah menelan gunung yang sedang aktif dan mendadak meletus sebelum dia menelannya membuat seluruh tubuhnya rusak dan bopeng-bopeng.

Giliran ketiga adalah Batara Ismaya (Semar) yang melakukannya, Gunung Jamurdipa dapat ditelan bulat-bulat tetapi tidak dapat dikeluarkan lagi.

Hal tersebut karena Semar tidak bisa mengunyah akibat giginya taring semua, dan jadilah Semar berperut buncit karena ada gunung didalamnya seperti dapat kita lihat pada karakter Semar dalam wayang kulit.

Karena sarana sayembara sudah musnah ditelan Semar maka yang berhak memenangkan sayembara dan diangkat menjadi penguasa kadewatan adalah Sang Hyang Manikmaya atau Batara Guru, anak bungsu dari Sang Hyang Wenang.

Adapun Batara Antaga (Togog), Batara Sarawita (Bilung) dan Batara Ismaya (Semar) akhirnya diutus turun ke marcapada (dunia manusia) untuk menjadi penasihat, dan pamong pembisik makna sejati kehidupan dan kebajikan pada manusia.

Pada akhirnya Semar dipilih sebagai pamong untuk para satria berwatak baik (Pandawa) dan Togog dan Bilung diutus sebagai pamong untuk para satria dengan watak buruk.

Lihat pula: Klaim MRT Jokowi: Perlawanan Diam Anies Baswedan

Karakter Togog

Pada setiap lakon pewayangan, Togog ‘ditakdirkan’ untuk mendampingi majikan berhati congkak, keras kepala, mau menang sendiri, hipokrit, otoriter, dan antidemokrasi. Suara-suara bijak dan pesan moral nyaris tak pernah didengar, sehingga dia ikut tercitrakan sebagai tokoh berwatak jahat.

Tugas Togog jelas lebih berat dari Semar. Semar bertugas untuk memomong para ksatria yang pada dasarnya sudah bersifat baik, sedangkan Togog bertugas untuk memberi nasihat, peringatan dan menyadarkan para ksatria yang berwatak buruk.

Tugas Togog sebenarnya adalah mencegah perilaku, tindakan, dan aksi kejahatan. Togog dalam posisi sebagai pengasuh (batur), dan tidak juga menjadi kehilangan jati dirinya.

Uniknya, Togog tetaplah dianggap sebagai sosok yang memiliki kecerdasan sebagai dewata. Meski berada dalam lingkungan tokoh jahat, Togog dianggap tidak lebur dalam perilaku jahat. Togog juga dianggap tidak lebur dalam opini umum.

Togog di belakang Jokowi dan Semar di belakang Prabowo. Apa artinya? (foto: ist/palontaraq)
Togog di belakang Jokowi dan Semar di belakang Prabowo. Apa artinya? (foto: ist/palontaraq)

Komentar Budayawan Sujiwo Tedjo

Bumi berhasil ditelan oleh Semar. Namun ia tak bisa mengeluarkan bumi dari perutnya. “Semar enggak mau kalah, bumi diuntal (ditelan) masuk ke bokongnya dan gak bisa keluar lagi.”

“Maka itu bokong Semar adalah sangat ditakuti, senjata paling ‘nggegirisi’ dari Semar adalah gas yang keluar dari perutnya,” kata Sujiwo Tejo.

Dari sayembara tersebut, dipastikan Batara Guru yang keluar sebagai pemenang dan sekaligus menjadi penguasa bumi. “Pertanyaannya, apakah Semar yang menguasai bumi? Tidak,” kata Sujiwo Tejo.

“Apakah bumi dikuasai oleh dua orang ini (Semar dan Togog) dan dia (Togog) akan berkoalisi dengan dia (Semar) karena dia menguasai bumi, tidak juga!”

“Yang menguasai bumi adalah Batara Guru, siapakah dia? Penguasa alam semesta adalah pihak ketiga, yakni Batara Guru yang tinggal di Kahyangan. Namun tampil di depan publik alias tinggal di bumi adalah Semar dan Togog,” jelas Sujiwo Tedjo.

Semar bertugas untuk mengasuh para kesatria dari golongan putih, sedangkan Togog bertugas untuk mengasuh para kesatria dari golongan hitam.

“Karena yang kedua ini terus janjian, dan penguasa alam semesta ini pihak ketiga, tapi yang tampil di publik adalah dia (Semar dan Togog).”

“Celakanya, Pak Jokowi kenapa duduknya di sini (depan Togog). Kenapa enggak disini?
Tapi saya ingin optimis.”

“Justru dia memang ada di kalangan hitam, tapi fungsinya bukan menyuruh orang berbuat semakin hitam tapi untuk mengingatkan dan mengingatkan,” pungkas Sujiwo Tedjo.

Komentar Sunu Wasono, Peneliti Folklor

Pertemuan Jokowi dan Prabowo di Kereta MRT dan dilanjutkan dengan Makan Siang di Restoran Sate Khas Senayan, FX, Jakarta Selatan, Sabtu (13/7/2019) terkait posisi duduk di depan tokoh pewayangan.

Posisi Jokowi yang di depan tokoh Togog, sedangkan Prabowo berada di depan Tokoh Petruk Semar turut pula dikomentari Peneliti Folklor dari Universitas Indonesia (UI), Sunu Wasono.

Sunu Wasono menganggap bahwa tokoh wayang yang terlibat dalam pertemuan penting Jokowi dan Prabowo itu adalah Punakawan dan raksasa atau yaksa.

“Yang di sebelah kanan Semar (paling depan), Gareng, Petruk (yang paling tinggi dan hidungnya panjang), dan Bagong (paling belakang, hanya tampak kepala dan bibir memble). Sementara yang sebelah kiri itu Togog (mulutnya lebar), Sorowito atau Bilung, dan yang belakang kemungkinan Buto Terong,” ujar Sunu Wasono.

Menurutnya, Semar dan ketiga anaknya Gareng, Petruk, dan Bagong adalah kelompok Punakawan. Dalam dunia pewayangan, Punakawan dikenal sebagai kelompok penghibur dengan humor khas untuk mencairkan suasana. Semar sendiri dikenal sebagai tokoh sabar dan bijaksana.

“Mereka (Punakawan) bertugas menjadi pendamping para kesatria berwatak baik, sedangkan Togog dan kawanannya adalah pendamping atau abdi dalem raksasa berwatak buruk,” jelas Sunu Wasono.

Meski Semar “hanya” bertugas sebagai pendamping para kesatria, dia adalah jelmaan Dewa Ismaya, dewa yang menjelma dalam wujud manusia. Semarlah yang mengingatkan dan meluruskan para kesatria, bahkan raja atau pimpinan bila tindakan mereka melenceng.

Selain itu, Togog dan Semar adalah kakak beradik. Namun, karena Togog tidak mampu mengayomi Bumi, dia kembali ke tempat asalnya dan saat bersamaan lahirlah Semar.

Dalam konteks politik, Para Punakawan itu merupakan representasi dari rakyat. Jadi, kalau pimpinan yang didukung sudah rukun rakyatnya pun rukun. Kalau pimpinan mereka sudah berekonsiliasi, rakyatnya pun bersatu,” harap Sunu Wasono. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT