BerandaOpiniTinjauan Fikih tentang Pemilu

Tinjauan Fikih tentang Pemilu

Pemilu 2019
Pemilu 2019

 

Oleh:  M. Farid Wajdi, S.H.i

PALONTARAQ.ID – MASALAH  Pemilu merupakan salah satu masalah dalam kajian fikih kontemporer.  Bagaimana sebenarnya masalah Pemilu ini dalam perspektif fikih.

Umumnya umat Islam meyakini bahwa fikih identik dengan aturan atau doktrin islam tentang beragam  persoalan hukum (syariah) keseharian kaum muslimin.

Kredibilitas fikih senantiasa diuji , demikian pula persoalan kontemporer lainnya. Pro-kontra tentang wajib tidaknya mendirikan partai (berazaskan Islam) seperti berlalu begitu saja hingga bermunculannya Partai Politik (Parpol) Islam peserta Pemilu di di berbagai negara berpenduduk muslim, termasuk di Indonesia.

Pertentangan tersebut tetap ada di lingkungan umat Islam disamping pihak yang mengatakan tidak wajib dengan argumentasinya masing-masing.

Persoalan  ini sengaja dikemukakan mengingat signifikansinya dari seluruh proses penyelenggaraan Pemilu. Sebab, bagaimana mungkin Pemilu akan terselenggara tanpa partai politik sebagai pesertanya?

Selanjutnya, persoalan Pemilu tidak sebatas ada atau tidak adanya partai peserta pemilu melainkan ada persoalan lain seperti aspirasi mayoritas masyarakat muslim, golongan putih (golput), penentuan sistem pemilu, kedudukan anggota legislatif (wakil rakyat) yang dihasilkan melalui pemilu, hingga tuntutan kualitas pemilu itu sendiri.

Masih banyak hal yang sebenarnya perlu dikaji. Meski begitu, adanya kejelasan bagaimana status pemilu dalam perspektif hukum islam (fikih) serta ragam persoalan yang mengiringinya merupakan hal yang niscaya.

Sebab, hanya dengan cara seperti itulah umat islam akan bisa mempelajari pelbagai  kemungkinan munculnya banyak isu yang sengaja ditiupkan menyangkut proses penyelenggaraan pemilu, seperti bagaimana status keikutsertaan-nya dalam sebuah partai politik hingga sikap yang harus diambil ketika Pemilu tidak berlangsung jujur dan adil (jurdil).

Lantas bagaimana sebenarnya fikih Islam memandang persoalan Pemilu? Wakalah dalam pengertian fikih islam memang identik dengan hakikat dan mekanisme penyelenggaraan pemilu yang ujung-ujungnya adalah memilih wakil rakyat.

Keidentikan wakalah terlihat ketika fikih islam mengajukan empat rukun dalam wakalah, masing-masing: (1) muwakkil, orang yang memberikan mandat (rakyat), (2) wakil, orang yang diberi mandat atau calon anggota DPR, (3) muwakkil fih, urusan-urusan yang dipercayakan pada wakil atau penegak kedaulatan rakyat dan penyelenggaraan pemerintahan dan (4) ikrar (sumpah jabatan)  daripada wakil (wakil rakyat).

Sistem wakalah pernah dipraktekkan pada zaman nabi, yakni dalam konteks ahlul halli wal taqdi dimana anggota lembaga perwakilan rakyat dipilih oleh kaum muslim sebagai wakil-wakil mereka.

Dalam hal ini, tampaknya persoalan wakalah atau wakil mewakili memang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam konteks fikih al-siyasi.  Konsep wakalah tampaknya juga menyinggung sistem penyelenggaraan pemilu. Dalam hal penetapan sistem distrik dan proporsional, wakalah lebih dekat kepada sistem distrik.

Sistem distrik lebih dekat dengan semangat fikih islam karena dalam sistem tersebut juga terdapat persyaratan yang disebut ta’yin, yaitu adanya saling ketahuan antara wakil rakyat dengan yang diwakilinya, atau dalam pemilu, antara calon wakil rakyat dengan rakyat yang diwakilinya dalam dewan.

Munawir Syadzali mengungkapkan bahwa didalam sejarah islam tidak pernah ada dan dikenal dengan sistem pemilu, tidak memperlihatkan preferensi politik yang demikian itu.

Gagasan pembentukan perwakilan rakyat baru muncul setelah dunia islam berkenalan dengan pemikiran barat pada akhir abad ke-19. Karena itu, menurut Munawir Syadzali soal format (sistem) pemilu sebaiknya jangan dilihat dari kacamata Islam.

Demikianlah beragam pendapat yang mengemuka terkait dengan penyelenggaraan Pemilu.  Satu sisi yang berbeda, penulis berupaya menyajikan pendapat /fatwa Habib Umar bin Hafidz tentang Pemilu dalam Majelis Rasulullah, sewaktu bertandang ke Jakarta. Beliau mengatakan:

وإذا جاء دورك في انتخاب أو غيره فاحذر أن تنتخب إلا من يتقي الله وإن صوتك أمانة

‎فإن بدا لك في المرشحين من تعلم أنه يتقي الله تبارك وتعالى

فدونك وهو. وإن التبس الأمر عليك فارجع إلى من تثق به من أهل علم الخشية

والخوف من الله الذين لا غرض لهم في الدنيا لتنظر أهون الشرين

أو من هو أقرب إلى مصلحة الناس فإن التبس الأمر عليك فاعتزل الكل.

‎هذا الذي فهمناه من هدي هذا المصطفى وهدي الصحابة والتابعين

‎ولا ينتظر منا أحد من الحكومات ولا من الأحزاب ولا غيرهم

من بقية الشعب أن ندعو إليهم فإن علينا العهد أن لا ندعو إلا إلى الله

‎ونخاف أن يَسْوَدَّ الوجه إذا خرجت كلمة نريد بها رضاء حكومة أو أحزاب أو شعب دون رضى الرب

 جل جلاله نخاف أن يسود بها الوجه يوم القيامة.

‎وهذا سبيل قدوتنا ونبينا {قل هذه سبيلي أدعو إلى الله}. فندعو إلى الله

جميع الأحزاب والحكومات والشعوب. بل نقول للموجودين من غير المسلمين

حكموا العقل والفطرة ولا يؤثِر أحدكم مصلحة شخص على مصلحة عموم البلاد

فإنه إذا تصرف هكذا في وقت فلا بد أن يأتيه وقت ينقلب الأمر عليه وينعكس

الحال فمهما رغبت في الدنيا وطمعت في كسبها فلا تجعلها سببا لإيذاء الآخرين وإيقاع الضر بالعموم.

‎وهذه مهمة أهل الدين أن يدعو الكل إلى رب العالمين. وليس العلماء بضائع تشترى بقليل ولا كثير

‎وجاء بعض السلاطين تائبا من سلطنته إلى الإمام الحسين ابن الشيخ أبي بكر بن سالم يقول

ضع من تشاء في السلطنة وأنا تبت إلى الله لأغنم باقي عمري

فقال لو كانت السلطنة والإمارة وسلطة الدنيا تصلح للدواب ما ارتضيتها لدابَّتي.

‎من حمل خلافة الوحي وخلافة نور النبوة أيغترُّ بهذا الحكم الظاهري ؟

‎فاغنموا بركة المجلس ووجهة قلوبكم إلى من جمعكم حتى لا ينصرف أحدكم إلا وهو يريد وجهه

‎توجهنا إليك متذللين بين يديك جنب إندونسيا وأهلها الفتن والبلايا واجعل

النصر فيها للحق والهدى وسنة المصطفى وانشر بأهلها الدين في مشارق الأرض

ومغاربها وادفع عنا شر أهل الهوى واجعل هوانا تبعا لما جاء به نبيك.

‎ومن أراد أن ينقل كلامنا في هذا الموضوع فلينقله بكامله

فإن أهل الهوى يلعبون بكلام العلماء وبكلام الله ويحذفون هذا ويأتون بهذا

ليصوروهم بالصورة التي يريدونها في تحقيق أغراضهم.

‎ونقول للجميع لا تنتظروا منا أن ندعو إليكم ولكن انتظروا منا أن ندعوكم

إلى الله وندعوا الله لكم وكلنا عبيده فقراء إليه وإليه مرجعنا

‎(إن الينا إيابهم ثم إن علينا حسابهم)

 

Terjemahan:

“Dan apabila telah datang giliranmu untuk memilih pemimpin, hendaklah engkau tidak memilih pemimpin kecuali orang yang bertakwa kepada Allah SWT. Sebab hak pilihmu adalah amanat.”

“Apabila tampak bagimu bahwa diantara para kandidat ada orang yang bertakwa kepada Allah SWT, maka pilihlah dia.”

“Namun apabila engkau ragu, maka mintalah pendapat kepada orang yang engkau percayai dari orang-orang yang berilmu dan punya rasa takut kepada Allah SWT, yang  tidak memiliki sedikitpun kepentingan duniawi, agar ia bisa menunjukkan kepada kalian mana perkara yang lebih ringan diantara dua hal yang buruk tersebut, atau siapa yang lebih bermanfaat untuk kepentingan manusia. Namun jika masih samar bagimu hal itu maka tinggalkanlah semuanya.”

“Inilah yang kami fahami dari ajaran Rasulullah SAW, sahabat dan para tabi’in.”

“Dan kepada pemerintah, partai maupun rakyat manapun,  janganlah kalian menunggu dari kami untuk mengajak umat kepada kalian. Karena kami telah memiliki komitmen untuk tidak mengajak manusia kecuali kepada Allah SWT semata.”

“Kami takut bahwa wajah kami akan dihitamkan  apabila keluar ucapan dari kami yang bertujuan untuk mencari ridho pemerintah, partai atau golongan manapun dan bukan ridho Allah. Sekali lagi, kami takut akan dihitamkan wajah kami kelak di hari kiamat.”

”Dan inilah jalan panutan kami, Nabi kami Muhammad SAW: “Katakanlah inilah jalanku, aku mengajak manusia kepada Allah.” (QS. 12 : 108)

“Kami mengajak semua partai dan semua pemerintahan dan rakyat hanya kepada Allah”

“Dan ini adalah tugas tokoh agama untuk mengajak semua kalangan kepada Allah semata, dan Ulama bukanlah barang dagangan yang bisa dibeli dengan harga murah ataupun mahal.”

“Dahulu sebagian pejabat pemerintahan datang kepada Imam Husein Bin Syekh Abi Bakar bin Salim dalam keadaan bertaubat seraya berkata, “Angkatlah siapapun orang yang engkau inginkan untuk memegang jabatan ini. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Allah agar aku mendapatkan anugerah dalam sisa umurku.”

“Beliau menjawab, “Apabila pemerintahan dan jabatan di dunia layak untuk diemban oleh hewan, niscaya aku tidak ridho diemban oleh hewan yang aku miliki.”

“Apakah manusia pengemban amanah wahyu dan amanah cahaya kenabian akan tertipu oleh jabatan duniawi semacam ini?”

“Dan kami menghadap kepada-Mu, Ya Allah, dalam keadaan merendahkan diri kami untuk urusan kota kami ini dan penduduknya, dari fitnah-fitnah dan musibah.”

“Berikanlah kepada mereka kemenangan dalam menjunjung kebenaran, petunjuk dan sunnah Rasulullah SAW dan sebarkanlah agama Islam kepada semua penduduk negeri baik di timur maupun di barat, dan jauhkanlah  kami dari keburukan orang-orang yang penuh hawa nafsu. Jadikan hawa nafsu kami mengikuti apa yang dibawa oleh Nabi-Mu.”

“Barang siapa yang ingin menukil (mengutip) pernyataan kami tentang hal ini, hendaknya ia menukilnya dengan lengkap.”

“Sebab orang-orang yang dikuasai hawa nafsu senantiasa memelintir ucapan para Ulama – bahkan (memelintir) firman Allah – dengan menghapus sebagian dan menambah sebagian yang lain. Tidak lain untuk menciptakan gambaran sesuai keinginan mereka demi mewujudkan tujuan mereka.”

“Kami sampaikan kepada semua, janganlah menunggu dari kami untuk mengajak umat kepada kalian. Akan tetapi, nantikanlah kami untuk mengajak kalian semua kepada Allah.”

“Dan kami mendoakan kalian semua. Kita semua adalah hamba Allah, sangat butuh kepada-Nya, dan hanya kepada Allah kita kembali.”

“Sesungguhnya hanya kepada Kami mereka kembali, kemudian Kami yang akan menghisab mereka.” (Qs. 88: 26)

Tulisan ini bukanlah argumentasi final, dan bisa saja suatu waktu penulis akan melengkapinya berdasarkan banyak pendapat para ahli, ilmuwan sosial politik serta para ulama yang tafaqquh fid-dien.

Demikian sedikit kajian kontemporer tentang Pemilu, semoga bermanfaat adanya. Wallahu ‘alam bish-shawab. (*)

Artikel sebelumnya
Artikel selanjutnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT