BerandaCerpenDialog dengan Sapi

Dialog dengan Sapi

Oleh: Etta Adil *)

PALONTARAQ.ID – TUBUHNYA subur. Berkulit coklat dan berpantat putih. Mereka bergerombol memasuki lingkungan sekolah yang ditinggal santri karena libur semester.   Dari teras rumah, saya berteriak, “Hoo ….. hoo ….. hoo …. Berhenti sampai disitu!”

Mereka berhenti di depan pos satpam. Sejenak yang paling depan menoleh ke arahku, seakan menunggu perintah. “Kamu…. Kamu….dan kamu semua tidak boleh masuk”, ujarku setengah berteriak.

“Hanya sampai disitu!  Tidak boleh melewati batas portal. Kamu boleh menikmati sarapan pagimu di bagian sana, di belakang ATM itu,” ujarku.

“Ngoooaaaaa ….. Ngooaaa …. ” – yang paling depan seakan mengerti, berbelok arah ke belakang ATM, diikuti lima yang lainnya.

“Ngoooaaaa …… Ngooaaa …. !” – yang lain di belakangnya ikut menimpali. Mereka ikut saja yang di depannya.

Disitu, di belakang ATM, sapi-sapi itu merumput sepuasnya. Aku terhenyak. Sejenak berpikir, mereka kok lebih mudah diarahkan dibanding kebanyakan orang yang makan pendidikan. Ataukah memang gerombol sapi itu bukan sembarang sapi, tapi sapi yang sudah didakwahi oleh pemiliknya, Ustas yang tinggal di depan pesantren itu.

Sapi Ustadz merumput di belakang ATM dalam lingkungan pesantren. (foto: ist/*)
Sapi Ustadz merumput di belakang ATM dalam lingkungan pesantren. (foto: ist/*)

Tak lama, istri muncul membawa segelas teh. “Dari dalam kedengaran seperti berteriak. Tadi itu bicara sama siapa, Etta?”

“Tidak! Tidak bicara sama siapa-siapa. Ini aku lagi baca naskah drama” – seraya menunjuk beberapa lembar kertas diatas meja.

“Drama tentang Apa, Etta?” tanyanya.

Drama tentang Siti Sapiyah, banyak sekali pesan dalam kisah hidupnya, salah satunya dia mengatakan, “Jangan terlalu terikat dengan kesempurnaan, jika kesederhanaan mampu membuat hidupmu bahagia”.

“Pendapat Etta tentang itu?” tanyanya lagi

“Ya bagus itu. Semua orang ingin hidup bahagia, hanya saja terkadang kita sendiri yang mempersulit keadaan, selalu ingin terlihat sempurna sehingga sulit untuk bahagia”.

“Lakukanlah itu. Jikapun bicara dengan sapi membuat Etta bahagia, lakukanlah itu. Sana, bicara dengan Siti Sapiyah”, ujarnya berlalu.

Aku terdiam menikmati teh yang tak lagi hangat.  Rupanya sebelum mengantar teh tadi, istri mengintip dahulu lewat jendela kaca. (*)

 

(* Etta Adil, Pemerhati Sosial Pendidikan, Penyuka Seni Drama.

Artikel sebelumnya
Artikel selanjutnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT