BerandaNarasi SejarahRiwayat Raja Bone (6): La Uliyo Bote’E

Riwayat Raja Bone (6): La Uliyo Bote’E

Oleh:  M. Farid W Makkulau

Tulisan Sebelumnya: Riwayat Raja Bone (5): La Tenri Sukki

PALONTARAQ.ID – LA Uliyo Bote’E naik takhta sebagai Raja Bone VI menggantikan ayahnya La Tenri Sukki, Raja Bone V. Digelari Bote’E karena Arumpone ini memiliki postur tubuh yang subur (gempal).

Konon sewaktu masih kanak-kanak sudah kelihatan besar dan kalau diusung, pengusung lebih dari tujuh orang. La Uliyo dikenal suka massaung manu’ (menyabung ayam), Arumpone VI ini kawin dengan We Tenri Wewang DenraE anak Arung Pattiro MaggadingE dengan isterinya We Tenri Sumange’.

Di masa pemerintahan La Uliyo Bote’E, Luwu kembali menyerang Bone dan sekali lagi dikalahkan. Bone kemudian memperoleh bantuan Gowa untuk memerangi sekutu utama Luwu dan Wajo, namun persekutuan itu merupakan campur tangan tidak biasa bagi Gowa dalam usahanya untuk merebut hegemoni di sebelah timur semenanjung.

Belakangan Gowa memang mengundurkan diri dan berkonsentrasi untuk mencapai harapannya di semenanjung barat Sulawesi Selatan (Matthes 1864: 478; Bakkers 1866: 180-2 dalam Andaya, 2004)

Arumpone inilah yang mengalahkan Datu Luwu yang tinggal di Cenrana. Pada masa pemerintahannya pulalah Bone mulai dilirik oleh Gowa.

Dalam lontara’ dijelaskan bahwa KaraengE ri Gowa (Raja Gowa) duduk bersama Arumpone di sebelah selatan Laccokkong. Pada saat itu antara orang Bone dengan orang Gowa saling membunuh. Kalau orang Gowa yang membunuh, maka Arumpone yang mengurus jenazahnya. Begitu pula kalau orang Bone yang membunuh, maka KaraengE ri Gowa yang mengurus jenazahnya. Arumpone ini pula yang menemani KaraengE ri Gowa pergi meminta persembahan orang Wajo di Topaceddo.

Arumpone inilah yang pertama didampingi oleh Kajao Laliddong. Dia pulalah yang mengadakan perjanjian dengan KaraengE ri Gowa Daeng Matanre Karaeng Tumapakrisika Kallonna.

Peristiwa peresmian hubungan diplomatik pertama antara Bone dengan Gowa, diupacarakan dengan pergelaran senjata sakti kedua kerajaan, ”Sitettongenna SudengngE-Lateya Riduni” di Tamalate. Kunjungan Raja Gowa secara formal dalam kunjungan kenegaraan, dan berhasil membentuk hubungan persahabatan bilateral antara Gowa dengan Bone.

Dengan upacara khidmat memperhadapkan senjata kebesaran Kerajaan Bone dan senjata kebesaran Kerajaan Gowa di Laccokang, Watampone, ibukota Kerajaan Bone (1538)

sumber foto: SkyscraperCity
sumber foto: SkyscraperCity

Setahun kemudian, Raja Bone, La Uliyo Bote’e melakukan pula kunjungan balasan ke Gowa dan berhasil membentuk dual alliance antara Bone dengan Gowa yang disebut, Ulu Adae ri Tamalate (Perjanjian Tamalate), yang menetapkan butir perjanjian sebagai berikut:

/ Narekko engka perina Bone, maddaungngi tasie naola Mangkasae, narekko engka perina Gowa makkumpellei bulue’ naoia to Bone /

/ Tessinawa-nawa majaki, tessipatingarai kanna Bone Gowa, tessiacinnaiyangngi ulaweng matasa pattola malampe /

/ Iyyasi somperengngi Gowa, Iyyasi mania ada torioloe, Iyyasi somperengngi Bone, Iyyasi mania ada torioloe /

/ Niginigi temmaringngerangriada torioloe, mareppai urikkurinna, lowa-lowana, pada ittello riaddampessangnge ri batue Tanana”.

Artinya :

Kalau Bone terancam bahaya musuh, maka berdaunlah lautan dilalui orang Makassar, kalau Gowa terancam bahaya musuh, maka ratalah gunung dilalui orang Bone.

Kalimat ini menandakan akan banyak sekali armada Gowa yang akan membantu Bone, demikian juga banyak sekali angkatan darat Bone yang akan datang membantu Gowa sehingga digambarkan akan berdaunlah lautan dilalui orang Makassar atau ratalah gunung dilalui orang Bone jika salah satu diantara mereka terancam musuh)

/Tidak akan saling berprasangka buruk, tidak akan saling serang menyerang (Bone-Gowa), tidak akan mencampuri urusan dalam negeri. (ulaweng matasa pattola malampe bermakna takhta dan putera mahkota) /

/Siapa saja yang melayarkan bahtera Gowa, maka dialah yang mewarisi amanat leluhur ini dan siapa saja yang melayarkan bahtera Bone, maka dialah yang mewarisi amanat leluhur ini. /

/Siapa saja yang tidak mengingat amanat leluhur ini, maka pecahlah periuk belanganya, negerinya, seperti telur dihempaskan ke atas batu. (Maksudnya, siapa saja diantara Raja Gowa dan Raja Bone yang tidak mengindahkan perjanjian ini, maka hancurlah sumber penghidupan rakyat dan negaranya)”. (Makkulau, 2009).

Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa Bone dan Gowa bersepakat untuk saling memberikan bantuan militer bilamana ada di antara mereka dalam keadaan bahaya ancaman militer. Ini merupakan sukses di bidang politik di masa kekuasaan La Uliyo Bote’e.

Setelah genap 25 tahun sebagai Arung Mangkaue’ ri Bone maka dikumpulkanlah seluruh rakyatnya dan menyampaikan calon penerusnya, ”Saya akan menyerahkan Akkarungeng ini kepada anakku, La Tenri Rawe”.

Mendengar pernyataan Arumpone tersebut, seluruh orang Bone setuju. Maka dilantiklah anaknya menjadi Arumpone. Acara pelantikan itu berlangsung meriah selama tujuh hari tujuh malam. (Kasim, 2002).

Karena kedudukannya sebagai Arumpone telah diserahkan kepada anaknya, maka La Uliyo Bote’E hanya bolak balik antara isterinya di Bone dengan isterinya di Mampu’.

Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone, disebutkan anak La Uliyo Bote’E dari isterinya We Tenri Wewang DenraE, adalah La Tenri Rawe BongkangE. Inilah yang menggantikannya sebagai Mangkau’ di Bone. La Tenri Rawe kawin dengan We Tenri Pakiu Arung Timurung MaccimpoE.

Anak berikutnya adalah La Inca, dialah yang menggantikan saudaranya menjadi Mangkau’ di Bone. La Inca kawin dengan janda saudaranya, We Tenri Pakiu Arung Timurung MaccimpoE. Anaknya yang lain, We Lempe kawin dengan sepupu dua kalinya La Saliwu Arung Palakka, anak dari We Mangampewali I Damalaka dengan suaminya La Gome.

Dari perkawinan ini lahirlah La Tenri Ruwa Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng. Selanjutnya We Tenri Pakkuwa, kawin dengan La Makkarodda To Tenri Bali Datu Mario. Sesudah We Tenri Pakkuwa adalah We Danra MatinroE ri Bincoro. Tidak disebutkan turunannya dalam lontaraq.

Masih dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone, disebutkan pula Anak La Uliyo Bote’E dari isterinya We Tenri Gau Arung Mampu adalah We Balole I Dapalippu yang kawin dengan paman sepupu ayahnya La Pattawe Arung Kaju MatinroE ri Bettung, anak dari saudara La Tenri Sukki MappajungE La Panaongi To Pawawoi Arung Palenna dengan isterinya We Tenri Esa’ Arung Kaju. Sesudah We Balole adalah Sangkuru’ Dajeng Petta BattowaE Massao LampeE ri Majang.

La Uliyo Bote’E meninggal dalam suatu perkelahian di Itterung dengan kemenakan, La Paunru dan sepupunya, La Mulia karena salah paham. Dalam perkelahian tersebut, baik La Paunru maupun La Uliyo tewas di tempat, sedangkan La Mulia dibunuh oleh orang yang datang membantu La Uliyo. Sejak itu, digelarlah La Uliyo Bote’E MatinroE ri Itterung (Artinya: Yang meninggal di Itterung). (***)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT