BerandaHumanioraBuat Apa Keren, Kalau Lesbi Jadi Trend?

Buat Apa Keren, Kalau Lesbi Jadi Trend?

Kim dan Pai dalam "Yes or No" (2011). (foto: ist/palontaraq)
Kim dan Pai dalam “Yes or No” (2011). (foto: ist/palontaraq)

Oleh: Etta Adil

Tulisan sebelumnya: Akhirnya Saya Tahu Kenapa Wanita Bisa Jadi Lesbi

PALONTARAQ.ID – Kasus Mawar (16 tahun) dan Melati (18 tahun) yang menjadi sepasang lesbi di lingkungan sekolah berasrama (boarding school) membuat penulis sedikit paham bahwa lesbi (juga homo) bukanlah suatu kondisi permanen, ia bisa muncul karena pengaruh lingkungan yang membentuknya.

Pada suatu waktu, Melati dilanda cemburu berat karena disaat hubungannya kurang membaik dengan Mawar , ternyata dia mendapati Mawar lagi menjalin hubungan pacaran dengan seorang Laki-laki.

Di saat seorang tak lagi didukung lingkungannya untuk berperilaku lesbi maka ia secara bertahap bisa normal dan kembali menyukai lawan jenisnya.

Pada kasus lain sepasang kekasih berlainan jenis, sebut saja namanya Bunga (19 tahun) dan Angga (20 tahun) merasa hubungannya selama masa berpacaran baik-baik saja sampai suatu waktu Bunga lebih tertarik dengan teman sekamarnya.

Sebut saja namanya Luna (21 tahun), seorang perempuan tomboi yang dianggapnya lebih memperhatikan, lebih peduli dan lebih sayang kepadanya dibanding Angga, cowok kerennya yang jarang menemuinya karena kesibukannya.

Kim dan Pai dalam "Yes or No" (2011). (foto: ist/palontaraq)
Kim dan Pai dalam “Yes or No” (2011). (foto: ist/palontaraq)

Kisah Bunga yang akhirnya menjadi kekasih lesbi Luna lebih disebabkan karena mereka lebih sering bersama, sekamar, belajar dan bermain bersama, menghadapi masalah bersama, makan bersama sampai tidur bersama dalam satu ranjang dan dalam satu selimut.

Dengan kehadiran Luna, Bunga merasa aman dan nyaman karena ada yang mendampingi dan melindunginya saat ia dalam masalah. Angga akhirnya tak dapat membendung pikiran dan perasaan lain Bunga, kekasihnya yang menjadi kekasih Luna.

Kisah Bunga, Angga dan Luna menjadi contoh menarik lahirnya penyimpangan orientasi seksual. Ketampanan Angga tidak cukup menjadi dasar bagi Bunga untuk tidak simpatik kepada Luna yang lebih peduli dan lebih ada waktu buatnya.

Dengan kata lain kita bisa mengatakan, “Buat apa Angga keren, kalau kecenderungan Bunga, kekasihnya adalah menjadi lesbi”. Kecenderungan itu menjadi trend saat banyak faktor lingkungan mendukungnya untuk berubah.

Kisah Bunga dan Luna yang menjadi sepasang lesbi mirip ceritanya dengan film lesbi Thailand, “Yes or No”. Film ini ternyata sangat disukai dinonton berdua oleh Mawar dan Melati.

Kim dan Pai dalam "Yes or No" (2011). (foto: ist/palontaraq)
Kim dan Pai dalam “Yes or No” (2011). (foto: ist/palontaraq)

Proses lahirnya penyimpangan orientasi seksualnya pun mirip dengan apa yang diceritakan dalam film “Yes or No” tersebut. Ceritanya tentang Pai, seorang mahasiswi yang memegang sikap negatif tentang “cewek tomboi” namun justru ia harus sekamar dengan Kim.

Kim, seorang cewek tomboi, berpakaian layaknya Laki-laki dan menyukai cewek. Pai akhirnya mencampakkan pacarnya dikarenakan lebih menyukai Kim, cewek sekamarnya yang lebih peduli dan selalu bersamanya.

Jadi, kalau lesbi jadi trend karena banyak faktor lingkungan yang membentuknya, buat apa jadi cowok keren ?. Apa harus mencari cowok keren juga? Homo dong jadinya?

Selain faktor lingkungan, konsumsi film dan pemanfaatan internet yang salah, dapat mempercepat proses pembentukan seorang menjadi lesbi. Mawar dan Melati menjadi bukti hidup betapa film dan internet mempengaruhi perilaku kelesbian keduanya.

Penulis kira ini suatu hal yang harus dicermati oleh siapapun, paling tidak menjadi perhatian dan keprihatinan bersama khususnya orang tua di rumah dan guru di sekolah. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT