BerandaBeritaDaerahPengalaman Berburu Babi di Tondongkura

Pengalaman Berburu Babi di Tondongkura

Persiapan Berburu Babi. (foto: ist/palontaraq)
Persiapan Berburu Babi. (foto: ist/palontaraq)

Laporan: Etta Adil

Related Post: Tambara, Herba Pembangkit Kematian dari Tondongkura

PALONTARAQ.ID – Mendapatkan pengalaman baru yang menantang adalah salah satu hal yang penulis sukai, khususnya terkait jelajah alam dan budaya lokal.

Itulah sebabnya dalam Bulan Maret 2012 ketika Kepala Desa (Kades) Tondongkura, Abdul Munir, S.Pd.I mengajak berburu babi di Hutan-hutan Tondongkura, tawaran tersebut langsung penulis iyakan.

Tondongkura adalah salah satu desa dataran tinggi dalam lingkup wilayah Kecamatan Tondong Tallasa, Kabupaten Pangkep. Wilayahnya dikelilingi oleh hutan belantara berbukit-bukit sekawasan dengan tanah pertanian dan perkebunan di belakang permukiman warga.

Hutan Perburuan di Tondongkura. Di kejauhan nampak Gunung Bulusaraung. (foto: mfaridwm).
Hutan Perburuan di Tondongkura. Di kejauhan nampak Bulusaraung. (foto: mfaridwm).

Kerukunan dan persatuan warga Desa Tondongkura cukup terjaga dengan baik, namun ada satu binatang pengganggu yang telah lama menjadi musuh bersama mereka.

Pada malam hari, seringkali Babi-babi liar yang hidup di Hutan-hutan Tondongkura turun mengganggu tanaman pertanian dan perkebunan warga yang menjadi pokok mata pencaharian mereka.

Babi dengan sendirinya menjadi binatang pengganggu yang harus diburu dan dibasmi, bahkan atas kesepakatan warga dipimpin Kadesnya, tiap hari minggu menjadi agenda rutin perburuan babi dari satu hutan ke bagian hutan yang lain di Tondongkura.

Ikut memasang perangkap. (foto : ist).
Berjaga-jaga, setelah ikut memasang jaring perangkap. (foto: ist/palontaraq)

Hari belum beranjak terang. Masih pagi sekali semua warga sudah berkumpul di lokasi perburuan yang telah ditentukan seminggu sebelumnya. Ada yang lewat jalan desa dan sebagian besar lainnya lewat kawasan persawahan di belakang permukiman warga. Semuanya membawa tombak diikuti anjingnya.

Sudah dua pekan dalam Bulan Maret 2012 tersebut, yaitu pada Tanggal 11/3 dan 18/3, penulis ikut berburu atas ajakan Kepala Desa Tondongkura, Abdul Munir, S.Pd.I dan warganya.

Untuk menyemangati perburuan babi tersebut, penulis menyiapkan beberapa amplop (berisi uang tentunya yang tak seberapa, sekadar seru-seruan) sebagai hadiah bagi siapa saja warga yang tombaknya mengenai babi buruan.

Dari atas bukit, nampak sungai dan kawasan persawahan yang menghijau. (foto : mfaridwm).
Dari atas bukit, nampak sungai dan kawasan persawahan yang menghijau. (foto: mfaridwm/palontaraq)

Ternyata untuk ikut berburu babi bersama warga Tondongkura, diperlukan fisik dan stamina yang kuat. Hal ini disebabkan medan yang dilalui adalah hutan berbukit yang mana untuk melaluinya harus naik turun, pendakian dan penurunan dalam hutan lokasi perburuan.

Ada Puluhan lokasi perburuan babi di Tondongkura, namun yang saya ikuti hanya perburuan di lokasi hutan yang disebut “Kalorang” dan “Bonto Panno”.

Setiap minggu digilir lokasi perburuan babi, begitu pula pimpinan berburunya. Warga yang berburu mengorganisir diri dalam tiga kelompok, yaitu Pertama, mereka yang bertanggung jawab memasang perangkat, disebut Pasoso.

Kedua, mereka yang mengejar bersama anjingnya babi buruan, dan Ketiga, mereka yang berjaga diluar hutan untuk mengantisipasi dan menombak buruan babi yang terhindar atau terlepas dari perangkap.

Ketua RK, Darwis, selaku pimpinan berburu mengomando warga. (foto : mfaridwm).
Ketua RK, Darwis, selaku pimpinan berburu mengomando warga. (foto: mfaridwm/palontaraq)

Untuk pimpinan berburu, biasanya dipilih dari Kepala-kepala RK yang cekatan dan gesit dalam berburu. Bukan hanya dalam hal memberi Aba-aba menyerbu masuk hutan, tetapi juga yang lebih kuat fisiknya serta memahami medan berburu dengan baik.

Berbeda halnya dengan pimpinan Pasoso atau yang membuat perangkap, umumnya dipilih dari orang tua yang sudah banyak pengalaman berburu serta dapat menerawang (memperkirakan) banyak tidaknya babi dalam suatu hutan perburuan.

Dalam berburu babi, tak sedikit diantara warga berharap dapat rusa (makassar: jonga) meski populasinya semakin berkurang dan hampir tidak ada sama sekalinya muncul dalam suatu hutan perburuan.

Hasil buruan. (foto : mfaridwm).
Hasil Buruan disaksikan Kades dan Pimpinan berburu ditengah warga. (foto : mfaridwm/palontaraq)
Kepala Desa Tondongkura, Abdul Munir, S.Pd.I. (foto: mfaridwm/palontaraq)
Paling kanan – Kepala Desa Tondongkura, Abdul Munir, S.Pd.I. (foto: mfaridwm/palontaraq)

Jika tak ada kesibukan yang dianggap penting dan mendesak, kehadiran Kepala Desa dalam berburu adalah wajib. Begitu pula kepala-Kepala Dusun dan Ketua RK dan inilah sebabnya suasana pada Hari Minggu di Tondongkura nampak lengang.

Semua penduduk laki-lakinya turun berburu tanpa kecuali, anak muda dan orang tua. Yang tinggal di rumah hanyalah kaum wanitanya.

“Sampai saat ini kami belum menemukan satu cara bagaimana membasmi babi di hutan yang seringkali mengganggu tanaman pertanian dan perkebunan warga kecuali dengan memburunya” ujar Kades Tondongkura, Abdul Munir, S.Pd.I didampingi Darwis, salah seorang Ketua RK-nya yang pada hari itu ditunjuk sebagai pimpinan berburu.

Hasil Buruan disaksikan Kades dan Pimpinan berburu ditengah warga. (foto : mfaridwm).
Hasil Buruan (foto : mfaridwm/palontaraq)
Hasil buruan. (foto: mfaridwm/palontaraq)
Hasil buruan. (foto: mfaridwm/palontaraq)

Berburu babi bagi warga Tondongkura boleh dibilang sudah biasa. Mereka sudah melakukannya puluhan tahun dan selama itu pula babi tak kunjung berkurang.  Sesekali datang tamu yang dikenali sebagai Orang Toraja pada hari berburu untuk mendapatkan babi dari warga setempat.

Warga Tondongkura memburu dan membunuh babi tidak lebih disebabkan karena dianggap sebagai binatang pengganggu tanaman, tidak untuk dimakan dagingnya apalagi dijualnya, meski begitu jika ada orang luar datang mau membelinya, maka mereka akan dengan senang hati menjualnya tanpa perlu menetapkan harga.

Jika tidak, cukuplah tangkapan babi buruan itu untuk menjadi santapan anjing – anjing mereka. Hari Minggu itu, Di lokasi yang disebut “Kalorang”, tiga buruan babi berhasil ditombak, sedang enam babi lainnya dinyatakan bebas dan terlepas dari perangkap.

Gunung Bulusaraung yang tertutup awan nampak lebih dekat. (foto : mfaridwm).
Gunung Bulusaraung yang tertutup awan nampak lebih dekat. (foto : mfaridwm).
Pemandangan Bulusaraung. (foto: mfaridwm/palontaraq)
Pemandangan Bulusaraung. (foto: mfaridwm/palontaraq)

Sungguh menyenangkan dapat berbaur dengan warga Tondongkura merasakan denyut nadi kehidupan mereka di wilayah pegunungan yang keras berburu babi hutan.

Penulis tak sanggup lagi melanjutkan perburuan di lokasi berikutnya dan dalam perjalanan pulang sambil menyeret kaki yang keletihan.

Dari atas ketinggian sekitar 600 mdpl, saya hanya dapat menatap dari jauh kekokohan dan eksotisme salah satu gunung paling dikagumi di Sulawesi Selatan, Bulusaraung, yang menyatu dengan bentangan kawasan karst terindah kedua setelah China. Wuihh, memang sungguh indah dan memesona.

Sayangnya, yang penulis dengar saat bafru-baru ini ke Tondongkura, tradisi berburu babi yang sekaligus sebagai ajang silaturahmi dan mengakrabkan diri antar warga desa kini mulai ditinggalkan.

Tradisi Berburu Babi ini mulai ditinggalkan sejak bukan lagi Abdul Munir, S.Pdi sebagai Kepala Desa, boleh jadi juga karena kini warga desa semakin disibukkan dengan tradisi baru seiring perkembangan jaman, anak muda milenialnya sibuk main gadget! (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT