BerandaAkademiaDari Tauhid ke Hidup Bahagia

Dari Tauhid ke Hidup Bahagia

Oleh: Dr. Adian Husaini *)

Related Post: Tanya Jawab Seputar Tauhid

PALONTARAQ.ID – Sudah menjadi ketentuan Allah, bahwa kita, kaum muslimin, memiliki hubungan yang sangat khusus dengan Nabiyullah Ibrahim sebagai Sosok yang agung ini begitu istimewa. Setiap shalat, kita melantunkan shalawat dan doa untuk Nabi Muhammad saw, sekaligus untuk Nabiyullah Ibrahim A.S.

Nabiyullah Ibrahim sebagai bukan raja, bukan kaisar, bukan konglomerat. Beliau seorang utusan Allah yang mulia. Beliau seorang pejuang penegak Tauhid dan menjadi contoh dalam perjuangan membangun generasi gemilang dan masyarakat yang bertauhid.

Meskipun dibakar dan diusir oleh rajanya, serta dimusuhi keluarga dan masyarakatnya, Nabi Ibrahim telah menorehkan goresan tinta emas dalam upaya penegakan kalimah Tauhid. Beliau berhasil mendidik dua anaknya menjadi penerus perjuangannya, yakni Ismail dan Ishaq.

Bahkan, bukan hanya itu, istrinya, Hajar, wanita pemberani dan taat suami, berhasil mendidik anaknya dengan aqidah dan akhlak yang begitu agung. Ia rela disembelih ayahnya sendiri, karena ia yakin, ayahnya adalah manusia hebat yang taat dalam menjalankan perintah Allah SWT.

Ketika dikabari bahwa ia akan disembelih oleh ayahnya, karena perintah Allah, dengan mantap, Ismail menjawab: “Silakan, laksanakan perintah Allah itu, wahai ayah. InsyaAllah, aku termasuk orang-orang yang sabar!”

Tampilnya generasi Ismail yang memiliki akhlak mulia, dengan sikap sabarnya itu, tentu merupakan anugerah Allah. Tetapi, ada proses pendidikan yang dijalani oleh Ismail. Ibunya tentu mengabarkan kepadanya, bahwa ayahnya adalah seorang pejuang dengan keberanian dan kecerdasan yang di atas rata-rata.

Kemuliaan keluarga Ibrahim itu diawali dari kokohnya keimanan dalam diri Ibrahim. Sejak muda, Ibrahim sudah terbiasa berpikir kritis. Ia menyaksikan bodohnya orang-orang yang menyembah batu. Mereka hanya mengikuti tradisi yang salah dan enggan berpikir kritis. Kebodohan semacam inilah yang digoncang oleh Ibrahim muda, dengan aksinya menghancurkan patung-patung sesembahan keluarga dan masyarakatnya.

Ibrahim menang dalam pemikiran. Masyarakat dan rajanya bungkam seribu bahasa. Akhirnya, mereka hanya bisa “main otot”. Dengan kekuatan fisik dan jumlah banyak, mereka menangkap Ibrahim, membakar dan mengusirnya.

Tetapi, Ibrahim tidak kalah. Secara politik dan ekonomi ia kalah. Ibrahim tidak menjadi raja. Tetapi, iman, kesabaran, kecerdasan, keberanian, keikhlasan, dan juga kebijakan, tetap terjaga dan ke depan menemukan momentum kebangkitan kembali melalui bangkitnya generasi gemilang yang dipimpin oleh anak keturunan Ibrahim.

Jadi, benarlah apa yang dikatakan seorang penyair Mesir, bahwa “Innal hayaata aqidatun wa-jihadun!” Bahwa, sejatinya, hakikat hidup itu adalah untuk menjaga dan mengokohkan aqidah serta berjuang menegakkan kebenaran. Hidup itu perjuangan yang dilandasi dengan keimanan yang kuat.

Dasar hidup dan perjuangan adalah iman yang kokoh! Keyakinan yang kuat itulah yang dimiliki oleh Ibrahim, sehingga ia tidak ragu-ragu menceburkan dirinya ke dalam api. Keyakinan adalah harta yang paling berharga dan mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan (sa’adah).

Karena hilangnya iman atau keyakinan dalam diri seorang muslim adalah musibah terbesar dalam hidupnya! Penyair besar Pakistan, Mohamma Iqbal, pernah mengingatkan, bahaya pendidikan modern ala Barat yang juga menancapkan keraguan dan menghilangkan keyakinan dalam beragama.

Hilangnya keyakinan dalam diri seseorang, kata Iqbal, lebih buruk dari perbudakan. Itulah yang diingatkan Iqbal, berpuluh tahun lalu: “Conviction enabled Abraham to wade into the fire; conviction is an intoxicant which makes men self-sacrificing; Know you, oh victims of modern civilization! Lack of conviction is worse than slavery.”

Jadi, kata Iqbal, keyakinan dalam diri seorang akan mendorong seorang rela mengorbankan dirinya. Karena itu, berhati-hatilah, wahai anda yang menjadi korban dari peradaban modern! Hilang keyakinan kepada Allah SWT, maka itu lebih buruk daripada perbudakan!

Jika hilang keyakinan, maka manusia akan menjadi budak setan dan budak hawa nafsunya! Hidupnya tidak akan bahagia. Hidupnya akan seperti binatang; mengejar syahwat satu ke syahwat lainnya. Hidupnya akan gelisah karena jauh dari zikir kepada Allah SWT. Mungkin ia kaya, mungkin ia pemegang kuasa, mungkin ia terkenal dan dipuja-puja dimana-mana. Tapi, ujung hidupnya adalah sengsara jiwa dan narkoba! Na’udzubillah.

Semoga kita dan keluarga kita mampu meneladani kehidupan dan perjuangan Nabiyullah Ibrahim a.s. dalam mendidik diri, keluarga, dan masyarakatnya! Aamiin. (*)

 

Sumber: www.adianhusaini.id, 4 Juli 2023

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT