BerandaAkademiaHubungan Ilmu Hewan dengan Pendidikan Islam

Hubungan Ilmu Hewan dengan Pendidikan Islam

Oleh: Dr. Adian Husaini *)

Related Post: Khutbah Idul Adha: Nilai-nilai Pendidikan dalam Peristiwa Qurban

PALONTARAQ.ID – “Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki qalb, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.” (QS al-A’raf: 179).

***

Tahun 1985, berdasarkan hasil istikharah dan musyawarah, saya memutuskan untuk memilih kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanan Bogor (FKH-IPB). Sejak SMA, saya senang belajar Biologi. Ditambah lagi dengan aktivitas keislaman yang sangat menarik di FKH IPB.

Maka, saya langsung bergabung dengan kegiatan Senat Mahasiswa. Di tahun kedua, saya terpilih sebagai anggota Badan Perwakilan Mahasiswa FKH-IPB. Di unit Kerohanian Islam Senat Mahasiswa FKH-IPB, saya diamanahi mengelola buletin Kerohanian Islam bernama Bulletin An-Nahl, yang harus terbit setiap Hari Jumat.

Aktivitas menulis bulletin ini kemudian turut mengasah kemampuan saya di bidang tulis menulis. Tahun 1990, saya mulai terjun sebagai wartawan Harian Berita Buana, lalu tahun 1993 berlanjut ke Harian Republika.

Sejumlah mata kuliah di FKH-IPB menarik perhatian saya, karena terkait dengan fenomena alam sebagai ayat-ayat Allah (ayat kauniyah), seperti mata kuliah: Bakteriologi, Virologi, Entomologi, Farmakologi, Anatomi, Histologi, Patologi Klinik, dan sebagainya.

Lulus sebagai Sarjana Kedokteran Hewan, tahun 1989, saya menjadi guru Biologi di sebuah Pesantren di Cibinong, Bogor. Gajinya lumayan: Rp 50 ribu sebulan. Saya mengajar “Biologi Iman”. Saya mencoba mengaitkan antara ayat-ayat kauniyah dan ayat-ayat qauliyah. Salah satu buku favorit saya ketika itu adalah Bibel, Quran, dan Sains Modern, karya Dr. Maurice Bucaille, yang diterjemahkan oleh Prof. HM Rasjidi.

***

Tahun 2003, atas anjuran Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi, saya melanjutkan kuliah ke International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC). Saya tidak pernah mendengar nama Kampus ini sebelumnya. Kampus yang didirikan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas ini seperti menyatukan seluruh perjalanan keilmuan saya sejak kecil, yang sudah terbiasa mengkaji kitab-kitab seperti Sullamut Taufiq, Arba’in Nawawiyah, Bidayatul Hidayah, dan sebagainya.

Gagasan Islamisasi Ilmu Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas sudah saya baca sejak tahun 1984, melalui bukunya, Islam dan Sekulerisme, yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh Pustaka Salman Bandung. Tahun 1987, saya masuk Pesantren Mahasiswa Ulil Albab – UIKA Bogor. Pesantren ini diresmikan oleh Bapak Mohammad Natsir. Waktu itu, saya mahasiswa tingkat akhir di FKH-IPB.

Bahkan, tahun 1983, UIKA Bogor sudah mendeklarasikan program “ISK” (Islamisasi Sains dan Kampus). Ketika itu, rektor UIKA adalah Prof. Dr. Ir. AM Saefuddin. Jadi, gagasan Islamisasi Ilmu sudah cukup akrab dan menarik perhatian. Karena itulah, ketika saya mengajar mata pelajaran Biologi, saya berusaha menerapkan konsep Islamisasi Ilmu, dalam bidang Biologi. Misalnya, dengan melakukan proses De-westernisasi terhadap bagian pelajaran tentang asal-usul manusia Indonesia yang dikatakan berasal dari hominid (bangsa kera).

***

Tahun 2010, saya mendapat amanah memimpin Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam di Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor. Sebagai kampus yang puluhan tahun mengusung jargon “ISK”, maka program Islamisasi Ilmu terus digemakan dan diupayakan untuk diterapkan di UIKA.

Jadi, sejak puluhan tahun lalu, sebenarnya dunia akademik di kampus-kampus Islam sudah akrab dengan gagasan Islamisasi Ilmu dan sains Islam. Salah satu produk gagasan Islamisasi ilmu adalah berdirinya bank-bank Islam dan lahir prodi Ekonomi Islam di berbagai kampus.

Karena itu, aneh jika ada yang yang masih berpendapat, bahwa Sains itu netral sifatnya. Saat ini, kita sudah mengenal berbagai istilah yang menempelkan kata “Islam” di belakangnya, semisal: ekonomi Islam, asuransi Islam, bank Islam, sekolah Islam, rumah sakit Islam, universitas Islam, partai Islam, dan sebagainya. Nah, apakah salah, jika kata “Islam” juga ditempelkan pada kata “Sains”, sehingga menjadi istilah baru “Sains Islam”.

Sebagaimana istilah lainnya, “Sains Islam” memiliki makna yang berbeda dengan sains sekuler yang sudah populer dengan sebutan “western science” atau “Sains Barat”. Banyak ilmuwan yang memberikan kritik terhadap sains Barat sebagai pembawa bencana bagi umat manusia.

Salah satu yang cukup vokal dalam menyurakan hal ini adalah Seyyed Hossein Nasr. Ia mencatat: “To day more and more people are becoming aware that the applications of modern science, a science which until a few decades ago was completely Western and which has now spread to other continents, have caused directly or indirectly unprecedented environmental disasters, bringing about the real possibility of the total collapse of the natural order.” (Lihat, Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science, (New York: State University of New York Press, 1993)

Jadi, kata Hossein Nasr, kini makin banyak orang yang sadar akan aplikasi sains modern yang total bersifat Barat (western) yang secara langsung atau tidak telah menyebabkan kehancuran lingkungan, bahkan berimplikasi pada kehancuran tatanan alam secara total. Jadi, memang ada “Sains modern”, “Sains Barat”, yakni sains yang dipandang bertanggung jawab terhadap kerusakan di alam ini.

Sains sekuler atau Sains ateis seperti itu sangat tidak kondusif untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang bertujuan membentuk manusia beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia, sebagaimana ditegaskan dalam UU No 20 tahun 2003. Sains sekuler akan melahirkan ilmuwan-ilmuwan yang tidak mengenal Tuhannya.

Jika seorang tidak mengenal Tuhannya, maka perilakunya seperti binatang. Ia menolak diatur oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Hidupnya akan didominasi untuk mengejar syahwat satu ke syahwat lainnya. Jarak pandangnya pendek: hanya mengejak kesenangan dunia, dan melupakan akhirat. Akhirnya, ia berperilaku seperti hewan ternak (ulaaika kal-an’aam). (QS al-A’raf: 179).

Itulah pentingnya memahami ilmu hewan dalam dunia pendidikan Islam. Meskipun seseorang itu wujudnya manusia, tetapi mungkin saja, sejatinya ia seperti hewan ternak. Al-Quran banyak memberikan perumpaan manusia yang kelakuannya seperti hewan. Ada manusia yang digambarkan seperti anjing yang selalu menjulur-julurkan lidahnya. (QS al-A’raf: 175-176).

Jadi, begitulah hubungan erat antara ilmu hewan dengan ilmu pendidikan Islam. Pendidikan harus menjadikan manusia semakin tinggi derajatnya, karena semakin kuat imannya, semakin rajin ibadahnya, dan semakin sempurna akhlaknya. Jangan sampai pendidikan justru merendahkan martabat manusia ke tingkat binatang, yang sikap dan kelakuannya mirip dengan sapi, kerbau, kambing, monyet, atau bahkan seperti anjing dan babi.

Wallahu A’lam bish-shawab.

 

Sumber: www.adianhusaini.id, Bogor, 3 Juli 2023.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT