BerandaIslamTidak Perlu Khawatir dengan Islamisasi

Tidak Perlu Khawatir dengan Islamisasi

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

PALONTARAQ.ID – Beberapa hari lalu, dalam sebuah acara perkuliahan, seorang mahasiswa bercerita. Katanya, ada yang berkata, bahwa yang tepat adalah program “Indonesianisasi Islam”, bukan “Islamisasi Indonesia”. Sebab, “Islamisasi Indonesia” memunculkan ketakutan pada kalangan tertentu.

Pertanyaan itu bukan kali pertama saya terima. Sejumlah kalangan akademisi Perguruan Tinggi Islam, misalnya, enggan menggunakan ungkapan “Islamisasi”, tetapi lebih memilih “integrasi”. Beberapa kali saya juga menguji disertasi doktor tentang konsep integrasi ilmu di Perguruan Tinggi.

Setiap menghadapi persoalan semacam ini yang selalu perlu kita lakukan adalah memahami definisi istilah tersebut. Apa definisi “Islamisasi Indonesia” atau “Islamisasi ilmu”, dan apa definisi “Indonesianisasi Islam” atau “Integrasi ilmu”. Jadi, kita bisa menilai dan menyikapi istilah tersebut, setelah memahami maknanya.

Karena yang bertanya tidak menjelaskan makna “Indonesianisasi Islam” dengan jelas, maka saya jawab dengan ringan, bahwa “Islamisasi Indonesia” sudah berlangsung selama ratusan tahun, sejak kedatangan para ulama atau para dai di wilayah Nusantara ini. Negeri ini dulunya 100 persen penduduknya bukan muslim. Lalu, terjadilah proses Islamisasi selama ratusan tahun. Kini, penduduk negeri ini hampir 100 persen muslim.
Itulah proses Islamisasi. Apakah hal itu perlu disesali dan ditakuti?

Di Indonesia, sebelum kedatangan Islam, ada agama bernama Bhairawatantra. Agama ini memiliki ajaran, bahwa manusia hendaknya jangan menahan hawa nafsu, bahkan sebaiknya manusia itu memperturutkan hawa nafsu. Sebab bila manusia terpuaskan nafsunya, maka jiwanya akan menjadi merdeka. (Dr. Prijohutomo. Sedjarah Kebudajaan Indonesia I: Bangsa Hindu. (J.B. Wolter, Jakarta-Groningen, 1953).

Salah satu bentuk ritual yang paling esoterik, adalah pemujaan yang memerlukan persembahan berupa manusia. Ritualnya meliputi persembahan berupa meminum darah manusia dan memakan dagingnya. (Paul Michel Munoz. Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia. Terjemahan. (Mitra Abadi, Yogyakarta, 2006). Hal. 253 dan 448). (Lihat lebih jauh tentang aliran ini di Jurnal Islamia-Republika, Kamis 20 Oktober 2011).

Setelah melalui proses Islamisasi selama beratus tahun, ritual-ritual mengerikan seperti itu kemudian berangsur hilang. Masyarakat Indonesia kini tidak ada lagi yang melakukan ritual minum darah manusia dan memakan dagingnya. Ini juga satu proses Islamisasi Indonesia, yang tentunya sangat disyukuri oleh bangsa Indonesia.

Di dunia Pendidikan, Islamisasi Indonesia juga sudah berjalan sejak dini. Mohammad Hatta adalah Ketua Panitia Pendirian Universitas Islam pertama di Indonesia. Universitas itu resmi berdiri pada 8 Juli 1945, dengan nama Sekolah Tinggi Islam. Ketika itu ada beberapa universitas bikinan penjajah Belanda, seperti Sekolah Tinggi Kedokeran, Sekolah Tinggi Hukum.

Itu juga sebuah proses Islamisasi yang hingga kini masih terus dijalankan. Karena itulah, ada nama UIN (Universitas Islam Negeri), yang membedakan dengan Universitas Negeri lainnya. Ditambahkannya kata “Islam” pada kata “universitas” tentu punya makna tertentu, sehingga Namanya bukan “Universitas Integral”, tapi “Universitas Islam”.

Mesjid Amirul Mukminin, Pantai Losari, Kota Makassar. (foto: mfaridwm/palontaraq)
Mesjid Amirul Mukminin, Pantai Losari, Kota Makassar. (foto: mfaridwm/palontaraq)

Islamisasi Ilmu

Dalam sebuah artikelnya di Jurnal Islamia Republika (Januari 2015), Prof. Wan Mohd Nor menulis, bahwa beberapa pemikir Muslim yang serius, terutama yang dipimpin oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas telah memahami dan menjelaskan Dasar-dasar perbedaan ontologis, epistemologis, etika dan budaya antara Islam dan Barat sekuler yang dominan.

Prof. Naquib al-Attas pun telah meluncurkan wacana tentang dewesternisasi dan dekolonisasi melalui proyek intelektual Islamisasi pengetahuan kontemporer, yang berpusat di universitas. Menurut Prof. Wan Mohd Nor, konsepsi intelektual tentang Islamisasi ilmu-ilmu kontemporer memang salah satu kontribusi paling revolusioner dan orisinil dari Prof. al-Attas.

Hal ini karena banyak pemikir Muslim modern telah terperangkap dalam rawa-rawa dan tawanan intelektual dalam dilema yang melemahkan antara tampilan indah dari hasil ilmu dan teknologi modern sekular yang tersebar, dan antara kekakuan mutlak dan kebangkrutan pemikiran tradisional itu sendiri.

Meskipun konsepsi Islamisasi pengetahuan kontemporer sebagai ide intelektual dan metode epistemologis merupakan prestasi kontemporer, praktek Islamisasi pengetahuan yang aktual dimulai dengan wahyu pertama dalam ajaran Islam dan proses ini terus berlanjut sepanjang abad, meskipun dengan derajat keberhasilan yang berbeda.

Konsep Islamisasi pertama kali dan paling meyakinkan didefinisikan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas sebagai berikut: “…membebaskan manusia pertama-tamanya dari tradisi magis, mitos, animistik, kultur nasional, lalu membebaskan dari jeratan sekular yang membelenggu akal dan bahasanya.

Orang Islam adalah orang yang akal dan bahasanya tidak lagi dikontrol oleh magis, mitos, animisme dan tradisi nasionalisme dan kulturalnya, inilah perbedaan antara Islam dan sekularisme…Ia juga membebaskan dari ketundukpatuhan terhadap tuntutan fisik yang condong kepada sekularisme dan ketidakadilan (dan mengabaikan) kebenaran jiwanya.

Manusia secara fisik condong pada kelupaan terhadap alam sejatinya, mengabaikan tujuan hakikinya dan berlaku tidak adil padanya. Islamisasi adalah proses yang tidak membutuhkan banyak evolusi seperti perpindahan menuju alam aslinya… Jadi, dalam tataran individu, keberadaan Islamisasi secara personal mengacu pada apa yang dijelaskan di atas di mana Nabi saw merupakan Contoh tertinggi dan paling sempurna; sedangkan dalam tataran kolektif, keberadaan islamisasi secara sosial dan historis merujuk kepada komunitas yang berjuang menuju realisasi kualitas moral dan etika kesempurnaan sosial yang dicapai selama zaman Nabi Muhammad saw.” (Lihat, al-Attas, Islam and Secularism.)

Dari definisi di atas, harus dipahami bahwa meskipun Islamisasi pengetahuan kontemporer yang diperlukan melibatkan proses dewesternisasi yang selektif, namun pada dasarnya merupakan sebuah proses kembali kepada pandangan hidup yang metafisik, kerangka epistemik, dan prinsip-prinsip etika dan hukum Islam.

Karena itu, tujuan Islamisasi ilmu-ilmu kontemporer bukan sekedar untuk menghasilkan kurikulum dan buku-buku pelajaran, tetapi ujungnya adalah terbentuknya manusia yang baik, manusia yang beradab, manusia yang memahami Tuhannya, mencintai Nabinya, dan meraih kebahagiaan (sa’adah) dunia akhirat.

Jadi, Islamisasi memiliki tujuan yang sangat mulia untuk kebaikan masyarakat dan bangsa Indonesia. Itu sesuai dengan misi besar diutusnya Rasulullah saw: mewujudkan rahmatan lil-alamiin. Karena itu, tidak perlu takut dengan Islamisasi. (Depok, 20 April 2021).

 

Dr. Adian Husaini, Tokoh Pendidikan Islam dan Cendekiawan Muslim

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT