BerandaBeritaNasionalMungkinkah Corona Depok hanya Puncak Gunung Es?

Mungkinkah Corona Depok hanya Puncak Gunung Es?

Oleh: Asyari Usman

PALONTARAQ.ID – Banyak yang tak percaya, terutama komunitas internasional, bahwa Indonesia bebas dari Virus Corona. Sempat pula seru perdebatan antara para pejabat pemerintah dengan berbagai pihak termasuk warganet. Tapi, akhirnya, Presiden Jokowi, Senin (2/3/2020) mengumumkan dua orang Indonesia positif menderita virus Corona (Covid-19).

Kedua wanita masing-masing berusia 64 dan 31. Salah seorangnya, yang berusia 31, dikatakan pernah berkontak dengan seorang perempuan Jepang yang bermukim di Malaysia. Mereka pernah berdansa bersama di sebuah klub di Jakarta, kata Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Kedua warga Depok tsb sekarang dirawat di RS Penyakit Infeksi Prof Sulianti Saroso di Jakarta Utara.

Pengumuman ini mengakhiri harapan agar Corona tak masuk ke Indonesia. Tetapi, tidak akan mengakhiri perdebatan terkait penanganan ancaman virus ganas itu. Bahkan akan semakin mempertajam kritik dan kontrakritik.

Salah satu pertanyaan yang memerlukan jawaban adalah, apakah dua warga Depok yang positif Covid-19 itu hanya ‘puncak gunung es’ dari kemungkinan banyaknya penyandang Corona yang tak terdeteksi di bawah permukaan?

Pertanyaan berikutnya adalah, apakah pemerintah selama ini serius mencegah migrasi Corona ke negara ini? Seterusnya, apakah Indonesia sudah menjadi “tuan rumah” Corona?

Sangat mendebarkan sekali seandainya dua orang Depok itu hanya ‘wakil’ dari sekian banyak penyandang Corona. Hanya “tip of the iceberg” saja. Puncak gunung es yang tersembunyi di bawah permukaan. Tentu sangat menakutkan kalau nanti faktanya seperti itu.

Tetapi, mungkinkah ini menjadi kenyataan? Wallahu a’lam. Tak seorang pun diantara kita yang ingin melihat gunung es itu muncul. Tapi, publik menjadi curiga ada yang tak beres.

Misalnya, ketika ada berita tentang tersangka Corona dirawat di sejumlah rumah sakit, pihak yang berwenang cenderung defensif menghadapinya. Ada kesan, pemerintah mengambil garis “denial” (membantah) kalau ada yang berbicara soal dugaan kasus-kasus Corona.

Para jurubicara pemerintah setingkat menteri pun selalu menggunakan narasi yang membantah. Termasuk Menko Polhukam Mahfud MD. Lebih-kurang Pak Mahfud MD bilang, “Sampai hari ini tidak ada Corona di Indonesia. Besok-lusa kita tidak tahu.” Ternyata, betul juga. Hari-hari berikutnya berubah.

Sekarang, bagaimana dengan keseriusan pemerintah dalam mencegah migrasi Corona ke Indonesia? Dari sisi tindakan preventif yang dilakukan oleh pemerintah, pantas-pantas saja publik menilai tidak serius.

Artinya, dalam sebulan-dua ini tidak ada langkah keras yang diterapkan. Misalnya, sepanjang Januari, tercatat 113 ribu pengunjung dari China masuk ke Bali. Padahal, China masih menjadi episentrum Corona. Dan rata-rata negara lain menolak kedatangan pengunjung dari RRC.

Pengawasan di pintu masuk internasional, tidak ketat. Di awal-awal wabah Corona tempohari sempat tersiar pemerintah akan menerapkan tindakan keras itu. Tapi kemudian prosedur pemantauan menjadi lunak.

Belakangan ini, penumpang internasional tampaknya hanya diminta mengisi formulir yang intinya menanyakan nama, alamat di Indonesia, dan apakah ada mengalami badan panas, dan lain sebagainya.

Inilah yang dialami oleh anak saya, tiga hari lalu, ketika pulang dari Malaysia ke Yogyakarta via KLIA (bandara Kuala Lumpur). Petugas di bandara Adi Sucipto (Yogya) hanya memberikan kepada para penumpang semacam formulir yang “tidak serius”.

Anak saya menelefon sambil menggerutukan lemahnya pengawasan di bandara. Dia mengatakan, sangat bisa para penumpang menuliskan informasi bohong.

Di tengah suasana dunia seperti ini, mana mungkin penumpang suka rela mengatakan kondisi badannya yang tidak normal? Dan mana mungkin penumpang akan menyebutkan ke mana saja mereka pergi belakangan ini.

Jadi, mungkin saja selama berminggu-minggu ini ada banyak penumpang internasional yang masuk via laut, udara, atau darat yang tidak terdeteksi membawa Corona.

Bisa juga mereka tidak mengalami sakit. Bisa pula ada gejala tetapi kemudian hilang. Namun, tentu ada saja peluang para “penyandang senyap” Corona akan terungkap dalam waktu-waktu mendatang ini. Na’uzubillah. Semoga saja tidak.

Nah, apakah Indonesia sudah menjadi “tuan rumah” Corona, dalam arti sudah terjadi penularan diantara sesama warga masyarakat? Bukan dibawa dari luar?

Bisa tidak. Bisa iya. Kalau dilihat dari kasus Depok, kronologi yang kita pahami adalah bahwa kedua warga positif Corona itu mendapatkannya dari wanita Jepang yang sempat berdansa bersama si wanita yang berusia 31 tahun. Wanita ini kemudian menularkan ke ibunya yang berusia 64 tahun.

Kalau urutan kejadian ini benar, berarti Indonesia belum menjadi “tuan rumah”. Corona yang masuk masih berstatus bawaan dari luar.

Tapi, kalau dibaca laporan tentang tiga kasus baru di Singapura, ada satu hal menarik terkait dengan wilayah Batam. Otoritas kesehatan Singapura mengatakan, ketiga pasien baru itu tidak pernah pergi ke China atau Korea Selatan. Tetapi mereka pernah pergi ke Batam antara 21-23 Febaruari 2020.

Singapura tidak mengatakan secara pasti bahwa ketiga orang itu tertular di Batam. Tetapi, mereka dinyatakan positif sepulang dari pulau Indonesia yang berjarak dekat dengan Singapura itu. Pertanyaannya, mungkinkah ada Corona yang menjadi “tuan rumah” di Batam? Inilah yang belum terdeteksi dan tidak mudah untuk dideteksi.

Kembali ke kedua wanita Depok tadi. Kalau mereka sudah sempat meneruskan virus itu ke orang lain, berarti sudah lahir ‘generasi kedua’ Corona di Indonesia. Ini mungkin saja terjadi karena kedua wanita tsb sempat dirawat di RS Mitra Keluarga, Depok. Andaikata ada diantara 76 petugas medis RSMK yang sekarang dirumahkan itu menjadi tempat hinggap Corona, itu berarti telah berlanjut ke ‘generasi ketiga’, dan seterusnya.

Dari sini, terbuka kemungkinan “community epidemic”. Yaitu, penyebaran di lingkungan masyarakat. Bukan lagi Corona “asing” seperti yang dibawa wanita Jepang. Memang masih bisa disebut “blasteran” tetapi sudah menjadi “Corona WNI”.

Kalau nanti ada Corona ‘generasi kedua’ atau ‘generasi ketiga’ yang sudah “WNI”, ini bisa sangat merepotkan. Kita tidak lagi bisa berasumsi bahwa orang lokal yang kita jumpai di mana-mana, bebas dari Corona.

Kewaspadaan ke arah ini sudah dimulai. Ada sejumlah sekolah yang guru-gurunya mengubah salam tangan dengan murid ketika jam masuk pagi. Mereka tidak lagi bersentuhan.[*]

 

Asyari Usman, 3 Maret 2020

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT