BerandaIslamBila Saya jadi Presiden?

Bila Saya jadi Presiden?

Oleh: HM Anis Matta

PALONTARAQ.ID – Mengantarkan bangsa sebesar Indonesia, melewati masa transisinya yang rumit, bukanlah pekerjaan yang dapat diemban oleh orang-orang biasa.

Mereka yang ditakdirkan menjadi pemimpin bangsa dalam masa-masa seperti ini, mungkin memiliki kebanggaan pribadi atas kehormatan itu.

Tapi, jika mereka mempunyai nurani kesadaran historis dan secara sadar menyiapkan diri untuk bertanggung jawab di hadapan Allah di hari akhirat, dan bukan terutama di hadapan lembaga legislatif, barangkali mempunyai pandangan berbeda.

Mereka tidak akan pernah merasa aman tentang keselamatan ending kehidupan. Mereka, sebagai pemimpin, di mata bangsanya dalam catatan sejarah atau di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala.

Perasaan tidak aman itu melahirkan kegelisahan. Dan inilah energi spiritual yang akan membuat mereka melupakan luang pribadi dan melebur sepenuhnya dalam ruang publik.

Dan inilah yang selalu saya yakini bahwa apa yang pertama harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah energi spiritual yang dahsyat di mana tekad, kejujuran, keberanian, kesetiaan dan konsistensi akan memancar menjadi perilaku.

Spiritualitas saja tentulah tidak cukup. Persoalan-persoalan besar yang melilit bangsa kita saat ini membutuhkan pemetaan yang benar.

Sebab, persoalan-persoalan besar itu memang terlalu rumit untuk disederhanakan secara serampangan. Tapi, kerumitannya tidaklah berada di luar batas kemampuan kita untuk menyelesaikannya.

Inilah penyakit para pemimpin kita. Menyederhanakan masalah secara berlebihan atau melihatnya terlalu rumit sehingga cenderung apatis.

Kita sebenarnya dapat melakukan pemetaan masalah dengan memanfaatkan sumber daya intelektual kita yang ada.

Misalkan saya menjadi presiden, saya akan mengundang Pemikir-pemikir strategis dari: 10-15 universitas terkemuka di Indonesia; Departemen penelitian dan pengembangan (litbang), atau departemen kebijakan publik dari semua Partai yang mempunyai kursi di DPR, Ormas-ormas terbesar, Tokoh-tokoh atau lembaga studi strategis independen terkemuka, dan Jurnalis-jurnalis terkemuka dari berbagai media besar.

Yang saya lakukan hanya satu: mendengarkan. Saya tahu bahwa mendengarkan inilah pekerjaan paling berat seorang penguasa.

Setelah itu, saya akan mengetahui bagaimana memetakan persoalan bangsa kita. Dan atas dasar pemetaan itu, saya akan memformulasikan visi, strategi, target, dan jabatannya dalam bentuk program berdasarkan prioritas-prioritas yang mungkin dicapai, dengan pertimbangan sumber daya yang tersedia dan batas masa jabatan kepresidenan.

Seorang pemimpin harus memadukan secara harmonis antara idealisme dan pragmatisme. Seorang pemimpin bukanlah pemimpi di siang bolong.

Tapi, tidak ada pemimpin yang dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan besar atau melahirkan karyakarya besar tanpa mimpi besar.

Ia dapat memindahkan obrolan di sidang-sidang kabinet ke dalam kerja-kerja nyata, atau dapat menjabarkan konsep-konsep besar menjadi satuan-satuan pekerjaan.

Langkah berikutnya adalah menciptakan budaya politik yang kondusif bagi penyelenggaraan negara secara demokratis. Jauh sebelum demokrasi menjadi kenyataan konstitusi, ia terlebih dahulu menjadi kenyataan budaya.

Selanjutnya, menghadirkan dukungan publik yang kuat terhadap pemerintah. Sebab, pemerintah tidak akan bisa menjalankan tugas-tugasnya selama masyarakat berhadap-hadapan secara frontal dengan negara. Faktor psikopolitik yang dapat membuat pemerintah dapat bekerja dengan baik adalah perasaan dipercaya oleh publik.

Struktur pemerintahan, budaya politik, dan dukungan publik di atas sebenarnya dapat saja diintegrasikan dalam dua kata kunci: partisipasi dan komunikasi.

Konsep partisipasi mengharuskan pemerintah melibatkan semua komponen bangsa dalam berbagai level untuk secara bersama mengelola negara.

Pemerintahan yang mengisolasi dirinya sendiri akan menderita kesepian. Tidak melibatkan orang lain semata karena tidak mau bekerja sama atau menderita sindrom ketidakpercayaan terhadap pihak lain.  Musibah semacam ini pernah dialami pada pemerintahan Abdurrahman wahid.

Sebaliknya… sebaik apa pun konsep dan cara keria pemerintah, atau bahkan sebesar apa pun karya-karyanya. kalau itu tidak akan dikomunikasikan dengan baik. maka ia tidak akan mendapat dukungan publik.

Dan inilah kisah sedih yang dialami oleh Pemerintahan B.J. Habibie. Salah satu sebab mengapa masyarakat mudah terprovokasi atau bereaksi secara salah kepada pemerintah adalah karena pola komunikasi publik yang dilakukan pemerintah selalu tanpa perencanaan yang baik.

Ke luar dari krisis multidimensi yang sangat kompleks dan melewati masa transisi yang rumit dengan damai adalah permasalahan yang harus didekati secara holistik, komprehensif integral.

Kita tidak dapat memecahkan masalah-masalah besar ini secara parsial karena masalah-masalah tersebut saling terkait.

ltulah sebabnya kerumitan tidak saja terletak pada substansi masalahnya tapi juga terutama pada bagaimana menemukan titik: dari mana kita memulai perbaikan.

Stabilitas keamanan dan politikkah, ataukah recovery perekonomian?

Ataukah penegakan hukum? Setiap satu titik yang kita pilih untuk memulai perbaikan. pasti akan menyeret titik-titik yang lain.

Belanja militer harus ditingkatkan untuk menciptakan Stabilitas. Tapi, stabilitas sekaligus juga merupakan syarat mutlak perbaikan ekonomi.

Di sinilah kepemimpinan nasional memasuki ujian yang sesungguhnya. Dan demokrasi pada akhirnya, seperti kata mantan Presiden Amerika Thomas Jefferson. tidak akan menyelesaikan masalah kita. Tapi, kita membutuhkannya untuk membuat setiap orang merasa puas karena semua massa terlibat.

Walaupun kepuasan itu mungkin saja semu. Tapi, kita sebenarnya bisa menggunakan efek psikologis dari partisipasi publik untuk menyebarkan optimisme.

Kevakuman politik mungkin terjadi dalam masa transisi. Tapi, kevakuman psikologis di mana masyarakat bergerak tanpa harapan, akan jauh lebih berbahaya.

Karena itu, saya menjadi yakin untuk menyimpulkan bahwa strategi pertama yang harus dilakukan saat ini adalah mengembalikan integritas kepribadian kolektif kita sebagai bangsa.

Dan ini mengharuskan sang pemimpin untuk menumbuhkan kehendak kolektif untuk menyelesaikan krisis secara bersama.

Misalkan saya menjadi presiden, maka saya akan memulainya dari sini. Karena ini memudahkan saya menciptakan stabilitas itu. Selanjutnya, memudahkan saya memperbaiki ekonomi yang sedang morat-marit. Sembari ini berjalan, saya akan mempunyai kesempatan untuk merancang sistem politik nasional yang lebih mapan dan solid.

Selanjutnya, saya akan meninggalkan kursi presiden karena dua hal.

Pertama, Setelah saya menyelesaikan semua pekerjaan itu.

Kedua, kalau ternyata saya tidak mampu melakukannya; di samping karena kasihan kepada bangsa ini, juga karena saya masih punya harga diri.

Pemerintah sesungguhnya mempunyai hambatan yang sangat banyak dalam mencapai cita-cita masyarakat madani.

Pertama, dalam masyarakat madani, cara terbaik dalam memberdayakan masyarakat adalah membuat mereka berpengetahuan.

Dari 260 juta lebih penduduk kita, hanya dua persen yang berpendidikan tinggi. Sebab itu, kontrol sosial terhadap pemerintah hanya dari dua persen ini.

Itu sebabnya tidak ada edukasi. Hanya mahasiswa yang punya ketahanan untuk itu. Jadi, untuk mengharapkan suatu keseimbangan kekuasaan itu susah jika masyarakatnya tidak terdidik.

Demikian Juga untuk melakukan pemberdayaan ekonomi dan lainnya. Apalagi sampai membuat supremasi hukum sebagai panglima. Dalam masyarakat seperti itu sulit.

Selama Orde Baru, budget di Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) selalu di bawah sepuluh persen. Jauh lebih rendah dari negara-negara ASEAN.

Saya melihat perlunya proses mobilitas vertikal masyarakat untuk menjadi egaliter dengan pemerintah. Agar masyarakat mampu mengontrol dan berdialog dengan pemerintah.

Model atau bentuk pemerintahan tertentu dalam islam sendiri tidak mendapatkan penjelasan dalam teks-teks Quran maupun sunnah. Bentuk pemerintahan ini hanyalah suatu alat saja yang dibutuhkan untuk menerapkan hukum, yang dalam Islam disebut given.

Perbedaan antara pemerintahan Islam dan pemerintahan sekuler adalah bahwa hukum dalam pemerintahan sekuler itu hasil dari kesepakatan bersama kelompok-kelompok yang ada dalam suatu masyarakat, yang diputuskan melalui institusi seperti parlemen atau sejenisnya.

Dalam Islam, pemerintahan justru merupakan alat untuk merealisasikan hukum-hukum yang sudah ada, yang diturunkan Allah. Penegakan hukum dilihat secara lebih komprehensif. Kecuali yang tak ada dalam teks al-Quran dan sunnah. dalam Islam kata “given” mungkin dikembangkan dalam mekanisme ijtihad.

Kedua. masalah aparat penegak hukum. Dalam Islam, orang yang menegakkan hukum memang orang yang benar benar lulus dari audisi terhadap prilaku mereka.

Artinya, mereka memang orang-orang yang bersih. Hukum itu efektif hanya ditangan orang orang bersih. Kalau aparat penegak hukum tidak bersih. hukum sebaik apa pun tidak efektif.

Islam mengenal sistem desentralisasi, tiap daerah daerah mandiri dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan kekayaannya karena sudah ada hukum yang given itu.

Hingga tiap daerah bisa mengatur sendiri keuangannya. Misalnya zakat, diberlakukan berdasarkan konsep desentralisasi.

Diambil dari orang kaya antara mereka, dan dibagikan pada orang miskin yang ada di wilayah itu Juga. Yang lebih dari itu barulah ditransfer ke daerah lain. Jadi, itu cikal bakal proses desentralisasi.

Sehingga, yang perlu kemudian adalah mekanisme komunikasi dan kontrol darl pemerintah pusat pada pemerintahan daerah.

Umar bin Khathab mengirim seorang pengontrol bagi pemerintah daerah secara rahasia. Sehingga, dua laporan inilah, – satu dari pemerintah daerah yang resmi dan satu lagi orang yang dirahasiakan – yang akan dicocokkan oleh Umar.

Ada lagi bentuk lain, yakni membuka pengaduan langsung. Dari masyarakat kepada khalifahnya, dari wilayah ke pusat.

Kasus Amr bin Aab, ketika anaknya menempeleng seorang Qibti. Dilaporkanlah ia oleh orang Qibti tersebut sendiri ke pusat melalui mekanisme itu. Itu salah satu bukti bahwa masyarakat memang diberdayakan.

Buktinya, sebelum Islam datang, masyarakat Qibti tidak bisa melaporkan kezaliman rajanya sendiri. Ketika islam datang, mereka mampu. ini salah satu efek pendidikan politik.

Pada dasarnya, tiap Muslim itu harus memiliki kriteria sebagai Mujahid. Sebab, perang dalam Islam adalah kewajiban ‘ainiyyah Pada waktu tertentu dan kewajiban kifayah pada saat tertentu pula. Rasulullah mengatakan, “Siapa yang belum berperang, dan tidak berniat untuk berperang selama hidupnya, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah.”

Dengan begitu, standar fisik seorang Muslim adalah laik perang. Distribusi pekerjaan perang yang lebih profesional kelak terjadi pada masa Umar bin Khathab. Di situ mulai ada prajuritprajurit profesional. Mereka sepenuhnya digaji pemerintah. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT