BerandaFeatureSingapore Tanah Melayu?

Singapore Tanah Melayu?

Sentosa Island, Singapore. (foto: ist/palontaraq)
Sentosa Island, Singapore. (foto: ist/palontaraq)

Oleh: dr. Zainul Na’im

PALONTARAQ.ID – Saya jadi teringat pengalaman saya ketika harus mengunjungi Singapura sekitar Oktober 2011.

Minggu, Oktober 2011

Pukul 23.00 waktu Singapura, penerbangan malam saya berakhir ketika pesawat Singapore Airlines mendarat di bandar udara Changi-Singapore.

Saya berkata pada anak saya yang paling besar, “Nak, ini Changi, salah satu bandar udara terbaik di dunia”.

Setelah melewati imigrasi, saya dan keluarga dijemput oleh Bernard yang baik hati,–seorang china singapore, berusia sekitar 55 tahun–anak-anak saya memanggilnya dengan Uncle Bernard….

Keluar dari bandara, Bernard yang baru sekali bertemu saya, menyambut saya dengat sangat ramah, “Welcome to Singapore, I’m Bernard..” disertai senyum lebar…

Sepanjang perjalanan dari bandara, Bernard tak henti menceritakan mengenai seluk-beluk Singapura, sebagaimana tourguide yang paling jempolan, “Our goverment has made great development, you can see how good Singapore…” katanya.

Saya senyum saja. Oh ya, Bernard hanya bisa, berbahasa Inggris dan Mandarin.

“I’ll pick you up to sixth o’clock tomorrow, see you”, Bernard selesai menjemput saya dan besok berjanji mengantar saya ke Pediatric Hemato-oncology Departement–National University Hospital, Singapore.

National University Hospital (NUH)

Diskusi saya mengenai hasil genetic testing berlangsung hangat dengan para dokter di National University Hospital (NUH). Kami mendiskusikan mengenai fetomaternal haplotype teknik pada adult peripheral blood stem cell intervention.

Disela-sela perbincangan, saya mengguyoni Dr. Lin, ” I’m always speaking english in Singapore, ..so,..can you speak Malay with me?”. “I beg your sorry, I can’t…no body speak malay in here, with exception….a few..”. Saya terdiam.

Sentosa Island.

Bernard membawa saya sekeluarga ke Sentosa Island, sembari meminta maaf kalau besok berhalangan mengantarkan saya dan anak-anak ke Marina bay, melihat Merlion dan Singapore Flyer.

Saya duduk-duduk dikursi taman melihat anak-anak bermain, di sebelah saya sepasang suami istri,”Hai…, Bapak dari Indonesia??”., katanya dengat logat melayu yang khas…, “Wah…hai, ya saya Indonesia.., Bapak dari Malaysia??”kata saya.

Nama beliau Rusli…saya merasa senang akhirnya bisa berbahasa melayu di Singapura, ” Anda orang pertama, yang saya ajak berbincang dalam bahasa melayu dalam 72 jam saya di Singapore..”, kata saya sambil ketawa-ketawa…Rusli terdiam.

“Saya bukan orang Malaysia, saya orang Singapura….”, katanya. “Dulu, Singapura ini adalah tanah Bumi Putera (Melayu), datuk saya punya rumah dibilangan Orchad dan selalu bersampan dari Marina Bay..”.

“Sekarang, tak ada lagi penduduk bumi putera disitu.., bicara bahasa bumi putera pun tak ada”. Saya melongo keheranan.

Orchad.

Saya berjalan-jalan menghabiskan waktu disepanjang jalan di daerah Orchad, daerah itu salah satu pusat bisnis di Singapura, karena capek saya duduk di kursi yang disediakan di trotoar di pinggir jalan, di dekat saya, ada semacam papan pengumuman.

“Jadi, gedung-gedung pencakar langit dan berbagai macam kemajuan ini dibuat untuk siapa sebetulnya??…”, fikiran saya masih terpaut pada Rusli di Sentosa Island, ” Bukannya tujuan pembangunan adalah untuk memanusiakan manusia??…ini sih bukan pembangunan namanya,….ini sih aneksasi namanya….”.

Di depan saya melintas dua orang berseragam tentara, saling berbicara satu sama lain dalam bahasa Inggris campur Mandarin…saya tidak mengerti…”Ini, bukan pembangunan…ini kegilaan, pantas saja Singapura melepaskan diri dari Malaysia, yang salah ya penduduk asli disini”, begitu kesimpulan saya…

Saya berdiri, dan melihat ke papan pengumuman itu, mata saya terhunjam ke isi pamflet, disitu ada gambar logo dari departemen pertahanan negara Singapura, saya tak perduli isinya karena itu bukan urusan saya.

Saya tertarik dengan gambar logo itu karena disitu ada gambar perisai diapit gambar dua harimau saling berhadapan, di bawahnya ada gambar pita dengan tulisan semboyan,”JAYALAH SINGAPURA”.

Saya tersenyum kecut, “Disini, semboyan dalam bahasa Melayu…tapi tak seorangpun yang berbahasa Melayu….”, – begitu fikir saya.

Saya berdiri, melanjutkan perjalanan saya menuju penginapan….saya rasa, saya mendapat pelajaran besar…mengenai rasa kebangsaan….. Sepanjang jalan menuju penginapan, dada saya semakin membuncah dan mengharu-biru……saya jadi demikian mencintai negeri saya, INDONESIA…

Orchad, Singapore
Wassalam,
Zainul Na’im.

PS: waktu hal ini terjadi, saya belum kenal Ahok dan Jokowi.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT