BerandaMainstreamCurhatan Menhan Ryamizard adalah Kesedihan Kita Semua

Curhatan Menhan Ryamizard adalah Kesedihan Kita Semua

Menhan, Ryamizard Ryacudu
Menhan, Ryamizard Ryacudu (foto: ist/palontaraq)

Oleh: Hersubeno Arief, Pemerhati Sosial Politik

PALONTARAQ.ID – Sebagai purnawirawan perwira tinggi, Menteri Pertahanan (Menhan), Jenderal Ryamizard Ryacudu adalah tipe prajurit tulen. Lugas tak kenal basa-basi. Hitam-putih, tak ada warna abu-abu.

Dia juga dikenal sebagai pejabat tinggi negara yang irit bicara. Kalau bicara juga tak pernah di luar konteks bidang kerja dan tanggung jawabnya. Baginya urusan politik, sudah ada yang mengurus. Dia fokus bicara tentang pertahanan negara. Namun dalam dua hari terakhir Ryamizard keluar dari pakemnya. Rabu (29/5) di Istana Presiden dia bicara dua isu sensitif.

Pertama dia tak yakin adanya rencana pembunuhan terhadap empat tokoh nasional: Menkopolhukam Wiranto, Menko Maritim Luhut Panjaitan, Kepala BIN Budi Gunawan dan Staf Khusus Presiden Bidang Intelijen Gories Mere.

Kedua dia tidak yakin, mantan Danjen Kopassus Mayjen TNI (Purn) Soenarko menyelundupkan senjata untuk mengacaukan dan melakukan pembunuhan dalam aksi 22 Mei di depan Gedung Bawaslu.

Selang sehari kemudian Kamis (30/5) Ryamizard menyampaikan pernyataan yang terkesan sangat personal. Curhat. Dia mengaku sedih karena sejumlah rekannya purnawirawan dituduh melakukan makar.

“Terus terang saja di sana yang diperiksa banyak yang purnawirawan, itu senior saya, ada adik-adik angkatan saya,” ujarnya di kantor Kementerian Pertahanan.

Sebagai sesama purnawirawan, Ryamizard melihat ini tidak baik. Ini tidak boleh terjadi, kenapa bisa begitu. “Jangan menghilangkan image. Mereka-mereka itu sudah berpuluh-puluh tahun mengabdi kepada bangsa dan negara,” ujarnya.

”Banyak teman kita gugur di Aceh, Papua, terutama di Timor Timur. Nah ini sisa-sisa yang belum gugur ini, kenapa jadi begitu? Kalau boleh dikatakan sedih, sedih saya. Bagi saya, tidak ada 01, 02,” sambung dia.

Bukan hanya Masalah Personal 

Bagi yang kenal dekat menantu mantan Wapres Try Sutrisno ini pasti akan terheran-heran. Mengapa dia sampai bicara hal-hal yang sangat personal dalam nada yang melankolis, di depan umum? Pasti ada hal-hal yang sangat sensitif, menyentuh perasaannya yang terdalam.

Belum lagi ucapannya ini juga menunjukkan adanya perbedaan pandangan dalam kabinet Jokowi dalam menghadapi aksi protes kecurangan Pilpres.

Ryamizard benar. Diantara para purnawiraan TNI yang kini tengah terjerat perkara makar dan rencana pembunuhan, ada seniornya Kivlan Zen dan yuniornya Soenarko.

Kivlan adalah alumni Akademi Militer (Akmil) lulusan 1971. Kakak tingkat Ryamizard (Akmil 74). Korps mereka juga sama, pasukan baret hijau Komando Cadangan Strategis TNI AD (Kostrad).

Kivlan pernah menjadi Kepala Staf Kostrad ( 1998-2000) saat Pangkostrad dijabat Prabowo Subianto. Sementara Ryamizard pernah menjadi Pangkostrad (2000-2002), dan mengakhiri karir militernya sebagai Kepala Staf TNI AD ( 2000-2005).

Selain berbagai operasi pertempuran di dalam negeri menghadapi aksi separatisme Papua dan TimTim), prestasi Kivlan yang paling moncer adalah perannya menjadi pasukan penyangga perdamaian di Filipina Selatan (1995-1996). Dia ikut berperan mendamaikan konflik antara pemerintah Filipina dengan kelompok Front Pembebasan Moro (MNLF) pimpinan Nur Misuari.

Nama Kivlan kembali moncer ketika dia berhasil membebaskan 10 orang WNI yang disandera kelompok Abu Sayyaf pada April 2016.
Berkat kedekatannya dengan kelompok-kelompok perlawanan Islam di Filipina Selatan, Kivlan berhasil menjadi negosiator yang dipercaya.

Soenarko (Akmil 78) adalah adik kelas Ryamizard. Prajurit yang sering berperang, begitu Ryamizard menyebutnya. Dia tercatat 9 kali terlibat dalam operasi tempur baik di Tim-tim dan Aceh. Tidak banyak prajurit yang punya pengalaman dan pengabdian seperti dia.

Sebagai prajurit Komando, Soenarko mencapai puncak karir sebagai Danjen Kopassus (2007-2008), Pangdam I Iskandar Muda (2008-2009), dan setelah itu mengakhiri karir sebagai dan Pussenif (2009-2010) di Bandung.

Dengan perjalanan karir semacam itu, merupakan sebuah ironi besar bila kini mereka menjadi tersangka perkara makar, apalagi rencana pembunuhan terhadap sejumlah pejabat negara.

Seperti dikatakan Ryamizard, mereka-mereka ini punya sejarah panjang mempertahankan kedaulatan negara. Sejak usia muda, mereka rela mengorban jiwa dan raga. Dalam berbagai pertempuran banyak rekan-rekan mereka yang gugur. Keduanya termasuk yang   survive  dan melanjutkan pengabdian sampai ke jenjang jabatan yang tinggi.

Ketika kini mereka seharusnya tinggal menikmati hari tua, menikmati hasil pembangunan Indonesia, menikmati masa transisi Indonesia menjadi sebuah negara demokrasi, tiba-tiba harus dihadapkan pada sebuah realitas yang pahit! Menjadi tersangka makar dan harus mendekam di dalam tahanan. Mereka dijebloskan ke penjara oleh anak bangsa sendiri.

Sumber masalah yang akhirnya menyeret para purnawirawan ini adalah protes kecurangan Pilpres. Di barisan ini ada ratusan perwira tinggi (Pati) dari TNI AD, AL, AU, dan Polri. Bila ditambah perwira menengah, perwira pertama, bintara, dan tamtama, jumlah bisa mencapai puluhan ribu.

Pada tanggal 21 Mei sebanyak 108 orang Pati dari TNI-Polri mengumumkan terbentuknya Front Kedaulatan Bangsa. Selain mempersoalkan Pilpres yang curang, mereka juga mengingatkan ancaman bahaya atas kedaulatan bangsa.

Dalam barisan ini ada nama-nama besar seperti mantan KSAD Jenderal Tyasno Sudarto, mantan Menkopolhukam/Kepala Staf KSAL Tedjo Edhy Purdjiatno, mantan KSAU Imam Sufaat, mantan Kassospol TNI Letjen TNI Syarwan Hamid dan mantan Kapolda Metro Jaya Komjen Pol Sofjan Jacoeb.

Di luar mereka masih ada puluhan jenderal dari angkatan 60an sampai 80an. Mayjen TNI Sulatin, dan Mayjen TNI Haris Sudarno (AMN 1965), mantan Wamenhan Letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin (Akmil 1974), mantan Danjen  Kopassus Letjen TNI Agus Soetomo (Akmil 1984).

Selain operasi di Papua, Timtim, dan Aceh, beberapa generasi senior TNI juga terlibat dalam aksi penumpasan pemberontakan G.30S/PKI dan sisa-sisanya. Mereka adalah generasi 60an seperti Sulatin, Haris Sudarno dan Syarwan Hamid ( AMN 1966).

Kini mereka harus turun ke jalan, bergabung bersama pengunjukrasa. Mereka juga menempuh risiko yang sama seperti dihadapi oleh para aktivis seperti Eggy Sudjana, Lieus Sungkharisma, dan Mustof Nahrawardaya: masuk penjara!

Ini bukan hanya kesedihan bagi Ryamizard, tapi kesedihan bersama kita sebagai bangsa. Kita tidak bisa menghormati dan memuliakan secara layak kepada para pejuang bangsa. Perjuangan menyampaikan pendapat menjadi sebuah hal yang terlarang dalam negara demokrasi.

Harus muncul sikap yang bijak. Tidak menang-menangan, apalagi mengandalkan kuasa. Perlu figur-figur bijak dan berkepala dingin model Ryamizard yang berani dan bersedia menanggalkan baju 01, atau 02.

Kita adalah sesama anak bangsa. Mengapa karena perbedaan pilihan, tiba-tiba kita saling intai, saling membinasakan sambil bersuka cita. Sementara ancaman disintegrasi ada di depan mata. (*)

 

SUMBER: DISINI

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT