BerandaBeritaDaerahOrang Wajo yang Saya Kenal

Orang Wajo yang Saya Kenal

Oleh:  M. Farid W Makkulau

English Version: Straighten Understanding of ‘Wajo People’

PALONTARAQ.ID – PENULIS telah ke Wajo, beberapa kali. Mengenal banyak orang Wajo, bahkan bekerja bersama dan pernah dipimpin oleh Orang Wajo. Oleh karena itu, penulis mengenal karakter sosial dan budaya To Wajo (masyarakat Wajo).

Dibandingkan dengan kelompok etnis Bugis lainnya di Sulawesi Selatan, To Wajo memiliki karakteristik yang menonjol, yaitu dalam hal manajemen bisnis dan kepemilikan properti.

Karakter khas ini tercermin dalam frasa lama, “Ri werengngi tiang ri Dewatae ‘, alebbireng koi ri Luwu, asogireng koi ri Wajo, Awaraniang koi ri Bone, Awatangeng koi ri Gowa”. (Diberikan oleh Dewata, kemuliaan bagi Luwu, kekayaan bagi Wajo, keberanian pada Bone dan kekuasaan pada Gowa).

Orang Wajo adalah migran yang sangat ekonomis dan perhitungan.  Komitmen mereka dalam dunia bisnis didasarkan pada prinsip, “massiji warang-parang temma siji balu-balu”. (saudara dalam hal kepemilikan properti tetapi tidak dalam penjualan barang), dan pola adaptasi sosial-budaya.

Begitu pula dalam hal strategi ekonomi didasarkan pada konsep “Tallu Cappa” (ujung lidah, ujung badik dan ujung genital) yang berarti kecerdasan, keberanian dan perkawinan) dan prinsip “silellung sirui” (saling mengejar dan menarik) sebagai modal penting dalam membangun persaingan konstruktif dalam usaha ini.

Rumah Adat Atakkae, Wajo. (foto: pemkabwajo)
Rumah Adat Atakkae, Wajo. (foto: pemkabwajo)

Kebiasaan berkeliaran (sompe ‘) dan nasib di tanah orang yang melekat pada Wajo begitu sering kita menemukan ungkapan yang mengatakan, “Padangkang ke Wajo’e” (pedagang orang Wajo) atau “Sugi’to Wajo’e adangkangeng’ na napakkapong “. (Orang Wajo kaya untuk perdagangan atau bisnis).

Penggambaran kebiasaan merantau di Wajo, yang pada saat yang sama mengungkapkan konsep “maradeka” (kemerdekaan) untuk Orang-orang Wajo di Lontaraq Sukkuqna Wajo (LSW) sebagai berikut:

Maradeka To WajoE, najajiang alena maradeka, tanaemi ata’, naia tomakketanae maradeka manengngi, ade assamaturusengnami napopuang

Artinya adalah: “Orang-orang Wajo merdeka, dan dilahirkan dalam keadaan bebas, hanya tanah yang menjadi pelayan, setiap orang yang tinggal di tanah Wajo memiliki hak untuk bebas, dan hanya kebiasaan turun-temurun yang telah disetujui.

Naia riasengnge maradeka, laje ‘tenriatteangngi, lao maniang, lao manoran, lao alau, lao orai’. Mangnganga tange’na Wajo nassu ‘ajenamato mpawai massu’. Mallaja-laja tange’na Wajo nauttama, ajenamato pattamai.

Artinya adalah: “Bebas dimaksudkan untuk bebas pergi ke mana pun dia suka, tidak dilarang ke Selatan, Utara, Timur atau Barat. Pintu negara Wajo terbuka lebar, sehingga mereka dapat meninggalkan Wajo, Mereka juga bebas masuk Wajo lagi di tempat mereka “Orang Wajo tidak boleh dipaksa, jika mereka tidak mematuhi atau melaksanakan perintah yang tidak memiliki dasar hukum”.

Banyak predikat yang disematkan kepada Orang Wajo, beberapa menyebutnya “Bugis Kapitalis”, “Bugis Cina”, “ke sekke”, atau “pabbalu”, bahkan sering saya mendengar ungkapan, “menonton nabaluk wekkaduako ke WajoE” (simpan dan waspadalah , jangan sampai Anda dijual dua kali oleh OWajo).

Semua judul dan frasa ini harus didasarkan pada Wajo tradesmanship, walaupun tidak sepenuhnya benar, istilah dan frasa ini harus memiliki keselarasan fakta yang berasal dari akar  Sejarah Sosial Wajo. Hanya sayangnya, tidak semua orang, bahkan banyak di antara kita yang tidak lagi memahami identitas budaya. Jadi, bagaimana ‘Wajo Man’ sekarang?

* * *

Saat memasuki Kabupaten Wajo, di gerbang kita akan melihat  tulisan Bugis lontaraq berbunyi, “Maradeka to Wajo’e, Ade’na Napopuang”. Filosofi kemerdekaan ini juga ditulis pada lambang Kabupaten Wajo.

Nilai filosofi itu banyak menyamakannya dengan slogan Barat, lahir untuk kebebasan (lahir untuk kebebasan), prinsip kebebasan yang telah lama dianut oleh Orang Bugis Wajo. Artinya adalah Kebebasan Orang Wajo, Hanya adat atau tradisi yang dijadikan majikan, berarti orang yang pantas diperlakukan sebagai “puang” hanya orang yang menghormati dan menghormati adat yang berlaku di masyarakat.

Jadi sekalipun seseorang itu berasal dari keturunan bangsawan, tetapi jika tidak dapat menghargai dan menghormati adat istiadat yang berlaku di masyarakat maka dia tidak pantas “dipopuang” (dijadikan majikan).

Pintu gerbang Kabupaten Soppeng. (foto: ist/palontaraq)
Pintu gerbang Kabupaten Soppeng, Wajo. (foto: ist/palontaraq)

Pandangan banyak orang bahwa orang-orang Wajo sangat sedih mungkin perlu diluruskan di sini. Menurut saya, kekikiran dan perhitungan adalah dua hal yang serupa tetapi tidak sama. Karakter umum seorang trader adalah kuat dalam perhitungan, saya tidak berpikir ada pedagang yang ingin kalah. Ini tercermin dari sifat orang Wajo dalam berdagang, mereka tidak mau kehilangan bahkan dalam jumlah minimal.

Diantaranya dikenal istilah “Chinese loss”, yaitu menjual sesuatu dengan sedikit keuntungan dari modal yang dikeluarkan sebelumnya. Ade’na napopuang, juga berarti bahwa Orang Wajo hanya patuh pada aturan yang disepakati, yang mencakup filosofi pedagang. Jika dikaitkan dengan konsep ‘kebebasan’ maka kawasan perdagangan orang Wajo, sangat luas, tidak ingin dibatasi oleh wilayah dan batas wilayah.

Apa yang harus dipahami di sini adalah pesan budaya untuk Wajo dari generasi ke generasi terkait dengan tradisi kewirausahaan atau kegiatan perdagangan, yaitu “massiji warang-parang temma siji balu-balu”. Ini berarti saudara kandung dalam hal kepemilikan properti tetapi tidak dalam hal penjualan barang “.

Dalam konteks ini, To Wajo telah menyadari pentingnya pemisahan antara aset yang terkait dengan modal ventura yang harus ditukar dengan uang dan aset yang tidak terkait dengan modal dan kegiatan bisnis. Itulah sebabnya, jika Anda meminta atau meminjam sesuatu kepada To Wajo di pasar atau di mana pun mereka menjual, maka Anda tidak akan mendapatkan apa-apa. Tetapi jika Anda bertanya di rumah, apa yang kami minta akan diberikan.

Inilah yang saya suka dari orang-orang Wajo, apalagi pesan budaya ‘menjaga’ perdagangan masih dikawal oleh pesan lain, “aja numaelo natunai sekke, naburuki labo”. (jangan dipermalukan oleh kekikiran dan dihancurkan oleh sifat boros).

Ungkapan lama, “Ri werengngi tiang ri Dewatae ‘, alebbireng koi ri Luwu, asogireng koi ri Wajo, Awaraniang koi ri Bone, Awatangeng koi ri Gowa”. (Diberikan oleh para Dewa, kemuliaan Luwu, kekayaan bagi Wajo, keberanian dan kekuatan Bone untuk Gowa) pada dasarnya ingin menegaskan kepada generasi kita sekarang bahwa makassar bugis adalah satu bangsa, harus saling membantu, saling mendukung, dan menjunjung tinggi.

Apa yang tidak kita miliki, ada pada orang lain, apa yang ada di daerah lain, ada di daerah kita. Intinya, pesan dan frasa menyiratkan perlunya kerja sama, dalam hal saling mendukung. Terkait dengan Sumber Daya Alam (SDA), Wajo kaya dengan karakteristik wilayah tiga dimensi, “Mangkangulu ri bulue, massulappe dipottanange, mattodang ritapparenge”.

Terkait dengan pembangunan, tentu saja membutuhkan kearifan lokal dari Pemkab dan Masyarakat Wajo dalam pengelolaannya.  Tentu ironi, jika orang Wajo keluar berkeliaran mencari mata pencaharian di negara orang sementara di sisi lain sumber alam Wajo sangat kaya dan berlimpah. (***)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT