BerandaKolomEGO (7–Edisi Khusus: Perjalanan )

EGO (7–Edisi Khusus: Perjalanan )

Ilustrasi: foto by: ist/palontaraq)
Ilustrasi – Perjalanan (foto by: ist/palontaraq)

Tulisan Sebelumnya:  EGO (1-5), EGO (6)

EGO (7–Edisi Khusus: Perjalanan ): “Etta …. Imam ….. Imam”. Aku tersentak kaget. Rasanya belum cukup tidurku semalaman namun suara pelan istri membangunkan shalat subuh sedikit membuatku dongkol.

“Imam ….. Imam …. Anak-anak menunggu di masjid,” ujarnya. Dengan tubuh masih terasa remuk, aku berwudhu dan menuju masjid. Sekitar dua ratusan remaja putri sudah berada dalam masjid pada subuh hari itu dan akulah yang ‘harus’ adzan, iqamat sekaligus mengimami mereka.

Usai shalat subuh, mereka berlomba ke sudut–sudut masjid mengambil kitab suci. Setelahnya mereka larut dalam tadarrusan. Kutatap mereka lekat-lekat. Ya Tuhan, sungguh Engkau tunjukkan kasih sayang berlebih kepadaku. Aku yang tak kau anugerahkan seorang putri dari rahim istri, kini aku memiliki ratusan anak remaja putri dari anak sekolah istriku. Tak terasa mataku berkaca–kaca. Mereka kini adalah anak-anakku juga.

* * *

Matahari belumlah tertalu tinggi tapi panasnya sudah menyengat. Aku memacu kendaraan menuju desa pegunungan di sebelah timur Kota Pangkajene untuk menghadiri pernikahan seorang teman. Ayahnya adalah kawan karibku dan beberapa waktu lalu menjadi sumber utama penulisan bukuku tentang sejarah desa tersebut.

Jarak 31 kilometer desa pegunungan itu dari rumah tak terasa kutempuh kurang dari satu jam, padahal medan yang dilalui terlampau sulit bagi orang yang tak biasa berkendara menuju desa perbatasan timur Pangkep dengan Kabupaten Bone tersebut.

Jalanan desa yang kulalui penuh liku, terjal dan berbatu, menurun dan menanjak dengan kemiringan yang ekstrim. Meski begitu, aku sudah terlampau menguasai titik jalanan yang berlobang menuju desa itu.

Satu persatu desa dalam lingkup wilayah Tondong Tallasa kulalui, melalui Bulu Tellue, Malaka, Bantimurung, Bantimala dan Tondongkura. Beberapa pengendara sempat kulalui dan tertinggal jauh di belakang. “Aku pembalap tanpa tanding di jalur ini, kawan!”

* * *

Setiba di desa pegunungan yang kutuju, aku langsung disambut dan dipeluk tuan rumah. “Sallo sikaliki nampa nia’ nak (lama sekali baru ananda datang kemari),” ujar ayah temanku yang hari ini dilangsungkan pernikahannya. Beliau juga sudah seperti ayah bagi saya.

Masih terekam dengan baik di benakku, kegigihannya mengantar menuju perkampungan tua Tondongkura dalam hutan, menyaksikan pekuburan kuna yang ditinggalkan para penggali liar keramik antik serta kompleks pekuburan Karaeng Tondongkura.

Tak hanya orangtua temanku itu yang menyambutku. Kepala desa yang merupakan teman sekolahku semasa SMA, memelukku dengan hangat. “Datanglah pada hari Ahad, kita berburu babi lagi”, ujarnya ditemani kepala dusunnya.

Warga di desa itu memang sangat senang kala melihatku saban hari datang berburu babi yang dilaksanakan tiap hari Ahad, bukan karena berbakat membunuh babi tetapi karena aku menyiapkan hadiah bagi para penombak babi pengganggu tanaman warga.

* * *

Pernikahan temanku ini bukan pernikahan biasa. Di tangga bagian depan rumah, dipasang tangga sapana dan prosesi pernikahan yang berlangsung khidmat sangat jelas terdengar mahar pihak keluarga mempelai laki–laki sebesar 88 real. Suatu penegasan akan status sosial ditunjukkan disaat begitu banyak orang disekitarnya, terutama anak muda desa itu tak lagi memahami dan menghiraukannya.

* * *

Usai prosesi adat pernikahan temanku itu, aku pamit pulang dengan berat hati. Banyak kenanganku di desa itu.

Tak dapat kusembunyikan kebahagiaanku saat akan pulang, aku menemukan Nene’ Ciong dan ia pun sangat gembira melihatku. Kami berbincang–bincang cukup lama sebelum akhirnya kupaksa agar dia mau ikut denganku kembali ke sekolah dimana ia bekerja sebagai petugas kebersihan.

Nene’ Ciong bersikeras tidak mau. Semakin kudesak, ia semakin tidak senang dan menunjukkan amarah. Duh, laki–laki tua renta itu tak tahu bahwa aku sangat merindukan dan mengaguminya. Bukan hanya permainan kecapinya, tetapi juga kearifan budaya terkait bahasa tuturnya yang unik. Andai ia tahu, sampai empat kali kutulis tentang dirinya pada suatu media blog sosial, tiga kali diantaranya sempat terpajang gagah Headline di halaman utama.

Aku harus meninggalkan Nene’ Ciong sesuai keinginannya. Dengan langkah berat aku meninggalkan desa pegunungan itu. Disana bukan hanya ada Nene’ Ciong yang melambai, aku beku menyaksikan Masjid Nurul Amien yang telah menjadi saksi kehadiranku “Akkammisi” (pengajian tiap hari kamis) di tempat bersejarah itu.

* * *

Dalam perjalanan pulang, aku singgah di Desa Malaka. Kemarau begitu hebat sampai untuk menyaksikan kekokohan Bulusaraung menantang para pendaki dan pencinta alam begitu menyilaukan mata. Kering dan tandus.

Dari atas rumah panggung teman, aku menyaksikan pemandangan Bulusaraung tak lagi indah seperti biasanya, seperti tak indahnya perjalanan menyinggahi Desa Malaka tanpa membawa kacang tanah. “Bukan musimnya”, kata ibu mertua temanku.

Sempat terbersit dongkol di hati, “percuma singgah” sesaat sebelum memutuskan pulang ke rumah. Laju motor kupercepat dengan harapan masih dapat kuhadiri halal bihalal di lingkungan sekolah tempat istriku mengabdi.

* * *

Aku tiba di rumah saat anak-anak di sekolahku telah pulang dari masjid. Aula sekolahpun sudah kosong. Aku merasa capek sekali namun tak sedikitpun menutupi penasaranku akan acara halal bi halal sekolah. “Bagaimana halal bi halalnya”, tanyaku pada istri.

“Luar Biasa Etta, Penceramahnya adalah alumni sekolah ini, seorang muslimah yang diberi cobaan oleh Tuhan akan keterbatasan fisiknya pasca menderita lever, leukimia dan stroke berat.”

“Dakwahnya mencerahkan dan menginspirasi, tak pernah mengenal putus asa apalagi mengeluh. Ia sudah keliling daerah dimana-mana bahkan sampai ke luar negeri, Belanda, Jerman, Jepang dan negara maju lainnya demi tugas dakwah yang dianggapnya sebagai kewajibannya”, jelas istriku.

Kupingku memerah bagai tersengat lebah. Mulutku tak dapat mengeluarkan sepatah katapun. Kepalaku terasa mengecil. Aku terlalu banyak mengeluh capek atas kerja yang tidak produktif. Suatu hal yang kontradiktif dibanding Kisah Muslimah yang baru saja diceritakan istri. Aku berlalu dari hadapannya, shalat dan bersiap–siap menuju Makassar.

* * *

Dari Bulu-bulu Maros sampai perbatasan Maros-Makassar, ratusan kendaraan merayap. Macet total. Tubuhku bagai terpanggang dalam oven. Panas dan haus menjadi satu. Dalam mobil, aku mengumpat diriku sendiri kenapa aku mesti ke Makassar.

Tak ada yang dapat kuperbuat selain mengutak-atik ponsel dengan posisi duduk gelisah. Sangat gelisah. Hampir tiga jam, ratusan kendaraan hanya dapat bergerak sedikit demi sedikit. Ingin sekali rasanya turun dari kendaraan, membeli air kemasan sekadar melepas dahaga dan membeli pulsa untuk menelepon teman-teman yang menungguku di deLuna Café, namun rasa-rasanya hal itu tidak mungkin karena kendaraanku terjepit di tengah-tengah.

Lepas dari Maros, lagi-lagi aku terjebak macet di Daya, Makassar. Seorang kawan dosen di UNHAS mengirimkanku pesan pendek via ponsel, “Jadi tidak ke FDG Makassar?”. Kujawab singkat, “Aku terjebak macet di Daya, pak bos”. Dan semakin sempurnalah kedongkolanku menerima jawaban pesan pendek darinya. “Dalle, ciddakko …… Hahahahaha…..”

* * *

Belum habis kejengkelanku akan pesan pendek tak terkira tersebut. Dalam hati kembali mengumpat saat membaca sebuah stiker di depan kaca mobil yang kutumpangi. “BUGIS – Banyak uang ganti isteri”, demikian bunyi stiker tersebut.

Sekilas akronim tersebut dapat dianggap sebagai guyon atau candaan. Aku tak dapat menerimanya dan bagiku hal itu bisa berarti penghinaan terhadap karakter orang bugis pada umumnya, khususnya bagi mereka petarung kehidupan dalam pelayaran, perniagaan dan perantauannya.

Ingin rasa menjitak kepalanya orang yang menelorkan pikiran gila akronim Bugis itu. Siapapun orangnya dan karena akronim tersebut juga menyepelekan sosok seorang istri, merendahkan sosok ibu bagi suami dan anak-anaknya. Dengan akronim tersebut, istri dinilai hanya sebatas ‘layaknya barang’ yang bisa diganti dengan seenaknya.

* * *

Di sekitar Karebosi Makassar, di tempat café dan karaoke deLuna, sebanyak tujuh belas pegiat sosial blog Makassar terlibat dalam Forum Discussion Group (FDG) bersama sang admin dan pengelola social blog tersebut dari Jakarta.

Aku yang diundang khusus di acara itu terlambat tiba disebabkan macet di Maros dan Daya. Banyak saran dan kritikan yang ingin sekali kusampaikan langsung kepada sang admin, namun apa daya aku tiba di lokasi pada saat diskusi sudah tutup.

Aku kecewa.

Pada kawan dosen yang menyambutku dengan ramah di deLuna aku ucapkan “terima kasih atas jawaban pesan pendeknya. Itulah jawaban humanis yang pernah aku terima”. Ia tergelitik dan ketawa ngakak bersamaku. Aku mengajaknya ngopi di lantai satu café itu bersama dua kawan yang juga blogger.

Sedang asyiknya kami berbincang-bincang, sang admin dan pengelola sosial blog itu ikut bergabung. Kami terlibat diskusi yang asyik tentang pelbagai hal berita di media mainstream, prospek media online dan sosial blog. Di luar acara terencana FDG itu, tuntas sudah aku “memberi saran” sang admin dan aku pun puas pulang karenanya. (*)

 

Sumber:

Disalin ulang dari: Catatan Ego (7) Etta Adil, Pangkep-Makassar, termuat di Note Facebook, 15 September 2012.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT