BerandaBeritaDaerahRomantisme "Buttu Kabobong" dalam Narasi To Enrekang

Romantisme “Buttu Kabobong” dalam Narasi To Enrekang

 

Oleh:  Etta Adil

PALONTARAQ.ID – JANGAN  pernah menyebut diri pernah datang ke Enrekang jika tidak mengenal Buttu Kabobong atau yang populer dengan sebutan “Gunung Nona”.

Gunung yang terletak di Kecamatan Anggeraja Kabupaten Enrekang ini memang memiliki bentuk unik dan eksotis.

Untuk menyaksikannya cukup meminggirkan mobil ke beberapa rumah makan di Anggeraja, yang berhadapan langsung dengan gunung tersebut.

Penulis dengan latar "buttu kabobong". (foto: chasiyanto)
Penulis dengan latar “buttu kabobong”. (foto: chasiyanto)

Buttu Kabobong merupakan objek wisata alam yang paling terkenal di Bumi Massenrempulu. Hanya saja sebagai sebuah obyek wisata, Buttu Kabobong hanya sebatas untuk dipandang dan dikagumi dari jauh.

Wisatawan hanya dapat mengabadikannya lewat kamera dan video, tanpa harus mendatanginya secara langsung. Buntu Kabobong memang bukan destinasi wisata, tapi hanya persinggahan wisata pengunjung dari dan ke Tana Toraja.

Gunung Nona atau Buttu Kabobong. (foto: mfaridwm)
Gunung Nona atau Buttu Kabobong. (foto: mfaridwm)
Penulis dengan latar "buttu kabobong". (foto: chasiyanto)
Penulis dengan latar “buttu kabobong”. (foto: chasiyanto)

Buttu Kabobong berjarak sekitar 16 km dari Kota Enrekang arah utara menuju Tana Toraja. Lokasi tepatnya berada di Dusun Kotu, Desa Bambapuang, Kecamatan Anggeraja Kabupaten Enrekang, salah satu Kabupaten yang berjarak sekitar 240 km di sebelah utara Kota Makassar, ibukota Propinsi Sulawesi Selatan.

Keunikan “Buttu Kabobong” ini, sehingga mendapat julukan “Gunung Nona” adalah karena keunikannya. Ya, unik karena bentuknya yang sangat mirip dengan organ vital wanita.

Dalam bahasa lokal, “Buntu” atau “Buttu” berarti gunung, sedang “Kabobong” berarti organ vital wanita. Sehingga gunung yang secara alami terbentuk sering juga disebut “Erotic Mountain” oleh wisatawan asing.

Penulis dengan latar Buttu Kabobong saat singgah di salah satu rumah makan jelang magrib. (foto: ist/imput)
Penulis dengan latar Buttu Kabobong saat singgah di salah satu rumah makan jelang magrib. (foto: ist/imput)

Buttu Kabobong sejak dulu menjadi ikon yang melekat pada Bumi Massenrempulu, Enrekang. Cuaca cukup sejuk di sekitar gunung yang berada di atas ketinggian 500 mdpl ini, ditambah aliran sungai di kaki bukit Buntu Kabobong menambah indah panorama yang tercipta.

Jika berlama-lama menyaksikan keindahan Buttu Kabobong, seringkali ada pengunjung lain bercanda dengan mengatakan bahwa Buttu Kabobong adalah aurat yang tak haram dipandang.

* * *

Dibalik keindahan dan pesona romantisme Buntu Kabobong terekam narasi tutur dalam Masyarakat Enrekang.

Narasi To Enrekang yang cukup melegenda tentang kisah Raja Soppeng yang murka terhadap pernikahan putrinya yang tidak mau dijodohkan dengan pangeran pilihan ayahnya dan memilih kabur dengan lelaki pilihan hatinya, Tandu Mataranna Enrekang Laki Barakkanna Puang.

Singkat cerita, sang putri berhasil ditemukan oleh prajurit utusan Raja Soppeng. Sang Putri ditebas oleh salah seorang prajurit yang ingkar janji, dimana perjanjiannya sang putri harus dibawa pulang dalam keadaan hidup.

Tubuh sang putri raja terbelah dua. Konon belahan tubuh sang putri inilah yang menjadi Buntu Kabobong, sedang belahan lainnya dari pusat hingga kepala hanyut di Sungai Mata Allo.

Penulis menunjuk Buttu Kabobong. (foto: chasiyanto)
Penulis menunjuk Buttu Kabobong. (foto: chasiyanto)

Versi lain dari narasi tutur yang berkembang di kalangan To Enrekang, orang Enrekang adalah bahwa dahulunya kala di kaki Gunung Bambapuang terdapat sebuah kerajaan bernama Tindalaung.

Kerajaan itu dipimpin oleh Kalando Palana, seorang raja berasal keturunan dari To Manurung. Pemerintahan Kalando Palana berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, namun karena itulah rakyatnya menjadi lupa diri.

Kehidupan hura-hura, boros dan selalu bersenang-senang bahkan sampai perzinaan mewarnai kehidupan sehari-hari rakyat dan keluarga kerajaan.

Menikmati kopi khas enrekang di depan Buttu Kabobong. (foto: ist/imput)
Menikmati kopi khas enrekang di depan Buttu Kabobong. (foto: ist/imput)

Karena kehidupan sosial rakyat Tindalaung yang tidak terkendali sehingga Dewata SeuwaE menjadi murka dan pada akhirnya menurunkan bencana yang sangat besar. Kerajaan Tindalaung hancur dan tenggelam.

Setelah beberapa fase terjadi bencana dahsyat tersebut, muncullah kemudian gunung yang sekarang disebut Buntu Kabobong, yang dianggap sebagai simbol penghukuman manusia yang tidak tahu bersyukur kepada Tuhan Sang Pencipta.

TANGGUH - Berumah di pagar pegunungan, masih dalam kawasan Buttu Kabobong. (foto: mfaridwm)
TANGGUH – Berumah di pagar pegunungan, masih dalam kawasan Buttu Kabobong. (foto: mfaridwm)

Demikianlah kedua versi narasi tutur ini masih hidup dan sering diperdengarkan kepada generasi berikunya.

Tak ada seorangpun yang dapat memastikan dimana diantara keduanya yang benar, namun bagi Masyarakat Massenrempulu Enrekang, cukuplah legenda tentang asal muasal terciptanya Gunung Eksotis Buttu Kabobong tersebut dapat diambil pesan moral dan hikmahnya tersendiri. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT