BerandaEdukasiGuru-guru Hebat di Sekitar Ibu Pendidikan Indonesia ini

Guru-guru Hebat di Sekitar Ibu Pendidikan Indonesia ini

Oleh: Dr. Adian Husaini

PALONTARAQ.ID – Rumus ini sudah diterima secara universal. Bahwa, kebangkitan suatu umat atau bangsa dimulai dari kehadiran guru-guru hebat. Itu pula proses pendidikan yang dijalani oleh Rahmah El-Yunusiyyah, perempuan pertama yang mendapat penghargaan sebagai “Syaikhah” oleh Universitas al-Azhar, Cairo, tahun 1957. Bahkan, al-Azhar kemudian ikut mendirikan pendidikan khusus putri, mengikuti jejak Rahmah El-Yunusiyyah.

Gelar syaikhah dari Universitas al-Azhar adalah gelar kehormatan yang sangat tinggi dalam dunia pendidikan bagi seorang perempuan. Itu terjadi di tahun 1957, saat Rahmah el-Yunusiyyah berumur 57 tahun.

Dengan gelar syaikhah dari al-Azhar maka Rahmah el-Yunusiyyah telah menunjukkan kelasnya sebagai ulama perempuan dan tokoh pendidikan Indonesia. Karya dan kepeloporannya dalam dunia pendidikan di Indonesia sangat fenomenal, sehingga universitas al-Azhar memberi penghargaan istimewa dan mencontohnya.

Pada 1 November 1923, Rahmah mendirikan “Perguruan Diniyyah Putri” Rahmah berpendirian, bahwa pendidikan untuk kaum putri akan lebih maksimal jika tidak digabung dengan pendidikan laki-laki. Dengan pertimbangan tertentu, akhirnya nama “Perguruan Diniyyah Putri” diganti dengan “Diniyyah Putri School.”

Dalam disertasinya di Universitas Ibn Khaldun Bogor, Dr. Ali Murtadlo menyebutkan tujuan pendidikan Rahmah el-Yunusiyyah, yaitu untuk mencetak putri-putri muslimah berjiwa Islami dan ibu pendidik yang cakap mandiri, dengan tiga karakter utama: ahli ibadah dan berakhlakul karimah, kuat dan tegar sebagai mujahid Allah, serta cerdas sebagai khalifah fil-ardl.

Rahmah el-Yunusiyyah menjadi tokoh pendidikan hebat dan salah satu ”Ibu Pendidikan Indonesia” tak lepas dari didikan para gurunya. Ayahnya, Moh. Yunus el-Khalidy, adalah seorang ulama yang pernah belajar di Mekkah selama 4 tahun. Namun, ayahnya wafat saat Rahmah berumur 6 tahun. Didikan berikutnya dilakukan oleh ibunya, yang juga seorang guru yang tekun mendidik anaknya.

Guru hebat berikutnya adalah kakak kandung Rahmah sendiri, yaitu Zainuddin Labay el-Yunusy, yang umurnya 10 tahun lebih darinya. Zainuddin adalah ilmuwan dan pendidik sejati. Ia mendirikan Diniyyah School tahun 1915. Di pesantren inilah Zainuddin mendidik sejumlah anak yang kelak menjadi tokoh nasional, seperti Buya Hamka, Rasuna Said, dan juga Rahmah el-Yunusiyyah.

Di masa kanak-kanak, Buya Hamka sempat mengalami ujian yang cukup berat. Ayahnya, seorang ulama hebat. Tetapi, sang ayah akhirnya bercerai dengan Ibu Buya Hamka. Ayah Hamka dikenal dengan nama Haji Rasul, yang juga salah satu tokoh pembaru pendidikan. Ia melakukan pembaruan dalam kurikulum Sumatera Thawalib Padang Panjang.

Tetapi, Buya Hamka mengaku mendapat kegairahan belajar dan kehausan ilmu setelah bersentuhan langsung dengan didikan Zainuddin Labay. Buya Hamka menggambarkan kehebatan Zainuddin Labay dalam mendidik, sebagai berikut:

“…. Hanya seorang yang menarik hatinya. Kalau guru itu masuk kelas, terbuka pikirannya dan pikiran teman-temannya. Dia ditakuti tetapi dicintai. Dia tidak banyak melarang, tetapi menggembirakan pekerjaan murid-murid… ketika guru itu di dalam kelas seakan-akan diselaminya jiwa kanak-kanak. Dan semua menambah sayang murid-muridnya kepadanya… Barangkali baru dia seorang guru yang dicintai itu, yang memulai mengajar dengan metode Pendidikan… Guru itu ialah almarhum Zainuddin Labay el-Yunusy, yang mendirikan Sekolah Diniyyah….”

Zainuddin Labay adalah pecinta ilmu dan pendidikan yang sejati. Ia menguasai sejumlah bahasa. Ia mendirikan sebuah perpustakaan untuk disewakan. Berbagai buku ada disini dalam berberapa bahasa, termasuk surat kabar. Buku adalah jendela dunia. Di tempat inilah seorang dilatih untuk memiliki cakrawala berpikir yang luas. Buya Hamka mengisahkan bahwa di tempat ini, ia bisa membaca satu buku dalam sehari.

Selain Zainuddin Labay, Rahmah el-Yunusiyyah pun belajar kepada ayah Hamka, yaitu Haji Abdul Karim Amrullah. Hamka berkisah, ia melihat Rahmah membawa sejumlah teman perempuan untuk berguru langsung secara intensif dengan ayahnya. Ia belajar berbagai bidang ilmu. Menurut Hamka, dalam hal ini – yakni belajar ilmu-ilmu agama secara terstruktur – Rahmah adalah pelopor di antara kaum perempuan di Sumatera Barat, ketika itu.

Masih ada sejumlah ulama lain yang juga menjadi guru bagi Rahmah. Akan tetapi, salah satu “guru” yang juga turut mendidik Rahmah adalah Tradisi Ilmu yang tumbuh di tengah masyarakat Minangkabau ketika itu. Sejarah mencatat banyaknya tokoh yang lahir di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Tokoh-tokoh dari Sumatera Barat yang lahir sekitar tahun-tahun itu diantaranya: Haji Agus Salim lahir 8 Oktober 1884; Rohana Kudus pada 20 Desember 1884; Mohammad Hatta pada 12 Agustus 1902; Mohammad Yamin pada 28 Agustus 1903; Hamka lahir pada 17 Februari 1908; Mohammad Natsir pada 17 Juli 1908.

Budaya ilmu ketika itu tumbuh subur di alam Minangkabau. Para guru mendidik murid-muridnya untuk mencintai ilmu. Mereka tidak dikerangkeng dalam cita-cita sempit, belajar hanya untuk tujuan-tujuan pragmatis yang sempit, bagaimana bisa mencari kerja. Karena itu, mereka dididik untuk berpikir besar dan mendasar; berpikir tentang alam, manusia, ilmu, sejarah, dan juga tentang peradaban.

Pendidikan model inilah yang dialami oleh para tokoh seperti Rahmah el-Yunusiyyah, Hamka, Mohammad Natsir, dan sebagainya. Pendidikan ideal seperti ini menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam diri seseorang, sehingga ia menjadi manusia yang semakin adil dalam memahami dan menyelesaikan masalah. Semoga kita bisa menghidupkan kembali model pendidikan semacam ini. Aamiin. (Semarang, 3 Februari 2023).

 

Sumber: www.adianhusaini.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT