BerandaIslamTernyata Kita belum Sepenuhnya bergantung hanya kepada Allah SWT

Ternyata Kita belum Sepenuhnya bergantung hanya kepada Allah SWT

Oleh: Nasrudin Joha

PALONTARAQ.ID –  Dalam Al-Qur’anul Karim sangat jelas disebutkan: “Katakanlah Dialah Allah Yang Mahaesa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.”  [Qs. Al Ikhlas]

Kegagalan, kesulitan, kepayahan bahkan kehinaan yang menimpa umat Islam termasuk di negeri ini, perlu kita evaluasi. Apakah kegagalan dan kehinaan itu murni sebagai sebuah ujian, atau musibah karena maksiat umat Islam sendiri.

Lebih jauh, perlu untuk dievaluasi apakah dalam menjalankan amal, melakukan usaha untuk memperbaiki umat ini, kita telah benar-benar hanya bergantung kepada Allah, hanya memohon pertolongan Allah, dan tiada menyekutukan Allah SWT dengan sesuatu apapun.

Harus kita akui, kita telah menggeser ‘rasa harap (Roja’)’ kita selain kepada Allah. Kita juga memiliki rasa ‘takut (khauf) selain kepada Allah SWT.

*Pertama,* kita terlalu berharap kepada sistem demokrasi, Pemilu dan Pilpres. Kita, umat ini terjebak pada harapan palsu demokrasi.

Saat menjelang Pilpres, seluruh energi kaum muslimin di negeri ini diarahkan hanya untuk agenda Pilpres. Umat ini telah menyandarkan harapan (roja’) pada Pilpres, seolah hanya pilpres-lah satu-satunya harapan bagi umat ini agar terlepas dari belenggu berbagai masalah yang mendera bangsa.

Umat ini begitu disibukan dengan agenda Pilpres, semua ikhtiar dan pengorbanan dikerahkan untuk Pilpres. Sampai akhirnya, Allah SWT mengingatkan, dengan menetapkan keputusan yang menyelisihi harapan umat.

Kemenangan Pilpres justru Allah SWT berikan kepada golongan yang justru mendengki pada ajaran Islam, zalim kepada umat ini. Umat pun, menjadi kecewa, terluka, dan mengalami kepedihan yang makin dalam.

*Kedua,* kita terlalu berharap pada makhluk, berharap pada figur, berharap pada Prabowo. Berbagai dalih digunakan untuk membela dan mendukung Prabowo.

Dari yang terkesan ‘alim, menggunakan dalih ‘akhofu doruroin’ sampai yang dengan bangganya menyebut Prabowo sebagai macan Asia. Menjajakan Prabowo sebagai solusi dan harapan bagi umat Islam.

Hingga saat, pertemuan Lebak Bulus itu, jamuan nasi goreng itu, perubahan macan menjadi kucing dan akhirnya kabar Prabowo akan menjadi Menhan, umat ini baru tertegun, melamun, menyadari kekeliruannya. Umat ini pun kembali dirundung duka dan kemalangan.

Selain keliru berharap pada Pilpres dan sosok Prabowo, umat ini juga keliru merasa takut kepada rezim. Yang ASN takut dipecat, yang kritis takut dikriminalisasi, takut kena UU ITE, takut dituding makar, dan lain-lain.

Intinya, umat ini ternyata tidak takut hanya kepada Allah SWT. Simpulannya: Umat Islam ini telah keliru, dan ini kekeliruan yang fatal. Umat ini keliru telah berharap kepada makhluk dan merasa takut kepada makhluk.

Padahal, akidah Islam telah mengajarkan umat ini hanya takut kepada Allah SWT, dan hanya berharap kepada Allah SWT semata.

Karena itu, kegagalan Pilpres dan tersingkapnya kain penutup wajah Prabowo, semestinya menjadi pelajaran berharga. Umat ini wajib takut hanya kepada Allah SWT, dan wajib berharap hanya kepada Allah SWT semata.

Karena itu, jika benar akidah umat ini hanya roja’ dan khauf kepada Allah SWT, maka umat ini tidak perlu lagi bersandar kepada makhluk, bergantung pada agenda Pilpres atau pemilu.

Umat Islam  wajib hanya bergantung kepada Allah SWT, dan wajib membuat agenda sendiri sebagaimana dicontohkan Rasululah SAW dan para sahabat.

Menyibukkan diri dengan agenda pemilu dan Pilpres, menyandarkan harapan pada pemilu dan Pilpres, berarti telah bersandar selain kepada Allah SWT, dan mengambil teladan selain dari Rasulullah SAW.

Sistem demokrasi adalah warisan penjajah, ajaran Montesqueu. Siapapun yang terikat dengannya, berarti telah melepaskan ketaatan kepada Allah SWT dan tidak ittiba’ kepada Rasulullah SAW.

Semestinya, umat ini punya agenda sendiri, yakni menyibukkan diri untuk mengangkat seorang Khalifah, untuk dibaiat dengan kitabullah dan Sunnah nabinya.

Menyibukkan diri sebagaimana dahulu para sahabat menyibukkan diri di saqifah Bani Saidah, memikirkan pemimpin pengganti Rasulullah SAW, hingga akhirnya para sahabat (semoga Allah SWT meridloi mereka) mampu membaiat Abu Bakar Ash sidik.

Abu Bakar Ash Sidiq adalah Khalifah, bukan Presiden, bukan raja, bukan kaisar bukan perdana menteri. Abu bakar RA menerapkan hukum Quran Sunnah, UU syariah, bukan UU raja, UU rakyat, atau UU kaum cendekia.

Semestinya, pengorbanan kaum emak militan, para ulama, para habaib, para ustadz, aktivis dan mahsiswa, kaum pergerakan, semuanya disibukan untuk menunaikan kewajiban membaiat seorang Khalifah, untuk menerapkan hukum Quran Sunnah.

Cara ini adalah cara Syar’i, cara yang mampu merealisir khauf dan roja’ hanya kepada Allah SWT semata. Cara ini juga sesuai petunjuk nabi dan telah dipraktikkan oleh generasi sahabat, yang Allah SWT telah meridloi mereka semuanya.

Karenanya, cukuplah kegagalan Pilpres, membelotnyq Prabowo, menjadi pelajaran penting bagi umat ini agar kembali kepada Allah SWT berharap hanya kepada Allah SWT dan tidak takut pada apapun kecuali hanya kepada Allah SWT.

Saatnya, umat ini merapatkan barusan dalam perjuangan penegakan syariah Islam melalui methode kenabian, yakni dengan membaiat seorang lelaki, muslim, berakal, dewasa, adil, merdeka dan memiliki kemampuan, untuk menjadi seorang Khalifah, menjadi Amirul mukminin. Takbir! [*]

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT