BerandaBeritaDaerahRegent, Karaeng dan Kepala Distrik

Regent, Karaeng dan Kepala Distrik

Oleh: Andi Fahry Makkasau

PALONTARAQ.ID – Banyak yang gagal paham soal Sejarah Pemerintahan di Maros. Mereka menyamakan Pemerintahan Adat lama dengan Kerajaan (State/Monarki/Negara). Di Sulawesi Selatan hanya ada 3 yang bisa disebut Kerajaan(Negara/State) yaitu GOWA, LUWU dan BONE.

Selain ketiga kerajaan diatas, yang lainnya merupakan Kerajaan Selfbestur tapi bukan State. Kalau Maros yang pasca Perjanjian Bungaya yang diperbaharui 1824 hanya sebuah Onderafdeeling yang disebut sebagai de Noordern Distrikten (Propinsi Distrik Utara), wilayah-wilayahnya adalah Regentschappen yang dipimpin oleh seorang Regent (Bupati) lalu di awal tahun 1900 setelah Rumpa’na Bone diadakan lagi penataan Pemerintahan.

Daerah-daerah Regentschappen di Maros diturunkan statusnya dan dijadikan Distrik Adat Gemengschapp yang dipimpin oleh seorang Hoofd Distrik (Kepala Distrik) yang dipilih dari Bangsawan Lokal yang diberi sapaan (sebutan gelar) Karaeng, Arung, dan Gallarang sebagaimana adat kebiasaan setempat.

Pada saat Penguasaan Jepang Tahun 1942-1945, Para Kepala Distrik diubah sebutannya yang tadinya Karaeng, Arung atau Gallarang berubah menjadi Guntjo. Ketika Indonesia merdeka pada 1945 dan Jepang angkat kaki sebutan para Guntjo berubah kembali menjadi Kepala Distrik dan itulah yang berlaku sampai terbentuknya Pemerintahan baru.

Maros yang tadinya adalah sebuah Onderafdeeling dibawah Afdeeling Makassar berubah menjadi Daerah Swatantra Tk. II (Daswati II) yang kemudian menjadi Daerah Tingkat II (Dati II) atau Kabupaten membawahi Distrik-distrik yang kemudian per 1 Juni 1963 menjadi Kecamatan, sebuah format pemerintahan baru menghapus Pemerintahan Adat Distrik.

Jadi jika ada sebutan Karaeng Marusu, Karaeng Simbang, Arung Mallawa, Gallarang Moncongloe dan lainnya, maka yang dimaksud itu adalah seorang Kepala Distrik. (Badan Arsip Nasional, W.G. van der Wolk “Kort Apercu Betreffende (2006. 136) dan Buku “Maros Konfigurasi Elit dan Kontestasi Kekuasaan 1900 – 1946, Simon Sirua Sirapang (2016. 7).

Kepala Pemerintahan Adat Regenshapp (Regent) kemudian menjadi berubah menjadi Kepala Distrik Adat Gemenchapp (Karaeng/Arung/Gallarang) dipilih dari Bangsawan Lokal mengikut tradisi setempat dengan proses pemilihan melalui Ketua-ketua Kaum (Anrong Tau/Gallarang/Matowa).

Proses pemilihan Ketua-ketua kaum diatas bukan oleh Rapat Keluarga dan TIDAK bersifat turun temurun meskipun ditemukan adanya Kepala Distrik di beberapa Distrik yang kemudian tercatat berkuasa beberapa Generasi berkesinambungan hal tersebut lebih disebabkan kemampuan Sang Kepala Distrik menjaga power kekuasaannya dengan baik sehingga masyarakatnya masih memilih keturunannya sebagai pelanjut Kepala Distrik berikutnya dengan tetap menjaga pakem Adat (stratifikasi darah sang calon pelanjut) “tenri akkarung rajeng’e, tenri attolang cera’e.

Dari sini kita bisa memeriksa seluruh Distrik dalam wilayah Maros, tidak satupun yang Kepala Distriknya bertahan turun temurun mulai pertama terbentuk sampai terakhir.

Yang tercatat dalam Sejarah paling kuat hanya ada yang bisa bertahan 4 generasi itupun kalau di Maros hanya di Marusu, ketika I Mappasossong Daeng Pabundu menjadi Regent/Karaeng Marusu digantikan oleh Putranya I Pake Daeng Masiga lalu diganti oleh putranya lagi Hafid Daeng Ma’ronrong lalu ke putranya lagi Tajuddin Daeng Masiga sebagai Karaeng/Kepala Distrik Terakhir.

Lalu di Simbang ketika La Umma Daeng Manrapi menjadi Regent/Karaeng Simbang lalu digantikan oleh putranya Patahuddin Daeng Parumpa kemudian digantikan lagi oleh putranya Amiruddin Daeng Pasolong kemudian digantikan oleh putranya lagi Sirajuddin Dg Magading sebagai Karaeng/Kepala Distrik Terakhir.

Di Bontoa dan Lau’ juga demikian cuman agak berbelok-belok dari ayah ke anak lalu ke adik lalu ke ponakan. Kejadian itu disebabkan masih terbukanya kontestasi kepemimpinan pada setiap era, prestasi Kepala Distrik sebelumnya dan mungkin adanya kasus hukum, dan lain sebagainya.

Ada banyak macam kasus penyebab pergantian Kepala Distrik. Ekstrimnya yang terjadi adalah Kepala Distrik baru BUKAN berasal dari Rumpun Keluarga Kepala Distrik sebelumnya.

Sebagaimana Pengangkatan Andi Mardjan Sanrima yang notabene adalah cucu Karaeng Turikale menjadi Kepala Distrik/Karaeng Cenrana, kemudian Abdullah Daeng Matutu putra Imam Simbang menjadi Kepala Distrik/Karaeng Tanralili, demikian pula Pengangkatan I Rego Daeng Mattiro putra La Patau Tanete menjadi Karaeng Bonto, Pengangkatan I Manyanderi Daeng Paranreng putra Karaeng Lau menjadi Karaeng Marusu.

Ada pula tercatat Abdul Gani Daeng Manromo putra bangsawan Jawa menjadi Karaeng/Kepala Distrik Tanralili, lalu Abdul Maula Intje Jalaluddin seorang Melayu yang menjadi Karaeng/Kepala Distrik Bontoa dan begitu pulalah yang terjadi di Turikale.

Ketika Mapparessa Daeng Sitaba diberhentikan dari jabatan Kepala Distrik Turikale, diangkat kemudian sebagai Kepala Distrik berikutnya adalah Kamaruddin Sjahban Daeng Mambani, seorang yang secara dzuriat dan nasabnya adalah cucu Karaeng Marusu.

Semua kejadian di atas adalah fakta sejarah yang tdak bisa ditutup-tutupi. Sejarah sudah mencatatnya dan siapapun orang tidak lagi dapat mengubahnya.

Jadi kesimpulan tulisan sederhana ini adalah Jika ingin bicara tentang sebuah masalah. pelajari secara konprehensif agar tidak terjadi yang namanya penggelapan sejarah, fitnah, pengrusakan nama baik yang bisa saja berujung pada kasus HUKUM.

Mari kita lestarikan tapi bukan untuk menumbuhkan kembali gaya feodalisme lama, nilai-nilai bijak bestarinya yang ingin kita petik.

Kakek saya Kamaruddin Daeng Mambani selain seorang Kepala Distrik juga adalah seorang Pejuang dalam memerdekaan bangsa ini. Negara mengganjarnya dengan puluhan tanda jasa pahlawan. Mulai dari Bintang Gerilya, Bintang Perang Kemerdekaan I, II, III dan IV, serta Bintang Bhakti, dan lain-lain.

Hanya nyawanya yang tidak Beliau serahkan pada negara karena Allah mentakdirkan beliau tidak gugur dalam pertempuran. Kalaupun ada pihak di Turikale yang tidak ridha beliau digelari Karaeng Turikale VIII hanya karena beliau tidak lahir dari rumpun Turikale dengan membuat deskripsi bahwa Karaeng dan Kepala Distrik adalah tidak sama, TIDAK MASALAH karena kalaupun saat ini kalian keberatan tetapi di masanya dan sampai wafatnya masyarakat dan 43 Gallarang dalam Wilayah Distrik menyapa dan menyebutnya dengan gelar sapaan Karaeng Turikale. Walaupun tanpa gelaran tersebut beliaupun masih seorang Bangsawan Bugis Makassar yang jelas nasab dan dzuriatnya.

Mambani
Kamaruddin Sjahban Daeng Mambani. (foto: dok. Fachry Makkasau)

Ayahnya Kamaruddin Daeng Mambani adalah Andi Syahban Daeng Massikki bin La Mannaungi Daeng Mananting bin La Pagala Daeng Pabuang Sullewatang Marusu bin Abdul Latifu Daeng Mattana Karaeng Marusu bin La Mamma Daeng Marewa Karaeng Marusu bin Abdul Kadir Daeng Mattinri Lo’mo Marusu bin La Maggumetteng Arung Sinri bin La Patau Matanna Tikka Raja Bone XVI dari istri Putri Maemunah Dala Marusu binti Karaeng Angsakayai Binangayya ri Marusu (Raja Maros)

IBUNDA-nya adalah Andi Lawiyah Daeng Kanang binti La Pacanring Daeng Siala bin La Paduppai Daeng Palawa Sulewatang Timboro bin La Mattuppuang Dg Palallo Sulewatang Timboro bin La Makkasau Arung Palakka bin La Pattokati Arung Ujung Datu Baringeng bin La Temmasonge Raja Bone XXIV bin La Patau Matanna Tikka Raja Bone XVI dari istri We Ummung Datu Citta Arung Larompong binti I Setiaraja Daeng Massuro Sultan Muhyiduddin Raja/Pajung Luwu XVII.

Beliau bukan baco-baco, bukan uwa-uwa. Ibundanya bukan Indo-indo bukan amma-amma. Terlalu kecil kalau hanya Turikale yang menjadi ukurannya. Kalau tidaklah dosa membuka aib maka saya akan tulis nasab anda yang melecehkan beliau supaya masyarakat tahu siapa EMAS siapa TEMBAGA.  Tabe…. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT