BerandaNarasi SejarahSepenggal Kisah Inkuisisi dari Keruntuhan Kekuasaan Islam di Andalusia

Sepenggal Kisah Inkuisisi dari Keruntuhan Kekuasaan Islam di Andalusia

Oleh: Etta Adil dan Dra Nurhudayah

PALONTARAQ.ID – SUATU sore di Tahun 1525 di sebuah Penjara di Spanyol, suasana di situ terasa hening mencengkam. Jendral Adolfo Roberto, komandan penjara yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan.

Setiap sipir penjara membungkukkan badannya serendah mungkin ketika ‘Algojo Penjara’ itu lewat di hadapan mereka. Karena kalau tidak,sepatu ‘Jungle’ milik komandan Roberto itu akan mendarat di wajah mereka. Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar suara seseorang membaca Ayat-ayat Suci Alqur’an yang amat ia benci.

“Hai … hentikan suara jelekmu! Hentikan …!”  teriak Roberto sekeras-kerasnya sembari membelalakkan mata.

Namun apa yang terjadi? Lelaki di kamar tahanan itu tetap saja membaca dengan khusyunya. Roberto berang. Komandan penjara itu menghampiri kamar tahanan yang sempit. Dengan congkak ia meludahi wajah renta sang tahanan yang kering keriput dan sangat kurus. Tak puas sampai disitu, ia lalu menyulut wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala.

Ajaib! Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan. Bibir pucat dan kering kerontang dari sang tahanan nampaknya tetap bersikukuh untuk tidak mempedulikan kata Roberto. Hanya suara lirih yang terdengar, “Robbi, wa-ana ‘abduka …”

Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir. Seorang diantaranya berkata, “Bersabarlah wahai ustadz. Insya Allah tempatmu di Syurga.”

Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustadz oleh sesama tahanan itu, Roberto memuncak amarahnya. Ia perintahkan sipir penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-keras hingga terjerembab di lantai.

“Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa jelekmu itu?! Aku tidak suka apapun yang berhubungan dengan agamamu!”

Sang Ustadz lalu berucap, “Sungguh … aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat kucintai, Allah SWT. Karena kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemui-Nya.

“Maka patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti kemauanmu, tentu aku termasuk Orang-orang yang dzalim”. Baru saja kata-kata itu terhenti, sepatu laras Roberto sudah mendarat di wajahnya.Laki-laki itu terhuyung-huyung, lalu jatuh terkapar di lantai penjara. Wajah tuanya bersimbah darah.

Ketika itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah ‘Buku Kecil’. Adolfo Roberto bermaksud memungutnya. Namun tangan sang Ustadz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat.

“Berikan buku itu, hai Laki-laki tua dungu!”, bentak Roberto. “Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!”, ucap sang ustadz dengan tatapan menghina pada Roberto.

Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu laras berbobot dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustadz yang telah lemah.

Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus.

‘Algojo penjara’ itu merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur. Setelah tangan renta itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya penasaran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh

Mendadak Komandan Penjara itu tersentak kaget. “Ahh … Sepertinya aku pernah mengenal buku ini. Tapi kapan? Ya, aku pernah mengenal buku ini.”

Perlahan Roberto membuka lembaran pertama itu. Jenderal berumur 30 tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan “aneh” dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya lagi di bumi Spanyol.

Akhirnya Roberto duduk di samping sang ustadz yang sedang sakarat melepas nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengisnya diliputi tanda tanya yang dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang pernah dialaminya dimasa kanak-kanaknya.

Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatannya. Komandan Penjara itu teringat ketika suatu sore di masa kanak-kanaknya terjadi kericuhan besar di negeri tempat kelahirannya ini. Sore itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi, lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia.

Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa kaum muslimin yang tak berdosa berjatuhan di bumi Andalusia. Di ujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab) digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi.

Tubuh mereka bergelantungan tertiup angin sore yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara. Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada Tiang-tiang salib, hanya karena tidak mau mengikuti agama para rahib.

Seorang bocah laki-laki mungil tampan, berumur tujuh tahunan, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah syahid semua. Bocah mungil itu mencucurkan airmatanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan.

Perlahan-lahan bocah itu mendekati tubuh sang Ummi (ibu) yang sudah tak bernyawa, sembari menggayuti abaya hitamnya. Sang bocah berkata dengan suara parau, “Ummi.. ummi.. mari kita pulang. Hari sudah malam. Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa .?? Ummi, cepat pulang ke rumah ummi …!”

Bocah kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu harus berbuat apa. Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah. Akhirnya bocah itu berteriak memanggil bapaknya, “Abi … Abi … Abi …”

Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapak ketika teringat kemarin sore bapaknya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.

“Hai … siapa kamu?”- teriak segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati sang bocah.

“Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi.” jawab sang bocah memohon belas kasih.

“Hah … siapa namamu bocah? Coba ulangi!” bentak salah seorang dari mereka

“Saya Ahmad Izzah …” sang bocah kembali menjawab dengan rasa takut.

Tiba-tiba “plak! sebuah tamparan mendarat di pipi sang bocah.

“Hai bocah …! Wajahmu bagus tapi namamu jelek. Aku benci namamu, Sekarang kuganti namamu dengan nama yang bagus.”

“Namamu sekarang Adolfo Roberto. Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang jelek itu. ”

“Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!” ancam laki-laki itu.

Sang bocah meringis ketakutan, sembari tetap meneteskan air mata. Anak laki-laki mungil itu hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar dari lapangan Inkuisisi. Akhirnya bocah tampan itu hidup bersama mereka. Roberto sadar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang ustadz.

Ia mencari-cari sesuatu di pusar Laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah ‘tanda hitam’ ia berteriak histeris, “Abhie… Abhie … Abhie ..!” Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu.

Pikirannya terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik bapaknya, yang dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia juga ingat betul ayahnya mempunyai ‘tanda hitam’ pada bagian pusarnya.

Pemuda beringas itu terus meraung dan memeluk erat tubuh renta nan lemah. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas kekejamannya selama ini. Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun alpa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, “Abhiee … Aku masih ingat: Alif …, Ba …,  Ta…,  Tsa …..” Hanya sebatas kata itu yang masih terekam dalam benaknya.

Sang ustadz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat orang yang tadi menyiksanya habis-habisan kini tengah memeluknya. “Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuh Abhie, tunjukkan aku pada jalan itu …”

Terdengar suara Roberto memelas. Sang ustadz tengah mengatur nafas untuk berkata. Ia lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika sekian puluh tahun kemudian, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, ditempat ini. Sungguh tak masuk akal.

Ini semata-mata bukti kebesaran Allah. Sang Abi dengan susah payah masih bisa berucap, “Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu”.

Setelah selesai berpesan sang ustadz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal kalimat indah, Syahadatain! Husnul khatimah!

Beberapa tahun kemudian.

Ahmad Izzah telah menjadi seorang Ulama besar di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk dakwah Islam sebagai ganti kekafiran di masa mudanya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru dunia berguru kepadanya. Syekh Ahmad Izzah al-Andalusy.

Sang Ulama berpesan kepada seluruh Umat Islam seluruh dunia, “Jangan engkau pilih Pemimpin yang menzhalimi para Ulama dan Jangan kau pilih pemimpin yang suka berdusta.”

Firman Allah SWT: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Qs. 30:30)

Semoga sepenggal kisah ini mengingatkan kaum muslimin pentingnya menegakkan dan memperjuangkan agama Allah agar kedzaliman tidak terjadi dan menjadi bencana di masa yang akan datang. (*)

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT