BerandaBeritaDaerahMengenang Kembali Petta Bombo

Mengenang Kembali Petta Bombo

Berziarah ke Makam Petta Bombo. (foto: dok.pribadi La Oddang Tosessungriu)
Berziarah ke Makam Petta Bombo. (foto: dok.pribadi La Oddang Tosessungriu)

Oleh: La Oddang Tosessungriu

PALONTARAQ.ID – Terpekur khidmat dihadapan pusara puetta, seketika terketuk dinding hikmah di relung hati terdalam.. bahwa sebagaimanapun hebatnya manusia semasa hidupnya, mestilah kembali jua keharibaan Ilahi Sang Penciptanya.

Tatkala jazadnya dikembalikan ke asal muasalnya, maka tiada lain yang menjadi tumpuan harapannya adalah ampunan dan kasih sayang Ilahi berkat amal kebaikan dan do’a anak turunannya.

Dihadapanku adalah persemayaman terakhir seorang pangeran yang semasa hidupnya pada kurun pertengahan abad 19, ditakuti bagai hantu dan sekaligus disanjung bagai dewa sendiri.

Namanya sangat sedikit disinggung dalam Lontaraq, mengisyaratkan bahwa para pallontara’pun sedemikian enggan menuliskan namanya. Bahkan pada kalangan anak turunannya sendiri beliau kerap diketahui dengan gelar angkernya, yaitu: Petta Bombo (Sang Hantu). TabE’ maraja, dE’ upomabusung rampE-rampEi puetta tonasekko’E rumasa.

Terlahir dengan nama kecil La Rumpang pada paruh pertengahan Abad XIX di Pammana. Kemudian menginjak usia remaja, beliau dipanggil dengan nama La Patombongi sebagai pernyataan salut atas nazab darah kebangsawanannya yang terhitung “Bocco” (penuh).

Ayahnya adalah La Tenri Samallangi Arung Baranti yang merangkap Arung Bulu CEnrana sekaligus Arung Tellu Latte’ SidEnrEng. Kemudian ibunya adalah We Tenri Balobo DaEng Niyasi Datu Pammana sekaligus Pilla Wajo.

Ayah dan ibu La Patombongi ini sesungguhnya bersepupu sekali karena I Tungke’ Arung TEmpE (ibu La Tenri Samallangi) bersaudara kandung dengan La Pallawagau’ Arung Maiwa Datu Pammana Pilla Wajo Petta MatinroE ri Pammana (Ayah We Tenri Balobo).

Keduanya adalah putra putri La Paulangi DaEng Mattulu Petta Janggo LampE Ulu Arung Maiwa dari pernikahannya dengan We AbEng Arung TEmpE (Putri La Barasiang Opu Tolebba’E dengan We SEnge’ Arung TEmpE).

Perihal ayahanda La Patombongi yakni La Tenri Samallangi pada jamannya terkenal sebagai raja muda yang beken. Beliau yang bersaudara kandung dengan La Wawo Addatuang Sidenreng memiliki beberapa orang istri dan 4 diantaranya terhitung sebagai “winEpada” (istri sederajat). Keempat ratu yang menjadi istrinya itu adalah:

1. We Tenri Pammekkoreng “I Kerra” Arung/KaraEng AkkotEngeng (Putri La Tenri Tetta’i Datu Kawerrang KaraEng AkkotEngeng dengan We Tenriawaru Arung Gilireng Datu Kawerrang), melahirkan: La Paddengngeng Puenna Palaguna Petta MatinroE ri KEra Arung Matoa Wajo ke-38 (1839 – 1845).

2. We BessE, melahirkan We Tungke’ Petta PajjumbaE.

3. I Halimah Arung Singkang Petta Patola Wajo (Putri La Maddukkelleng DaEng Simpuang Sultan Pasir Arung Singkang/Peneki Petta PamaradEkangngi Wajo Arung Matoa Wajo ke-31 (1736 – 1954) dengan We Caba Cakkuridi Wajo), melahirkan We Tenri Angka Arung Singkang Patola Wajo dan La Gallang KaraEng AkkotEngeng.

4. We Tenri Balobo DaEng Niyasi Datu Pammana/Pilla Wajo Petta MatinroE ri Belawa (puteri La Pallawagau Arung Maiwa Datu Pammana/Pilla Wajo Petta MatinroE ri Pammana dengan We Tenri Abang Datu Watu Petta MatinroE ri PangkajEnE), melahirkan La Patombongi I La Rumpang DaEng Pasolong “Petta Bombo” KaraEng Bonto Tengnga Petta MatinroE ri PaodaEngna.

Mencermati sejarah masing-masing tokoh diatas maka didapatilah rangkaian sejarah yang penuh dengan pertentangan diantara mereka kemudian berakhir dengan damai yang ditandai perjodohan kawin mawin pada keturunannya.

Bermula ketika La Toappo Arung Berru Addatuang Sidenreng (Ayah La Tenri Samallangi dan La Wawo) mengirim utusan ke Kerajaan Luwu untuk mempersunting We Tenri Abang Datu Watu, puteri TopapoataE We Tenri LElEang Sultana Ai’syah Yahyidin KaraEng TanEtE Datu/Pajung Luwu ke-24/26 dengan La Mappasiling Arung Pattojo Petta MatinroE ri Duninna.

Namun kedatangan utusan Sidenreng tersebut bersamaan dengan tibanya pula utusan Pammana yang bermaksud melamar putri yang sama untuk dinikahkan dengan La Pallawagau’ Arung Maiwa Datu Pammana.

Maka bingunglah para Dewan Adat 12 dan Dewan Adat 9 Kedatuan Luwu, entah yang mana diterima lamarannya diantara keduanya?

Maka Opu Patunru’ Luwu bersama Opu AnrEguru Anakkarung menghadap ke Pajung Luwu We Tenri LElEang. Hingga keluarlah statemen terkenal dari mulut PajungngE, yaitu: “Namauni mallipa’ karoro, narEkko To Pammana, tangke’i maElE” (Meskipun mengenakan sarung terpal, jikalau ia orang Pammana, maka terimalah lamarannya segera).

Maka dinikahkanlah We Tenri Abang Datu Watu dengan La Pallawagau’ Datu Pammana, meskipun diberitakan pada uraian Lontaraq Akkarungeng Luwu bahwa Datu Pammana membayar “Pangelli darah” (Denda pernikahan).  Hal yang disebabkan karena anggapan bahwa Kerajaan Luwu lebih tua dari Kerajaan Pammana.

Pernikahan La Pallawagau’ Datu Pammana ke- 8 dengan We Tenriabang Datu Watu melahirkan putra-putri, antara lain :

– We Tenri Balobo DaEng Niyasi Datu Pammana ke-9 Petta MatinroE ri Belawa (ibu La Patombongi);

– We Sompa DaEng Risunra Datu Pammana ke -10;

– La Tenri Dolong To Lebba’E Datu Pammana ke – 11;

– We Mappanyiwi Addi EppE’ DaEng TakE’na Datu Pammana ke-12.

Penyatuan kembali Luwu dan Pammana ini sesungguhnya membahagiakan sekaligus tidak mengenakkan bagi pribadi La Pallawa Gau’ Datu Pammana sendiri.

Hal yang disebabkan atas penolakan Orang-orang Luwu atas La Toappo Addatuang Sidenreng yang sesungguhnya adalah kerabat dekatnya pula. Ditinjau dari kadar darah kebangsawanan antar keduanya, sesungguhnya seimbang.

La Toappo adalah pangeran berdarah murni, yakni putra To AggammettE Arung Ajjaling Petta Ponggawa BonE MatinroE ri Larompong dengan We Sitti Rukiah KaraEng KanjEnnE Addatuang Sidenreng.

Namun disebabkan karena hubungan khas antara Luwu dengan Pammana yang sebelumnya bernama Cina itu menjadikannya lebih diutamakan dimata Luwu.

Maka beliau mengatur dengan amat rapi suatu perjodohan antar adik kandungnya yang bernama We Tungke’ Arung TEmpE untuk dipersunting La Toappo.

Maka perjodohan itu berhasil diselenggarakan dalam suatu pernikahan, hingga melahirkan La Wawo Addatuang Sidenreng, La Tenri Samallangi Arung Baranti (ayah La Patombongi) dan lainnya.

Hubungan erat antara La Toappo Addatuang Sidenreng dengan kakak iparnya, yakni La Pallawagau Datu Pammana berlangsung sangat baik. Hingga hubungan itu teruji ketika meletusnya perang Wajo melawan VoC yang dibantu Bone, Luwu, Soppeng dan Sidenreng.

La Toappo selaku putera Petta Ponggawa Bone terpaksa harus melibatkan kerajaannya untuk ikut mengepung Kerajaan Wajo yang dipimpin oleh La Maddukelleng DaEng Simpuang Arung Matoa Wajo ke-31 yang diperkuat oleh pasukan Kutai dan kedua panglima Wajo yang perkasa, yaitu: Pilla Wajo La Pallawagau Datu Pammana dan La Banna’ Toassa’.

La Toappo Addatuang Sidenreng diperhadapkan pada dilema antara keberpihakan pada ayahnya untuk berperang melawan pihak kakak ipar yang amat dihormatinya itu.

Peperangan besar yang melibatkan banyak kerajaan di Sulawesi Selatan itu pada akhirnya dimenangkan oleh Kerajaan Wajo, meskipun dengan korban nyawa ribuan laskar termasuk Sultan Kutai.

VOC beserta sekutunya berhasil dipukul mundur dengan meninggalkan ribuan korban nyawa. Termasuk pula La Toappo Addatuang Sidenreng harus menelan kepahitan dengan menarik mundur sisa-sisa pasukannya kembali ke Sidenreng.

Selanjutnya La Maddukkelleng Arung Matoa Wajo segera mengadakan konsolidasi pasukan untuk segera melancarkan serangan hukuman ke kerajaan-kerajaan yang telah mengepungnya sekian lama.

Penyerbuan pertama dipimpin oleh Panglima La Banna Toassa’ dilancarkan ke kerajaan Soppeng yang dianggap terdekat dari Wajo. Serangan itu berhasil meluluh-lantakkan kerajaan Soppeng pada hari pertama dan Datu Soppeng terpaksa menjalani ritual “mabbueng tappi” (menyerahkan keris) yang diterima oleh Panglima La Banna’.

Selanjutnya serangan balasan diarahkan ke Kerajaan Soppeng. Hal mana kemudian ditentang oleh Panglima La Pallawa Gau’ Datu Pammana dengan alasan “cau’ni To Wajo’E mammusu puppu taung, Arung Matoa !” (Rakyat Wajo telah lelah berperang sekian tahun, Sribaginda!)

Bahwa jauh lebih baik jika kini membangun kesejahteraan rakyat Wajo yang telah dilanda peperangan selama bertahun-tahun daripada menuruti nafsu berperang meskipun dengan alasan balas dendam.

Sanggahan ini mengakibatkan kemurkaan Arung Matoa Wajo La Maddukelleng sehingga sempat terjadi kontak senjata antar kedua belah pihak, yakni pendukung Pilla Wajo dan loyalis Arung Matoa.

Tentu saja Arung Matoa yang cerdas itu dapat pula memahami alasan sesungguhnya dari panglima andalannya itu, yakni solidaritas pessE. Hingga kemudian Arung Matoa Wajo mengalah dengan penuh rasa kecewa.

Sri Baginda yang jagoan perang itu meninggalkan Ibukota Tosora menuju Peneki. Pilla Wajo La Pallawagau’ Datu Pammana berhasil membela saudara iparnya di Sidenreng dengan berbagai upaya, yakni diplomasi dan kontak senjata.

Alur sejarah terus menggurat menuliskan dirinya pada permukaan lembaran kehidupan. Ketegangan politik antara Arung Matoa Wajo La Maddukelleng dan Pilla Wajo La Pallawagau’ akhirnya dapat dicairkan dengan islah.

Bahkan Pilla Wajo berininsiatif melamar puteri Arung Matoa Wajo La Maddukelleng yang bernama I Halijah untuk dipersunting kemenakan sekaligus menantunya, yaitu La Tenri Samallangi Arung Baranti’.

Maka pernikahan itu dilangsungkan dengan perayaan besar, menandai perdamaian antara Arung Matoa Wajo La Maddukelleng dan La Toappo Addatuang Sidenreng yang kini terikat hubungan besan.

Hal yang sesungguhnya sangat fenomenal menurut hubungan sosial pada masa kini, bahwa bagaimana mungkin seorang ayah tega mencarikan madu bagi puterinya?

Namun pada masa itu penulis menganggap jika hal tersebut adalah sesuatu yang wajar dalam kalangan keluarga bangsawan yang bertahta dipuncak hierarkinya.

Meskipun kelanjutannya pastilah berakibat fatal bagi perkembangan kepribadian La Patombongi yang merupakan putera La Tenri Samallangi dan We Tenri Balobo.

Ayahnya menikah lagi atas pengaturan kakeknya sendiri sebagai tebusan perdamaian bagi Arung Matoa, Pammana dan Sidenreng. Hingga kemudian penulis menerka bahwa setelah pernikahan La Tenri Samallangi dengan I Halimah Patola Wajo yang melahirkan 2 anak (I Tenri Angka dan La Gallang), hubungan perkawinan sebelumnya dengan We Tenri Balobo akhirnya retak dengan sendirinya.

We Tenri Balobo yang sesungguhnya adalah cucu langsung trah Pajung Luwu sekaligus pewaris Datu Pammana pastilah mempertahankan prestisenya dengan merasa tidak pantas untuk dimadu, meskipun itu atas kemauan ayahnya sendiri.

Maka tinggallah La Patombongi yang merupakan putra tunggal itu menerima nasib sebagai anak broken home, dirawat oleh ibunya yang janda muda.

Hingga pada suatu hari, Puetta La Pallawagau’ Arung Maiwa Datu Pammana Pilla Wajo wafat di Lagosi dan dimakamkan di jera’E Pammana. Olehnya itu Sri Baginda digelar Petta MatinroE ri Pammana.

Selanjutnya We Tenri Balobo DaEng Niyasi selaku puteri sulung dinobatkan sebagai Datu Pammana ke-9, menggantikan almarhum ayahandanya.

Selang beberapa lama setelah duduk di takhta Pammana, Sang Ratu dilamar oleh Puetta La Pasampoi Petta Ugi Arung Belawa yang juga Petta Palireng di Soppeng.

Beliau adalah putra La Mappulana Petta Ugi Cakkuridi Wajo dengan Datu Kawerrang. Dari pernikahan itu, lahirlah putra putri, yaitu : La Tamang Petta Palla’E, Petta Boso’E dan BessE Canru’.

Maka jadilah La Patombongi tumbuh menjalani masa kanak-kanaknya menuju masa remaja dengan diapit saudara-saudara tiri dari pihak ayah dan ibunya.

Namun yang paling dekat baginya adalah We Tungke’ Petta PajjumbaE, adik seayahnya yang terlahir dari seorang bangsawan bocco bernama Datu BessE’.

Setelah menginjak usia perkawinan, sebagaimana halnya pangeran kasta tertinggi, La Patombongi dijodohkan dengan sepupu sekalinya yang dinilai setara dengan kemurnian darahnya.

Beliau dinikahkan dengan sepupu sekalinya, yaitu : We Renringtana KaraEng Balla’sugi (We Tenritana) yang biasa juga disebut sebagai KaraEng Balla’ Bugisi.

Putri ini adalah anak dari La Wawo Addatuang Sidenreng dengan I BubE KaraEng PambinEang (puteri I Makkasummang Sultan Syafiuddin KaraEng Tallo dengan KaraEng Mangara’bombang) yang bersaudara kandung Muhammad Arsyad Petta CambangngE Arung Malolo MatinroE ri Salo Maiwa.

Pada pernikahan ini, La Patombongi diberi gelar DaEng Pasolong sebagai padanan dari namanya, yaitu Natombongi bocco, nasolongi matase’E (menambah sekalian yang berdarah murni, menjadi pencampur bagi sekalian yang berdarah masak).

Suatu gelar yang kemudian mengundang bencana bagi banyak orang tak berdosa dikemudian hari. Pernikahan agung itu melahirkan putra putri, antara lain: La Sulungkau’ DaEng Pagala Petta Pallampa’E KaraEng Bonto Tengnga MatinroE ri Passiringna, La Mattone’ dan We RompEgading KaraEng Balla’ Tinggi.

Pernikahan ibunda La Patombongi (Datu Pammana) dengan Petta Ugi Arung Belawa menjadikan beliau lebih sering bermukim di Kerajaan Belawa.

Mengingat kerajaan kecil ini merupakan wilayah Wajo Barat yang berbatasan dengan Sidenreng, maka La Patombongi memilih menetap di Belawa pula.

Sebagai pangeran yang meskipun adalah anak tiri Arung Belawa, beliau dijadikan penguasa pada suatu wilayah Kerajaan Belawa yang terletak ditengah-tengah bernama: Tana Tengnga (sekarang bernama TippuluE).

Selanjutnya La Patombongi disebut sebagai Datu Tana Tengngana Belawa. Namun disebabkan istrinya yang berdarah Makassar bergelar KaraEng Balla’ Sugi, maka pengikut isterinya menyebutnya sebagai KaraEng Bonto Tengnga.

Hingga pada suatu ketika, ibundanya yakni We Tenri Balobo Datu Pammana ke-9 wafat dan dimakamkan di kompleks pemakaman Raja-Raja Belawa yang terletak di Tana Tengnga dengan gelar terakhir: Petta MatinroE ri Belawa.

Adapun halnya dengan La Tenri Samallangi Arung Baranti’ Arungtoi ri Bulu Cenrana yang pada saat-saat akhirnya dinobatkan pula sebagai Arung Tellu Latte’ Sidenreng, jauh waktu sebelumnya telah wafat di Bulu Cenrana dengan gelar Petta MatinroE ri Toddang WaruE.

Sepeninggal ibundanya, dinobatkanlah bibinya bernama We Sompa DaEng Risunra menjadi Datu Pammana ke-10. Kemudian wafat pulalah ayah tirinya, yaitu La Pasampoi Arung Belawa.

Selanjutnya digantikan oleh We Busa Arung Belawa Petta WaluE (istri La Tompiwanua Paddanreng Bettempola ke-19 Petta MatinroE ri Wajo), putrinya dari istri sebelumnya yang bernama We Sikati I KambeccE’ Arung Palippu Patola Wajo.

Maka tinggallah La Patombongi dengan rasa kecil hatinya menjadi raja kecil di suatu wilayah Kerajaan Belawa tanpa mewarisi suatu jabatan apapun dari ayah bundanya.

Maka dipikirnyalah jika gelar “DaEng Pasolong” adalah konspirasi belaka untuk menyanjungnya terlalu tinggi namun tanpa kekuasaan apa-apa. Maka marahlah ia jika ada yang menggunakan kata kerja “massolong” (mencampur air) dan dinyatakannya sebagai pantangan.

La Patombongi berubah menjadi pemberang dan bengis akibat kekecewaannya hingga melampiaskannya pada banyak orang. Beliau memasang jaringan mata-mata pada wilayah kekuasaannya seraya menangkap dan menghadapkan langsung kepadanya agar dapat menghukum sendiri pelanggarnya.

Hingga banyaklah masyarakat yang meregang nyawa akibat tusukan tombak kecilnya yang terkenal bernama : La Patellongi.

Akibat larangan itu, maka hingga kini kata kerja “massolong” dikalangan masyarakat Belawa diubah menjadi “massolEng”. Kebengisan La Patombongi semakin menjadi-jadi bahkan dilakukannya diluar wilayah Belawa sendiri.

Suatu ketika di Kerajaan Watu (Soppeng) yang merupakan wilayah kekuasaan neneknya, beliaupun membunuh beberapa orang disebabkan hal sepele itu. Tak satupun raja kerabatnya yang berani menasehati, terlebih menegurnya.

Maka sejak itulah Orang Soppeng menggelarinya Petta Bombo (Sang Pangeran Hantu). Hingga hidayah dan inayah Allah SWT tercurah jua atasnya melalui nasehat dan kasih sayang saudari yang amat didengarnya, yaitu: We Tungke Petta PajjumbaE.

Sang Putri yang terkenal shalihah dan tekun menuntut Tharekat Khalwatiyah itu datang sendiri ke Tana Tengnga untuk menenangkan kakaknya.

Petta Bombo ditenteramkan dengan alunan Ayat-ayat suci Al Qur’an serta wasiat dan risalah Rasullah Shollallahu Alaihi Wasallam. Hingga pada akhirnya Sang Pangeran Hantu hari demi hari menjadi tentram dalam ridha taubatan nasuha.

Pada tahun 1839, saudara seayah La Patombongi yang bernama La Paddengngeng Puanna Palaguna dinobatkan menjadi Arung Matoa Wajo ke- 39, mengisi jabatan yang ditinggal Puatta La Manang Arung Matoa Wajo yang lowong selama 14 tahun.

Pada masa kekosongan itulah banyak wilayah kerajaan bawahan (Lili) Kerajaan Wajo yang melepaskan diri ataupun menggabung dengan kerajaan besar lainnya. Diantaranya adalah Pompanua yang pindah pertuanan ke Kerajaan Bone.

Maka tugas Arung Matoa Wajo La Paddengngeng untuk memulihkan kebesaran Tana Wajo sungguh maha berat. Langkah pertama yang ditempuhnya adalah merebut kembali Pompanua dari kekuasaan Kerajaan Bone.

Berbagai usaha ditempuhnya untuk membujuk Petta TowaraniE Arung Pompanua agar kembali mengintegrasikan diri kembali ke Tana Wajo gagal. Maka kerajaan kecil yang terletak disebelah tenggara batas wilayah Wajo itu diperangi.

Namun pasukan Wajo selalu terpukul mundur disebabkan kuatnya pertahanan yang didukung langsung angkatan perang Tana Bone itu.

Diperhadapkan dengan kondisi sulit yang dapat memperburuk citra kewibawaannya selaku penguasa baru itu, Arung Matoa La Paddengngeng seketika teringat pada saudaranya di Belawa, yaitu La Patombongi Petta Bombo.

Maka dikirimnyalah utusan ke Tana Tengnga seraya menyampaikan surat Arung Matoa. Puetta La Paddengngeng menyampaikan dalam suratnya bahwa ini bukanlah perintah Arung Matoa Wajo untuk membantu penyerbuan ke Pompanua, melainkan permintaan bantuan seorang saudara yang hendak dipulihkan kehormatannya.

Maka dengan takzim dan penuh keyakinan, La Patombongi menyanggupinya dengan satu syarat, yaitu : hanya pasukan KaraEng Bonto Tangnga sendiri yang melakukan penyerbuan tanpa dicampuri pasukan Wajo.

Bersegeralah La Patombongi mengumpulkan orang Bonto Tangnga untuk direkrutnya sebagai pasukan penyerbu yang menunggang kuda. Namun dari ratusan yang dikumpulkannya, hanya 40 orang yang lulus ujian, termasuk kedua putranya yakni La Sulungkau’ dan La Mattone’.

Ujian yang diberlakukannya sesungguhnya sederhana. Para rekruitmen itu disuruh berbaris dihadapannya, lalu ditiliklah mereka melalui celah (tellongeng) pada batang tombak pusakanya yang bernama La Patellongi itu.

Jikalau tidak nampak kepala orang yang ditiliknya lewat celah retakan pada tombak itu, maka dilarangnya untuk ikut dalam pasukannya, meskipun orang itu terkenal berani dan kebal.

“Aja’ bawangna mulao. mbo’. DE’ mulEsu narEkko laoko..”

Artinya: “Tidak usahlah engkau berangkat, kau takkan pulang jikalau iku….” -demikian ujar beliau.

Pada suatu hari yang dipilihnya, La Patombongi bertolak bersama pasukan kecilnya menuju Pompanua.  Maka dalam penyerbuan yang dinilai sebagai strategi bunuh diri itu, justru hasilnya sangat mengejutkan.

Pada hari pertama, Petta Bombo’ berhasil menombak Petta TowaraniE dalam duel berkuda.  Arung Pompanua yang gagah perkasa dan teguh pendirian itu gugur seketika.

Selanjutnya ke 41 pasukan Tana Tengnga berhasil merebut cappa bendErana Pompanua sebagai klaim kemenangan untuk Tana Wajo.

La Patombongi DaEng Pasolong Petta Bombo’ wafat dan dimakamkan menurut wasiatnya didekat sebatang pohon mangga kesayangannya yang disebutnya sebagai “Pao DaEng”.

Olehnya itu beliau mendapatkan gelar anumerta sebagai “Petta MatinroE ri PaodaEngna”. Kemudian saudarinya yang amat disayang dan menyayanginya yakni We Tungke’ Petta PajjumbaE ketika menjelang wafatnya meminta pula untuk dimakamkan disamping kakaknya itu.

Maka sekitar 8 meter disebelah timur pusara Petta Bombo, tergeletak pulalah pusara saudari terkasih yang semoga amal ibadah sholehahnya senantiasa tercurah atas diri dan segenap keturunannya.

La Patombongi DaEng Pasolong Petta Bombo KaraEng Bonto Tengnga sesungguhnya memiliki beberapa orang istri. Namun yang tercatat pada Panguriseng Belawa hanyalah We Renringtana KaraEng Balla’ Sugi.

Dari sang Ratu penguasa Tallo’ itulah beliau mendapatkan dua putra bernama La Sulungkau’ dan La Mattone’ serta seorang putri bernama We Rompegading.

Putera sulungnya yakni La Sulungkau’ DaEng Pagala KaraEng Bonto Tengnga MatinroE ri Passiringna dinikahkan dengan We Tiwajo Arung Barukku’, melahirkan Muhammad Arsyad DaEng Malebbi Petta Pabbicara Toa Belawa (eks Hadat 40 Kerajaan Wajo).

Muhammad Arsyad DaEng Malebbi dinikahkan dengan We Sitti Jamilah (Putri La Makkulawu Arumpugi dengan We Tenri Ampareng), melahirkan Abdul Wahid DaEng Mamiru Petta Passongko’E Pabbicara Belawa.

Abdul Wahid DaEng Mamiru menikah dengan We Patinrosi DaEng Sagala (Putri La Muhammad Tang DaEng Paliweng Petta Pangulu Barisi’na Belawa dengan I Tuo ana’na Sulewatang Laomapadang), melahirkan La Panguriseng (Andi Mori).

Adapun halnya dengan putri tunggal La Patombongi, yakni  We Rompegading KaraEng Balla’ Tinggi (biasa juga dituliskan sebagai KaraEng Balla’ Lompo) dinikahkan dengan sepupu sekalinya bernama La MallojEngi KaraEng Katangka Pilla Wajo (Putra La Pasanrangi Muhammad Arsyad Petta CambangngE Arung Malolo Sidenreng MatinroE ri Salo Maiwa dengan We Nomba Petta Mabbola SadaE Datu Pammana), melahirkan La Cabamba yang bernama I Mappababbasa alias La Tenri SEmpe’ Pilla Wajo Datu Pammana ke-16.

La Cabamba menikah dengan sepupu sekalinya bernama We Campuranga KaraEng PambinEang (Putri La Panguriseng Addatuang Sidenreng dengan We Bangki’ Arung Rappeng), melahirkan La Mappanyompa Petta MaddanrengngE Pammana (Datu KapE) dan La Makkulawu Datu Pammana ke-17.

La Mappanyompa (Datu KapE) menikah dengan We Batari Arung Gilireng (puteri La OddangpEro Arung Larompong Petta Arung Matoa Wajo ke-44 dengan We Nomba Arung Gilireng Cakkuridi Wajo), melahirkan We Tenri Ampareng Datu Pammana ke-18 (Datu Sengngeng) dan La Pallawarukka Arung Gilireng Datu Pammana ke-19 Pilla Wajo.

Sejarah adalah ladang hikmah. Semoga segenap turunan La Patombongi dapat menuai hikmah baik sejarah demi untuk senantiasa meninggikan harkat dan martabat kemanusiaan.

Amin Yaa Robbal Alamin.

Wallahu ‘alam Bish-shawab. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT