BerandaNarasi SejarahTradisi Lisan: Berlomba dengan Kematian (1)

Tradisi Lisan: Berlomba dengan Kematian (1)

Daeng Hasa, penutur lisan tentang Perkembangan Mandoling sebagai alat musik tradisi dan ragam cerita yang mewarnainya (foto: mfaridwm)
Daeng Hasa, penutur lisan tentang Perkembangan Mandoling sebagai alat musik tradisi dan ragam cerita yang mewarnainya (foto: mfaridwm/palontaraq)

Oleh:  M. Farid W Makkulau

PALONTARAQ.ID – Tradisi lisan (Oral Tradition) adalah cerita rakyat atau cerita tentang tradisi/adat yang diungkapkan melalui lisan dan dikembangkan secara turun temurun, namun si pelisan tidak menyaksikan atau bukan pelaku peristiwa. Berbeda dengan sejarah lisan dimana si penutur terlibat atau saksi dari peristiwa yang terjadi.

Tradisi lisan merujuk kepada segala bentuk warisan dan tradisi yang lahir dari suatu kelompok masyarakat. Ia merupakan satu cara masyarakat menyampaikan sejarah lisan, kesusasteraan, perundangan dan pengetahuan lain menyeberangi generasi tanpa sistem tulisan.

Dari segi umum, tradisi lisan merujuk kepada penyampaian bahan budaya lewat sebutan lisan, dan telah lama dikatakan sebagai gambaran cerita rakyat (kriteria yang tidak lagi dipegang erat pencerita rakyat).

Sebagai kajian akademik, tradisi lisan merujuk kepada kaedah saintifik dan objek yang dikajinya. Kajian tradisi lisan berbeda dengan bidang akademik sejarah lisan yang merupakan rekaman ingatan pribadi dan sejarah oleh mereka yang mengalami era sejarah atau kejadian tertentu.

Tradisi lisan juga berbeda dengan kajian kelisanan (orality) yang boleh ditakrifkan sebagai pemikiran dan gambaran lisan dalam masyarakat dimana teknologi kesusasteraan (terutama tulisan dan cetakan) tidak atau belum meluas dikalangan masyarakat.

Umumnya dongeng atau cerita rakyat seringkali berisi tentang nilai-nilai pendidikan, pesan moral, norma bermasyarakat, atau pesan dibalik seni tradisi dan pantangannya yang harus dipatuhi bersama.

Cara penyampaiannya memang sederhana agar mudah dicerna dan menarik pendengarnya. Tradisi lisan yang bisa diakui dengan tingkat kepercayaan meyakinkankan kalau pada cerita yang sama, dituturkan oleh banyak orang dan mendapatkan konfirmasi satu sama lain.

Puang Upe (alm), dulunya sebagai Puang Lolo Bissu, adalah penutur tentang sejarah kedatangan Bissu dan Budaya Bissu di Pangkep. (foto: disbudpar/mfaridwm)
Puang Upe (alm), dulunya sebagai Puang Lolo Bissu, adalah penutur tentang sejarah kedatangan Bissu dan Budaya Bissu di Pangkep. (foto: disbudpar/mfaridwm)

Hal yang mengemuka dan tidak pernah terlupakan dari para penutur, misalnya tentang Sejarah Kerajaan Siang di Pangkep. Dalam penelitian penulis, para penutur tentang Sejarah Siang selalu mengaitkan hubungan penutur atau moyang penutur dengan ‘sejarah’ yang dituturkannya.

Si Penutur selalu menganggap bahwa dirinya, bapaknya, moyangnya punya hubungan kesejarahan Siang yang dituturkannya. Sebuah kumpulan tradisi tutur hanya akan bermanfaat jika kemudian mendapatkan konfirmasi penelitian sejarah dan arkeologi. Jika tidak, tradisi tutur boleh jadi tinggal tutur.

Para penutur ini kadang tidak lagi sempurna menceritakan cerita yang diterimanya, hal ini tentu saja wajar mengingat cerita tersebut sudah menggenerasi, ada yang ditambahkan dan ada yang dikurangi, terkadang malahan lebih banyak tambahannya dari cerita yang diterimanya.

Kelemahan tradisi lisan adalah karena kita memang tidak bisa banyak menuntut keabsahan atau kebenaran cerita tersebut. Jika ada sesuatu yang kita anggap aneh, tidak benar atau unik, si penutur bisa saja menjawab, “begitulah yang saya pernah dengar dari nenek saya”.

Mahyudin Almudra dari Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM), mengungkapkan bahwa justru dalam tradisi lisan, cerita rakyat khayalan manusia memperoleh kebebasan yang mutlak, karena di situ ditemukan hal-hal yang tidak masuk akal, yang tidak mungkin ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contohnya, cerita tentang gaukeng, tomanurung dan possi butta.

Idris, penutur lisan tentang sejarah kampungnya di Buknea dan cerita awal tentang diperkenalkannya Mandoling di Bulu Tellue. (foto: mfaridwm)
Idris, penutur lisan tentang sejarah kampungnya di Buknea dan cerita awal tentang diperkenalkannya Mandoling di Bulu Tellue. (foto: mfaridwm)

Pada kasus-kasus tertentu, si penutur banyak dipengaruhi oleh kepercayaan atau kearifan tradisional di lingkungannya. Masalahnya yang kita temui sekarang adalah semakin berkurangnya penutur tentang cerita rakyat atau dongeng yang berhubungan dengan budaya lokal, pengembangan kearifan tradisional serta cerita yang sedikit bisa mengungkap tentang keunikan sejarah lokal ataupun latar belakang munculnya suatu kesenian tradisional.

Umumnya si penutur saat ini sudah sangat tua, tidak tersentuh oleh peneliti dan tidak cakap berbahasa indonesia. Hal ini merupakan kesulitan tersendiri bagi peneliti yang dibesarkan dalam lingkungan akademik.

Suatu contoh kecil, ketika banyak jurnalis dan peneliti begitu bersemangat mewawancarai Puang Matoa Saidi (Pemimpin tertinggi komunitas Bissu di Pangkep) semasa hidupnya, tentang kearifan tradisional yang dipegang, dijaga dan ditaatinya, kebanyakan diantaranya bingung dan tidak tahu harus menulis apa.

Fakta kelangkaan sumber sejarah, penutur cerita rakyat ini mengharuskan diantara kita, khususnya bagi mereka yang bergelut dalam pengumpulan naskah tradisi lisan harus lebih gesit lagi mengungkap banyak cerita rakyat, dongeng, atau cerita dibalik tradisi yang ada.

Kini, Berburu tradisi lisan di berbagai pelosok desa dan pedalaman bagaikan berlomba dengan kematian. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT