BerandaEdukasiSyahrir, Guru yang Tak Pernah Lelah Naik Turun Gunung

Syahrir, Guru yang Tak Pernah Lelah Naik Turun Gunung

Pak Guru Syahrir (foto: dok.pribadi)
Pak Guru Syahrir (foto: dok.pribadi)

Laporan:  Etta Adil

SULAWESI SELATAN – Mengajar di daerah terpencil, tanpa akses listrik dan jalan boleh jadi adalah pilihan. Boleh dijalani namun boleh juga tidak dijalani.

Bagi seorang Syahrir, mengajar di daerah terpencil adalah takdir yang harus dijalaninya meski ia harus berjalan kaki naik turun gunung selama 4-5 jam. Mengajar adalah keharusan baginya, karena sudah menjadi tugasnya sebagai seorang guru, tanpa peduli seberat apapun medan yang harus dilaluinya.

Bagi Syahrir, suatu kesyukuran dapat kembali mengabdi di sekolah yang pernah menggemblengnya semasa masih bersekolah di SDN 44 Kampung Bakka, Kelurahan Bontoa – Kabupaten Pangkep, sekolah yang juga menjadi tempatnya mengajar saat ini sebagai guru Pendidikan Agama Islam.

Bersama Guru Syahrir (baju kaus hitam) dalam perjalanan menuju Kampung Bakka. (foto by:ahmad ardian)
Bersama Guru Syahrir (baju kaus hitam) dalam perjalanan menuju Kampung Bakka. (foto by:ahmad ardian)

Sebagai seorang mantan aktivis semasa masih kuliah di Sekolah Tinggi Agama Islam Darud Dakwah wal Irsyad (STAI DDI) Pangkep, pemuda kelahiran Ujungpandang 23 Juni 1984 ini sebenarnya punya potensi menikmati kenyamanan bekerja di ibukota kecamatan dengan segala fasilitas dan gaji yang mapan.

Semua kenyamanan mengajar di kota itu ditampiknya dan malahan sangat menikmati keluar masuk hutan, naik turun gunung, menyusuri jalan sunyi dan menakutkan menuju Kampung Bakka demi menunaikan tugasnya sebagai seorang guru sejak terangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) lima tahun silam. Baginya, Bakka sudah menjadi takdir hidupnya.

Pak Guru Syahrir (foto: dok.pribadi)
Pak Guru Syahrir (foto: dok.pribadi)

Sosok Syahrir bukanlah sosok guru biasa. Ia adalah sosok guru kuat dan tangguh. Tanpa mengeluh, setiap hari ia harus berangkat menuju Kampung Bakka seusai menunaikan shalat subuh. Sekitar pukul 04.30 WITA biasanya ia sudah meninggalkan rumah kediaman orangtuanya di Kelurahan Bontoa Kecamatan Minasatene menuju Kampung Bakka.

Ada dua alternatif untuk sampai di Bakka, lewat jalur Kampung Siloro, Kecamatan Bungoro atau lewat Bulu Tellue Kecamatan Tondong Tallasa.Kedua jalur ini ditempuh dengan berjalan kaki, naik gunung sejauh 3-4 km dan turun gunung sejauh 5-7 km, melewati perkampungan penduduk, hutan, jalan bebatuan terjal, sungai kecil serta kawasan persawahan.

Kampung Bakka sendiri adalah sebuah lembah yang dikelilingi pegunungan batu kapur dan hanya berpenduduk 52 KK.

 Penulis bersama Guru Syahrir dalam perjalanan ke Bakka (foto:ahmad ardian)

Penulis bersama Guru Syahrir dalam perjalanan ke Bakka (foto:ahmad ardian)

Diceritakannya, seringkali dalam perjalanan menuju Kampung Bakka itu, dalam hutan ia bertemu sosok-sosok aneh yang membuat bulu kuduknya merinding.

Perjalanan ke Bakka bukanlah jalan-jalan biasa, ia bukan hanya harus melawan dingin karena hutan yang diterobosnya masih berselimut kabut dan embun, tetapi ia juga harus melawan ketakutannya sendiri.

Seringkali ia menemukan dirinya diadang binatang seperti anjing besar dan ular piton. Namun, ia tak jera dan tak pula sekalipun dirinya meminta kepada pihak Dinas Pendidikan setempat untuk dipindahkan mengajar.

Bakka adalah panggilan jiwanya dan di kampung terpencil ini pula ia menemukan pendamping hidupnya, Sulasrika, gadis Bakka yang telah memberinya anak, dinamainya Abraham, seperti nama tokoh pejuang anti korupsi yang diidolakannya.

Pak Guru Syahrir saat membawa anaknya, Abraham, pertamakalinya ke Bakka. (foto by:mfaridwm)
Pak Guru Syahrir saat membawa anaknya, Abraham, pertamakalinya ke Bakka. (foto by:mfaridwm)

Tak seorangpun yang dapat menyangkal ketangguhan Syahrir menaklukkan Bakka, padahal alumni SMP Negeri 1 Bungoro dan SMK Muhammadiyah Bungoro ini tak pernah sekalipun tercatat sebagai pegiat pendaki gunung.

Saat penulis bersamanya ke Bakka, tak sekalipun terdengar ia ngos-ngosan atau mengeluh capek, malahan menurut ceritanya, pernah beberapa kali ia dalam sehari dua kali bolak balik jalan kaki dari Bontoa ke Bakka saat ayahnya sakit keras. Butuh waktu 4 jam jalan kaki untuk sampai di Bakka dan itulah yang kemudian membuatnya diakui sebagai guru tangguh dengan segudang aktifitas.

Selain mengajar, Syahrir juga terbilang aktif sebagai pengurus masjid Nurul Huda Bontoa, pelaksana program bantuan Corporate Social Responsibility (CSR) PT.Semen Tonasa serta Anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Kecamatan Minasatene untuk Pemilu Legislatif 2014 di Kabupaten Pangkep.

Pak Guru Syahrir bersama murid-muridnya. (foto:dok.pribadi)
Pak Guru Syahrir bersama murid-muridnya. (foto:dok.pribadi)

Bagi Syahrir, pendidikan adalah pintu yang harus dilewati untuk mencapai kebahagiaan. Karena itu, yang terpenting baginya, pendidikan haruslah dinikmati oleh semua orang, oleh semua anak dan masyarakat. Tidak boleh hanya dengan alasan keterpencilan wilayah, lantas masyarakat itu dinafikan untuk diperhatikan pendidikannya.

“Mereka yang berada di wilayah pegunungan terpencil juga berhak merasakan kemerdekaan, dan kemerdekaan itu salah satunya adalah pendidikan yang memerdekakan”, ujar guru yang selama lima tahun bertugas mengajar di Kampung Bakka Kelurahan Bontoa ini baru satu kali mendapat tunjangan daerah terpencil.

Disaat banyak guru begitu mudah mendapatkan gaji sertifikasi, Syahrir berjuang sendiri menyeret langkah dalam hutan naik turun gunung demi kebahagiaan 49 murid yang menantinya di Kampung Bakka, kampung terpencil yang ditujunya tanpa peduli akan sertifikasi. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT