Laporan: Etta Adil
SULAWESI SELATAN – Sosok satu ini bukanlah potret guru yang biasa. Ia adalah sosok luar biasa, penyelamat generasi di kampungnya. Pada saat banyak guru mengejar gaji sertifikasi dengan tambahan jam mengajar yang seakan dipaksakan, guru yang satu ini rela berjalan kaki sejauh tiga kilometer di sepanjang pesisir sungai untuk mengajar anak-anak SD di kampungnya yang sangat terpencil.
Saban hari, jika telah menerima honor tiga bulan yang tak seberapa dari Dinas Pendidikan setempat, ia pun memilih naik perahu. Saat musim hujan seperti saat ini, ia memilih naik perahu sekadar menghindari terpeleset karena pematang tambak yang mesti dilaluinya sangat becek. Sosok guru yang sabar ini bernama Herlina Ahmad, S.Pd, yang oleh murid-muridnya akrab disapa Guru Lina.
Dari arah sungai, sekilas bangunan rumah panggung kayu itu tak tampak sebagai sekolah. Pun tak ada papan nama yang menyebutkan bahwa itu sekolah. Pun tak ada dermaga disana. Yang ada hanya pijakan kecil di depan rumah salah satu warga Kampung Buttue sekadar untuk menyeberang dari perahu.
Di sebelah utara bangunan sekolah rumah panggung kayu itu membujur Sungai Limbangan yang menghubungkan Labakkang daratan dengan wilayah pesisirnya dan pulau-pulau yang ada di sebelah baratnya, sementara di sebelah selatan bangunan sekolah itu terhampar luas tambak sejauh mata memandang. Tepatnya sekolah ini berada di pinggiran Sungai Limbangan, Kampung Buttue, Desa Kanaungan, Kecamatan Labakkang, Kabupaten Pangkep.
Di rumah panggung sederhana itulah, Guru Lina mengajar dalam satu ruangan, dan memang hanya satu kelas, 34 muridnya yang disatukan dari kelas 1 sampai kelas 6 SD.
Sekolah ini merupakan kelas jauh dari SDN 12/30 Kampung Buttue, Desa Kanaungan, Kecamatan Labakkang. Sekolah, guru dan murid-murid SD yang ada didalamnya bukanlah potret yang biasa dari kelayakan pendidikan. Sejauh mata memandang sekeliling bangunan sekolah, yang tampak hanya sungai, pepohonan bakau di pesisir, dan tambak.
Di sekolah ini, tak ada tempat upacara, tak ada tiang bendera, tak ada lapangan bermain, tak ada kantin atau warung, tak ada bel tanda masuk kelas, bahkan tak ada kepala sekolah. Yang ada hanya Guru Lina bersama murid-muridnya yang setiap saat memeluk takdirnya, merajut satu demi satu impian bersama muridnya, dalam bangunan rumah panggung kayu, merebut pendidikan.
Dengan hanya berbekal Ijazah SMA ketika rumah panggung sekolah itu didirikan pada Tahun 2009, sejak itu pula Guru Lina mulai mengajar sampai sekarang.
Awalnya Herlina hanya beternak itik dan membantu orangtuanya di rumah, namun Herlina yang warga asli Kampung Buttue Desa Kanaungan ini tak tahan melihat begitu banyak anak pesisir di lingkungannya yang tidak bersekolah, salah satunya disebabkan jarak tempuh yang cukup jauh dari rumah mereka di pesisir Kanaungan dengan sekolah yang ada di Kecamatan Labakkang.
Akhirnya, Perempuan kelahiran 16 Juni 1980 inipun menawarkan diri menjadi guru sukarela dan pihak Dinas Pendidikan setempatpun memfasilitasi dengan pendirian rumah panggung kayu di pinggir Sungai Limbangan sebagai sekolah kelas jauh.
Setelah lima tahun, Herlina yang menyempatkan waktu untuk kuliah ditengah kesibukannya mengajar di Kelas Jauh SDN 12/30 Kanaungan Labakkang tersebut, pada Juni 2013 lalu berhasil menamatkan pendidikan sarjananya di jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Terbuka (PGSD UT).
Bagi Herlina yang sampai saat ini masih berstatus “Guru Honorer”, yang paling penting baginya adalah bagaimana agar anak-anak pesisir di kampungnya tetap bisa bersekolah.
Saat mengajar, kadang ia mendapati muridnya lengkap berjumlah 34, namun pada saat yang lain, ia hanya mendapati ruang kelasnya kosong. Tentu matanya hanya bisa berkaca-kaca, menerawang nun jauh di kampung seberang, anak-anaknya tak dapat ke sekolah karena hujan atau karena perahu lagi dipakai orangtua mereka mencari nafkah.
Mengajar, bagi Herlina adalah panggilan jiwa dan panggilan jiwa itulah yang membuatnya harus tetap ke sekolah dan setia menyusuri Sungai Limbangan. (*)