BerandaArtikelDidiklah Pelajar dengan Pemikiran Besar, Agar jadi Orang Besar

Didiklah Pelajar dengan Pemikiran Besar, Agar jadi Orang Besar

Oleh: Dr. Adian Husaini *)

PALONTARAQ.ID – Pendiri Pesantren Darussalam Gontor, KH Imam Zarkasyi, menyampaikan pesan penting dalam satu pidato yang beredar luas di media online: “Kalian kami didik untuk menjadi pemimpin kader-kader dan juga belajar menjadi orang besar. Apa itu orang besar, apakah mereka yang jadi pengusaha besar, atau ketua partai, ketua ormas Islam yang besar? Bukan itu maksud saya sebagai orang besar!

Orang besar itu adalah mereka yang lulus dan keluar dari pesantren ini kemudian dengan ikhlas melarang ilmunya kepada orang-orang di pelosok-pelosok, sampai di kaki-kaki gunung. Dimanapun mereka berada, di bukit-bukit, atau di kolong jembatan sekalipun. Itu yang saya maksud orang besar!”

Jadi, itulah makna “orang besar” dalam pandangan KH Imam Zarkasyi, seorang pendidik yang hebat. Menurut beliau, orang-orang besar itu adalah mereka yang mengamalkan ilmunya; yang mengajarkan ilmunya.

Itulah mengapa pondok-pondok pesantren di masa lalu sangat menekankan pentingnya “mengajar” bagi para lulusannya. Mereka disiapkan menjadi pejuang ilmu, pejuang dakwah, dan juga pejuang penegak kebenaran di tengah masyarakat.

Pesan KH Imam Zarkasyi itu saya sampaikan kepada para santri Pesantren At-Taqwa Depok, menjelang kepulangan mereka, Jumat (7 April 2023). Keberhasilan pendidikan pesantren dan lembaga pendidikan Islam lainnya adalah ketika para lulusannya menjadi “orang besar”. Yakni, orang yang bermanfaat bagi sesama.

Mereka yang mengajarkan atau menyebarkan kebaikan sejatinya telah menjadi guru peradaban. Mereka sedang membangun peradaban tinggi berbasis iman dan taqwa serta akhlak mulia. Mereka inilah yang disebutkan dalam al-Quran sebagai manusia-manusia yang terbaik perkataanya.

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal saleh, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim!” (QS Fushshilat: 33)

Mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang sudah didapat di pesantren atau sekolah-sekolah Islam sepatutnya menjadi visi dan cita-cita utama para santri dan pelajar Islam. Menyedihkan, jika setelah belajar enam atau sembilan tahun di lembaga pendidikan Islam, para santri atau pelajar itu tidak tergerak hatinya untuk mengajarkan ilmunya; untuk berdakwah dan berjuang di jalan Allah.

Padahal, biasanya, para santri atau pelajar Islam itu sudah mendapatkan ilmu, bahwa pahala yang sangat besar dan terus mengalir adalah jika ilmu diamalkan dan diajarkan. Apalagi mereka nyantri di lembaga pendidikan “mu’allimin”, yang memang merupakan sekolah guru. Betapa bahagianya orang tua di alam kubur, yang terus-menerus mendapatkan aliran pahala dari ilmu anak-anaknya yang terus diamalkan dan diajarkan.

***

Salah satu pesan penting Mohammad Natsir adalah: ”Kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh sekelompok guru yang ikhlas berbuat untuk bangsanya!” Karena itu, guru adalah kunci perbaikan dan kebangkitan pendidikan. Guru semacam ini bukan sekedar ”tukang ngajar bayaran”. Tapi, menjadi guru adalah perjuangan menegakkan kebenaran; perjuangan membangun satu gerenasi yang kuat.

Menjadi guru atau menjadi dai merupakan aktivitas yang sangat mulia. Sepatutnya para orang tua bangga jika anak-anaknya aktif sebagai dai. Aktivitas dakwah adalah satu kewajiban penting yang diamanahkan oleh Rasulullah saw kepada kaum Muslim. Dakwah, atau “al amru bil ma’ruf wa al-nahyu ‘anil munkar” (memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran), wajib dilakukan, apakah secara personal atau berjamaah.

Allah SWT berfirman, yang artinya: “Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa Putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS al-Maidah: 78-79).

***

Patut dicatat, bahwa mewujudkan cita-cita besar, mendidik anak menjadi orang besar, bukanlah hal mudah dan ringan. Tantangannya berat. Sebab, sekulerisme-materialisme masih menjadi arus besar pendidikan tinggi. Kampus-kampus yang alumninya berhasil menduduki kursi-kursi jabatan tinggi – baik di pemerintahan atau swasta – dianggap sebagai kampus terbaik dan favorit. Kuliah di situ dianggap bergengsi.

Sebaliknya, kuliah di bidang ulumuddin tidak dianggap bergengsi dan tidak menaikkan derajat sosial. Karena itu, tidak dijadikan prioritas atau tujuan utama kuliah oleh para calon mahasiswa. Yang jelas, setiap tahun, Perguruan Tinggi Negeri berhasil menyedot peminat yang besar dengan kualitas intelektual calon mahasiswa di atas rata-rata.

Inilah tantangan pesantren, sekolah Islam, dan juga perguruan tinggi Islam. Mereka perlu melakukan reformasi kurikulum internal pesantren, sekolah atau kampusnya. Didiklah para santri dan pelajar itu dengan pemikiran-pemikiran besar. Yakni, pemikiran yang membangun worldview yang benar; pemikiran yang menjadikan mereka memahami dan bangga menjadi pejuang penegak kebenaran.

Jangan didik para pelajar atau santri dengan ilmu dan cita-cita yang rendah. Yakni, ilmu yang mengarahkan mereka memiliki visi dan cita-cita, sekedar bagaimana bisa hidup dan bisa mencari makan; tanpa mengutamakan proses penanaman aqidah dan akhlak mulia.

Tantangan selalu ada, pada setiap zaman. Dan hidup itu memang digerakkan oleh tantangan. Tantangan pasti ada penangkalnya. Masalahnya, kita memahami atau tidak tantangan dan ancaman racun sekularisme dalam dunia pendidikan dan kehidupan kita, serta bagaimana kiat menangkalnya! Wallahu A’lam bish-shawab.

 

(* Sumber: www.adianhusaini.id, Ditulis Dr. Adian Husaini di Depok, 10 April 2023.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT