BerandaHukumKPK salah jalan!

KPK salah jalan!

Fahri Hamzah (foto: ist/palontaraq)
Fahri Hamzah (foto: ist/palontaraq)

Sumber terbuka:  DISINI

Oleh: Fahri Hamzah

PALONTARAQ.ID – Saya kritik KPK sudah belasan tahun… menulis dan melakukan penelitian yang saya terbitkan di diskusikan di kampus-kampus dan di tengah masyarakat.

Saya tidak pernah berubah. Dan sekarang puncak keyakinan saya bahwa sistemnya bergoncang akibat anomali KPK. Ini soal sistem.

Saya terbiasa memikirkan sistem.. mungkin karena saya melihat dari dekat perubahan arah bangsa dari otoritarianisme ke demokrasi.

Muncul KPK yang diniatkan untuk mengharmoni sistem yang membutuhkan “bimbingan transisi” tapi dikacaukan dengan penindakan yang sembrono tambah kacau.

UU 30/2002 dibuat dengan niat baik. Tapi Setelah jadi orang-orang berbisik, “apa tidak bahaya kalau ini jatuh ke tangan orang yang salah?”.

Dan kisah ini dibaca ulang oleh semua pembuat UU ini di pihak pemerintah dan DPR. Semua menyesal karena UU super ini telah disalahgunakan.

Dan 17 tahun setelah UU ini disahkan, apa yang sukses? Yang sukses adalah demokrasi kita; masih ada meski index-nya melemah belakangan ini.

Demokrasi bukan karya negara, itu karya rakyat… ”atas berkat rahmat Allah yg maha kuasa dan dengan Didorongkan oleh keinginan luhur…”

Tetapi, tugas transisional adalah membangun institusi inti negara terutama cabang-cabang kekuasaan yang inti; eksekutif, legislatif dan judikatif.

Utamanya juga lembaga penegakan hukum sebagai jaminan bagi tegaknya kesamaan di depan hukum dan pemerintahan (pasal 27 UUD45).

Inilah peran penting KPK sehingga setelah 4 kali amandemen konstitusi (1999-2002), kita punya struktur ketatanegaraan yang baru dan KPK menjelma menjadi “organ tambahan dalam negara (state auxiliary body) yang bertugas melakukan kordinasi, supervisi dan monitoring (pasal 1).

Di sisi lain, KPK dipenuhi oleh kekuatan super yang memungkinkannya melakukan peoses hukum; penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam satu alur yang tidak terputus.

Sambil dapat melakukan pengumpulan alat bukti yang tidak dapat dilakukan oleh POLRI dan JAKSA. Ini senjata sakti.

Maka kalau kita baca risalah pembuatan UU KPK, pembuat UU bermaksud agar.. ”tugas utama KPK adalah pencegahan korupsi dengan Supervisi, Kordinasi dan Monitoring, sambil memamerkan senjata pamungkasnya apabila ada yang menghalangi kegiatan utama KPK tersebut”.

Dengan kekuatan sebesar itu, KPK saya anggap memiliki kekuatan sebesar “wakil presiden ke-2 bahkan presiden dalam pemberantasan korupsi”.

Karena KPK tidak saja dapat men-supervisi lembaga penegak hukum, tapi siapapun, bahkan seluruh cabang kekuasaan yang ada. Kuat sekali KPK.

Dalam tugas itu, senjata pamungkas jangan gampang dipakai. Apalagi dipakai berburu burung perkutut atau tikus tanah. Itu senjata untuk ikan paus atau hiu juga buaya yang sulit ditaklukkan oleh senjata biasa.

Tapi itulah yang terjadi, penyalahgunaan. Senjata mulai mubazir dan tumpul.

Kegemaran KPK berburu bupati, camat dan kepala dinas di daerah-daerah bukanlah mandat UU KPK dan bukan maksud dibuatnya UU ini.

Jangan lupa, tugas KPK yang utama adalah menjadi trigger bagi penegak hukum. Bukan mengambil alih seluruh pekerjaan mereka sampai ke bawah.

Itulah yang terjadi, dan pecahlah perang berjilid-jilid antara “Cicak dan Buaya” yang tak berhenti.

Sementara itu, KPK terus berkampanye bahwa korupsi tambah banyak dan semakin luar biasa (extra ordinary) sementara mereka semakin sendiri dalam kepungan koruptor dari mana-mana.

Fantasi ini terus dibangun sampai publik percaya bahwa “sukses KPK memberantas korupsi karena korupsinya tambah banyak yang tertangkap”.

Padahal UU ingin agar “KPK sukses artinya semua korupsi berhasil dicegah dan tidak ada lagi korupsi setelah 17 tahun UU ini dibuat”.

Silahkan menyebutnya sudut pandang, tapi nasi sudah menjadi bubur. Hati pimpinan dan wadah pegawai KPK makin mengeras dan tidak ada lagi kompromi karena akhirnya senjata pamungkas KPK dipakai untuk melawan semua pihak yang dianggap lawan KPK.

Tinggal presiden yang sekarang diancam.

Saya cukup percaya kali ini presiden Jokowi telah banyak membaca dan mengalami sendiri.

Betapa tidak enaknya punya lembaga yang tidak bisa diajak kordinasi dalam bekerja memberantas korupsi dan membangun kelembagaan demokrasi.

Presiden mulai sadar presidensialisme harus tegak.

Maka, marilah kita akhiri kekacauan ini. Sekali untuk seterusnya. Presiden sebaiknya memimpin langsung pemberantasan korupsi dalam sistem presidensialisme yang murni.

Presiden adalah kepala negara dan kepala pemerintahan. Rakyat memilih presiden dengan biaya besar untuk itu.

Sekali lagi jangan lihat gambar kecil KPK ini. Ini soal sistem yang meronta karena ada anomali yang tidak taat atas dalam peejalanan bangsa.

Maka tugas mulia kita adalah mengfungksikan akal sehat kita untuk menguatkan kelembagaan inti negara sehingga penanggungjawabnya jelas.

Presiden dan DPR adalah pembuat UU. Tidak ada hak KPK untuk terlibat jauh apalagi merasa lebih tahu tentang negara ini. KPK adalah produk UU. Bukan pembuat UU. Ini semua salah kaprah yang telah kadung kita terima karena ketidakberanian kita melakukan koreksi.
Ini waktunya.

Mari kita maju ke depan. Dengan niat baik dan ketulusan. Percayakan bahwa bangsa ini selalu punya cara untuk kembali ke jalan yang benar. Hukum harus kembali kepada roh-nya sebagai media mencari kebenaran bukan untuk balas dendam dan aksi jago-jagoan. Mari hentikan!

Pimpinan KPK yang baru harus memberi contoh kehalusan budi karena hukum itu bukan milik manusia, dia milik Tuhan yang dititipkan dengan syarat bahwa kalian para penegak hukum akan berlaku adil dan bijaksana. Berlaku lembut dan wara. Semua memerlukan keteladanan.

Kepada pimpinan KPK yang lama, belaku bijaklah. Jalan kalian salah. Cara kalian melihat KPK dan diri kalian salah. Kalian lembaga negara yang ada UU-nya dalam sebuah sistem bernegara yang baku. Kalian bukan presiden yang dipilih rakyat Indonesia. Tahulah batas kalian.

Ajak pegawai KPK sebagai pegawai pemerintahan kembali ke jalan yang benar.

Kembalilah menjadi bagian dari pemerintahan dalam negara yang kita bangun bersama. Jangan anggap diri paling penting apalagi paling benar. Kita semua abdi negara yang mencari kebaikan bagi nusa dan bangsa.

Jangan kalian lupa bahwa tugas kalian mulia, untuk mengawal transisi. Bila kalian melihat di tengah jalan ada korupsi cegahlah. Gunakan atas hukum yang sudah berlaku lama. “Mencegah jauh lebih baik dari pada mengobati”. Itu kaedah hukum pidana sebagai “ultimum remedium”.

Penindakan adalah jalan terpaksa. Dan keterpaksaan gak harus terjadi jika sistem yang kalian diamanahkan terbentuk. Tapi karena gagal, akhirnya perkara numpuk dan kalian berburu di kebun bintang. Kawan sebangsa menjadi mangsa dan kita tertawa dalam upacara bunuh diri massal.

Azas hukum mengatakan “in dubio pro reo”. Falsafah ini turun dari Tuhan kepada kita agar “lebih baik membebaskan orang bersalah 1000 orang dari pada salah menghukum orang benar 1 orang”.

Tapi kalian memakai hukum perang, yg penting lawan kalian hancurkan hidup dan moralnya.

Kembalilah ke jalan yang benar, mari kita mulai ber-Ketuhanan yang maha esa dan ber-pancasila dalam hukum. Negara kita adalah negara hukum yang demokratis bukan negara umum yang bengis.

Mari kita tegakkan harga dan martabat bangsa. Mari bekerja sama. Sekian. Terima kasih.

Twitter @Fahrihamzah 14/9/2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT