BerandaBeritaNasionalMewaspadai Berbagai Opsi “Rekonsiliasi” Prabowo-Jokowi

Mewaspadai Berbagai Opsi “Rekonsiliasi” Prabowo-Jokowi

Oleh: Hersubeno Arief

Tulisan Sebelumnya: Menjadi Oposisi, Sandiaga Uno Sangat Benar

PALONTARAQ.ID – Setelah menjadi bahan spekulasi, rencana pertemuan Prabowo-Jokowi dipastikan akan terjadi pada bulan ini. Bulan Juli.

Juru bicara Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Andre Rosiade sudah memastikan hal itu, tanpa menyebut tanggal pasti. Hanya dia memberi ancar-ancar. Pertemuan akan dilakukan setelah Prabowo bertemu dengan para pendukungnya terlebih dahulu.

Pernyataan politisi Gerindra, Andre Rosiade, ini harus dilihat sebagai test the water. Seperti orang melempar batu ke dalam sungai. Menjajaki seberapa dalamnya air.

Jika air terlalu dalam. Jika air terlalu deras arusnya, Prabowo tidak jadi nyemplung ke dalam air. Tapi bukan berarti batal nyemplung. Bisa jadi cari jalan lain. Jalan melingkar. Yang penting tujuan menyeberang tetap tercapai.

Pernyataan bahwa Prabowo akan bertemu dengan para pendukungnya sebelum bertemu Jokowi, sebenarnya sudah menunjukkan bahwa mereka paham ada risiko besar yang menanti kalau sampai tetap nekad.

Kemarahan para pendukung paslon 02 yang muncul di media sosial, bisa menjadi gambaran yang jelas dan gamblang, betapa besar risiko yang akan dihadapi.

Tagar #PrabowojangantemuiJokowi jadi trending topic di dunia maya. Jajak pendapat yang kami lakukan juga menunjukkan ribuan pendukung paslon 02 menolak keras rekonsiliasi. Bahkan sekedar bertemu pun BIG NO!. 99 persen menolak, dan hanya 1 persen yang setuju.

Namun tampaknya sekelompok elit Gerindra masuk kelompok politisi pedagang yang sangat paham adagium “high risk, high return.”

Makin besar risikonya, makin tinggi pula keuntungannya. Angka yang dipatok bisa makin mahal. Apalagi mereka sangat tahu kubu Jokowi benar-benar ngebet untuk bertemu dan melakukan rekonsiliasi.

Ada beberapa yang opsi yang bisa dipilih oleh oleh Prabowo.

Pertama, mereka akan benar-benar bergabung ke dalam pemerintahan Jokowi. Kabarnya mereka akan mendapat dua pos kementerian (sedang tawar menawar pos apa yang akan dipilih dan diberikan), Prabowo menjadi Ketua Wantimpres, beberapa pos duta besar, dan juga posisi pimpinan di MPR dan DPR.

Jika ini yang mereka pilih, nasib Prabowo dan Gerindra sudah bisa diprediksi seperti apa. Usia politik Prabowo akan berakhir hanya sampai disini. Dia tidak mungkin lagi menjadi capres atau wapres pada Pilpres 2024. Finish. Its over!

Prabowo akan berkumpul dan bernasib sama seperti para politisi yang telah lebih dahulu bergabung ke dalam kubu Jokowi. Ditinggalkan massa pendukungnya.

Tokoh-tokoh seperti Yusril Ihza Mahendra, Yusuf Mansyur, TGB Zainul Majdi, dan Ma’ruf Amin bisa dengan tertawa lebar mengucapkan selamat datang, ahlan wa sahlan, welcome to the club.

Nasib Gerindra akan sama dengan Demokrat, bahkan sangat mungkin lebih buruk. Rakyat bahkan malah bisa lebih memahami dan memaklumi apa yang dilakukan SBY dan Demokrat. Ada yang lebih buruk perilakunya, yakni Prabowo dan Gerindra.

Dari pemilu ke pemilu suaranya akan tergerus. Gerindra akan mengalami perpecahan, karena masih banyak tokoh di Gerindra yang tak sepakat dengan langkah pragmatis dan oportunis.

Ayam bertelur emas itu akan mati, karena dipaksa terus bertelur sebelum waktunya. Cerita anak-anak tentang hikayat petani rakus dan ayam bertelur emas itu harus benar-benar direnungkan.

Opsi pertama ini bila tetap dipilih akan buruk buat Prabowo, juga buruk buat Jokowi. Target Jokowi melumpuhkan perlawanan oposisi tidak akan tercapai. Hal itu setidaknya sudah terbukti pada aksi 21-22 Mei di Bawaslu, dan yang sangat kasat mata pada aksi 27 Juni di MK.

Prabowo-Sandi sudah secara tegas meminta massa pendukungnya tidak turun ke jalan, namun mereka abaikan. Mereka tetap turun ke jalan. Jumlahnya cukup banyak. Ratusan ribu. Sebagian datang dari berbagai daerah, kendati sudah diancam dan dirazia aparat keamanan.

Yang paling menarik dalam aksi di MK adalah munculnya figur baru sebagai tokoh sentral komando di lapangan. Mantan penasehat KPK Abdullah Hehamahua (71 th) menjadi ikon baru perlawanan.

Hal itu menunjukkan kelompok perlawanan punya banyak stok simbol perlawanan. Hilang satu muncul seribu. Tidak bergantung kepada Prabowo sebagai tokoh sentral.

Harga mahal yang harus dikeluarkan Jokowi untuk menggaet Prabowo tidak ada gunanya.

Prabowo akan menjadi ikan yang dipisahkan dari airnya. Tanpa pendukung yang militan. Tanpa pendukung yang ikhlas menyumbangkan waktu, tenaga, pikiran, bahkan harta bendanya, Prabowo bukan siapa-siapa.

Opsi kedua, oposisi pura-pura. Opsi ini paling memungkinkan dilakukan. Tetap berada di luar pemerintahan, namun sudah ada kesepahaman tidak akan mengganggu. Sebaliknya Prabowo dan Gerindra akan mendukung sepenuhnya setiap kebijakan pemerintahan Jokowi.

Konsesi yang diperoleh tidak di kabinet dan di Wantimpres. Akan terlalu mencolok. Cukup di MPR-DPR, pos-pos komisaris di sejumlah BUMN, Dubes, dan yang paling tidak mencolok mata adalah konsesi bisnis.

Seorang tokoh senior yang sangat dekat dengan Prabowo menggambarkan sebagai oposisi “Otak dan batang tubuh PS diluar bersama pendukungnya. Tangannya di pemerintah serta kakinya di parlemen. Strategi Rekonsiliasi-Oposisi dengan Diplomasi Kaki Tangan.”

Dengan opsi ini Prabowo diharapkan dapat tetap bisa merangkul dan menjaga hati para pemilihnya. Bersamaan itu mereka bisa mendapatkan dan ikut menikmati keuntungan politis dan finansial sebagaimana halnya partai pendukung pemerintah lainnya.

Bila opsi ini yang dipilih, posisi, peran Prabowo dan Gerindra bahkan lebih penting dibandingkan partai pendukung pemerintah. Jokowi bisa mengandalkan Prabowo dan Gerindra sebagai kanal, katup pengaman, sekaligus meredam perlawanan kelompok oposisi.

Hanya saja Prabowo dan Gerindra harus benar-benar pandai memainkan perannya. Sebab rakyat saat ini sangat cerdas dan akses informasi terbuka luas. Ketika kepura-puraan ini terbuka, kemarahan pendukung akan kian tak terbendung.

Opsi ketiga, tetap berada di luar pemerintahan menjadi oposisi bersama PKS dan PAN dengan catatan Amien Rais bisa mengendalikan gerakan bola liar di DPP PAN.

Opsi ketiga ini bukan tanpa risiko. Prabowo harus benar-benar tegas mengendalikan elit Gerindra. Jangan sampai mereka membelot, berkhianat, atau menjadi intruder seperti telah terjadi selama ini.

Risiko lain, elit Gerindra harus bersiap diri memperpanjang puasanya. Berada di luar pemerintahan perlu kesabaran dan ketabahan.

Namanya juga orang berpuasa, jika benar-benar lulus ujian akan mendapat imbalan yang setimpal. Mereka bisa menyambut hari raya kemenangan pada lima tahun ke depan.

Gerindra akan menjadi partai besar, Prabowo akan dikenang sebagai politisi yang teguh pendirian, istiqomah. Bukan politisi kaleng-kaleng.

Dalam kondisi seperti ini Prabowo bisa memilih, tetap meneruskan karir politik sebagai politisi dan tokoh yang sangat dihormati, atau kembali menyepi ke padepokan Garuda Yaksa di Bukit Hambalang. Madeg pandhito seperti yang selama ini dia inginkan.

Sebagai seorang resi, Prabowo bisa mendidik, melatih kader-kader bangsa yang tangguh, teguh pendirian, bermoral dan bermartabat.

Dia bisa melanjutkan mimpinya menjadikan Indonesia sebagai bangsa pemenang. Bangsa yang dihormati dunia internasional, berdiri tegak sejajar dengan kekuatan dunia lainnya.

Prabowo bisa berperan seperti Batara Wisnu yang menunggang kereta Garuda Yaksa mengawasi Indonesia dari ketinggian di angkasa. Manakala para pemimpinnya menyimpang, dia bisa turun mengingatkan dan mengoreksinya.

Hidup ini memang sebuah pilihan Jenderal! (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT