BerandaAkademiaDisertasi "Sampah" dari Abdul Azis yang Menghalalkan Zina

Disertasi “Sampah” dari Abdul Azis yang Menghalalkan Zina

Abdul Azis dan karya disertasinya. (foto: ist/palontaraq)
Abdul Azis dan karya disertasinya. (foto: ist/palontaraq)

Oleh: KH. DR. Miftah el-Banjary, MA. *)

PALONTARAQ.ID – Sudah dengar tentang berita yang baru viral tentang Disertasi Abdul Aziz yang dalam kesimpulannya bahwa “Zina Diperbolehkan dan Halal Menggauli Pasangan Lain Diluar Nikah?” Na’udzubillah!!

Bagi saya, sebagai insan akademis, malu kalau harus menyebut karya tulis itu sebagai sebuah karya ilmiah atau Disertasi. Bagi saya, pelabelan karya tulis itu lebih tepat dengan sebutan “Sampah” dari produk pemikiran liberal yang tidak bernilai sama sekali.

Kalau saja saya menjadi pembimbing atau promotornya, sejak dia mengajukan proposal sudah saya tolak mentah-mentah. Ini siapa sih promotornya? Nalar konstruksi berpikirnya dibangun dari logika apa?!!

Berdasarkan penjelasan Abdul Aziz di TV One, dia membangun konstruksi logikanya dari pandangan Muhammad Shahrur ketika memahami istilah “Malakat Aiman” pada surah al-Mu’minun.

Menurut pengakuan penelitinya, Abdul Aziz, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dia mendasarkan pendapatnya pada pandangan Muhammad Shahrur, tokoh pemikir Islam liberal dari Syiria yang banyak dijadikan kiblat pemikiran kaum liberalis di Indonesia.

Muhammad Shahrur, mencoba membongkar pasang tafsiran kalimat “مَا مَلَكَتۡ أَیۡمَـٰنُهُمۡ” yang terdapat pada surah al-Mu’minun ayat ke-5 dan 6:

 

وَٱلَّذِینَ هُمۡ لِفُرُوجِهِمۡ حَـٰفِظُونَ إِلَّا عَلَىٰۤ أَزۡوَ ٰ⁠جِهِمۡ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَیۡمَـٰنُهُمۡ فَإِنَّهُمۡ غَیۡرُ مَلُومِین

 

Artinya:

“.. dan Orang-orang beriman, yaitu mereka yang menjaga kemaluan mereka, terkecuali terhadap pasangan-pasangan mereka atau budak wanita yang mereka miliki.”

Dalam pandangannya, Abdul Aziz, menyokong pendapat Muhammad Shahrur yang memahami bahwa “Malakat Aiman” ditafsirkan sebagai “Pasangan diluar Nikah” pada surah al-Mu’minun tersebut, sehingga pada kesimpulannya bahwa kehalalan zina diperbolehkan menurut al-Qur’an. Waduuh!!

Dia mendasarkan bahwa hubungan seksual diperbolehkan dengan pasangan halal, juga dengan pasangan di luar nikah atas dasar suka sama suka. Pendapat ini asli NGACO!!

Tentu saja, pandangan ini Keliru besar!  Dan menjadi musibah terbesar bagi Umat Islam!!

Disertasi Abdul Azis
Disertasi Abdul Azis (foto: ist/palontaraq)

Baik, sekarang mari kita preteli kedunguan Abdul Aziz satu persatu:

1. Mari Kita Lihat dari Semantik Dilalah!

Secara bahasa kata “Malakat” (ملكت) dalam bentuk ism mufradah mu’annatsah yang berarti “memiliki”. Raja disebut “Maalik”, karena dia memiliki kekuasaan.

Pengertian secara etimologis “Milk al-Yamin” terkait “kepemilikan perjanjian” atau “kontrak kepemilikan”. Sedangkan dalam istilah terminalogisnya terkait tentang hukum kepemilikan budak perempuan yang ketentuan dan batasannya diatur di dalam Hukum Islam.

Sedangkan tafsir dari kalimat مَا مَلَكَتۡ أَیۡمَـٰنُهُمۡ berarti Budak-budak wanita yang dimiliki, bukan “pasangan diluar nikah”..

Dimana korelasi antara makna “kepemilikan budak wanita” dengan “pasangan diluar nikah?! Apa hubungan makna leksikalnya? Apa korelasi antara penanda semiotikanya?!

Sungguh betul-betul Absurd!! Tidak masuk akal sama sekali!!

Jelas sekali, orang ini tidak memahami semantik atau dilalah dalam penggunaan Bahasa Arab. Dari analisis Bahasa Arab-nya saja sudah kacau dan rancu, lantas apa layak disebut karya ilmiah?! Cocoknya karya sampah!

2. Mari Kita Lihat Asbabun Nuzul Ayatnya!

Perlu diketahui bahwa Surah al-Mu’minun merupakan Surah al-Makiyyah yang turun di kota Makkah.

Surah ini menjelaskan tentang sifat dan karakter orang-orang beriman yang salah satunya menjaga kemaluan mereka dari berhubungan zina. Jadi jelas sekali, ayat ini menegasikan tentang pelarangan berperilaku seksual menyimpang, seperti zina.

Namun, oleh Abdul Aziz dipahami jungkir balik, sebagai ayat yang menghalalkan zina. Logika akal sehatnya dimana? Secara rasional saja sudah tidak mengena, bagaimana bisa disebut seorang yang intelektual?!

3. Mari Kita Lihat Pandangan Mufassirnya!

Berdasarkan para pakar mufassir, seperti Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir “Al-Qur’an al-Adzhim” menyebutkan bahwa ayat ke-6 surah al-Mu’minun terkait hukum keharaman melakukan onani/masturbasi bagi orang yang tidak memiliki pasangan.

وقد استدل الإمام الشافعي رحمه الله ومن وافقه على تحريم الاستمناء باليد بهذه الآية الكريمة

وَٱلَّذِینَ هُمۡ لِفُرُوجِهِمۡ حَـٰفِظُونَ ۝ إِلَّا عَلَىٰۤ أَزۡوَ ٰ⁠جِهِمۡ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَیۡمَـٰنُهُمۡ فَإِنَّهُمۡ غَیۡرُ مَلُومِینَ

Imam Syafie dan kelompok yang menyepakati pendapatnya menyatakan tentang keharaman onani dengan melandaskan pada dalil ayat : “.. dan orang-orang beriman yang mereka itu menjaga kemaluan mereka, terkecuali terhadap pasangan-pasangan mereka atau budak wanita yang mereka miliki.”

Silahkan lihat, “Tafsir Ibn Katsir”, Juz 3, hal. 314, penerbit: Maktabah as-Tsaqafah ad-Diniyyah, Cairo-Mesir.

Jadi, persoalannya tidak ada sama sekali terkait tentang kehalalan zina, namun perbedaan pandangan tentang hukum Onani. Meskipun Imam Abu Hanifah memperbolehkan dengan beberapa syarat.

Nah, dari sini Abdul Aziz, tidak mengerti persoalan pada pokok ayat yang dibahasnya.

Mari juga kita lihat pandangan Mufasir lainnya, seperti Imam Fakhrurazi dalam karya tafsir “Fakhrurazi” dan Imam Al-Alusi dalam karya tafsirnya “Rouhul Ma’ani”.

Imam Fakhrurazi menjelaskan bahwa ayat tentang kehalalan melakukan hubungan seksual dengan budak-budak wanita adalah budak yang telah dinikahi secara syar’i, bukan disetubuhi tanpa nikah alias dizinahi.

Jelas, persoalan yang dibicarakan para ulama tafsir di sini bukan pada kehalalan zina, justru keharaman melakukan onani, lebih-lebih lagi melakukan zina.

Demikian pandangan yang sama ditafsirkan oleh Imam al-Alusi dalam kitab “Rouhul Ma’ani” dengan menjelaskan tentang hukum pernikahan mut’ah serta hukum perkara onani yang dilarang menurut pandangan sebagian besar ulama dengan mendalilkan pada hadits Nabi:

 

لا صلاة إلا بطهور ولا نكاح إلا بولي

 

Artinya:  “Tidak sah shalat melainkan dengan suci, dan tidak sah menikah, terkecuali dengan adanya wali”.

Lihat, Tafsir Fakhrurazi, Djuz 23 hal. 79, Maktabah Taufiqiyyah, Mesir dan Tafsir Rouhul Ma’ani Juz 10 hal 10 Maktabah Taufiqiyyah, Mesir.

Dari sini, jika Abdul Aziz mendasarkan analisanya dari teks-teks al-Qur’an, jelas sekali sangat kontradiktif dan bertentangan dengan apa yang sebenarnya ada di dalam al-Qur’an.

Merujuk pada pandangan Prof. Dr. Quraish Shihab di dalam Tafsir al-Misbah, menjelaskan bahwa syariat diperbolehkannya menikahi para budak dalam rangka cara Islam mengangkat derajat manusia dari tradisi perbudakan serta cara menghapusnya dengan cara pernikahan yang halal.

Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Djuz 8 hal. 324.

4. Mari Kita Lihat Dari Dalil Nash Muhkamatnya!

Dari sekian banyak dalil ayat-ayat tekstual yang bersifat Muhkamat, jelas-jelas Islam datang menghalalkan pernikahan serta mengharamkan perzinahan.

Berikut dalil-dalil nash muhkamat tentang kesyariatan pernikahan menurut al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas:

a. Nash al-Qur’an

– Surah An-Nisa ayat 3:

قال تعالى: فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ [النساء: 3]، والآية الكريمة نص في مشروعية نكاح ما طاب من النساء

 

Artinya:

“Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi..”

Ayat ini menegaskan tentang syariat pernikahan dalam al-Qur’an.

– Surah an-Nour ayat 32

قال تعالى: وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُم ﴾ [النور: 32]، والآية الكريمة نص في مشروعية الزواج

Artinya:

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.”

Ayat ini juga menegaskan tentang syariat pernikahan dalam al-Qur’an.

b. Nash Hadits Nabi

يا معشر الشباب، من استطاع منكم الباءة فليتزوج، فإنه أغض للبصر، وأحصن للفرج

ومن لم يستطع فعليه بالصوم؛ فإنه له وجاء[1]، والحديث دليل واضح في مشروعية النكاح، والحث عليه

Artinya:

“Wahai para pemuda, jika kalian mampu menikah, maka menikahlah, sesungguhnya hal itu dapat menjaga pandangan dan menjaga kesucian kemaluan. Barangsiapa yang tidak sanggup, hendaklah dia berpuasa, karena dia akan menjadi pelindung (nafsu syahwat).”

Hadits ini menunjukkan dalil yang jelas tentang syariat pernikahan.

لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل. وهذا دليل على مشروعية النكاح بولي وشاهدي عدل

Artinya:

“Tidak sah pernikahan, melainkan beserta wali dan dua orang saksi yang adil.”

Hadits ini juga menunjukkan dalil yang jelas tentang syariat pernikahan.

c. Ijma’ Ulama

أجمعت الأمة على جواز النكاح

Artinya:

“Para ulama dalam umat ini sepakat tentang kehalalan menikah”.

Secara mafhum mukhalafah, kesepakatan para ulama mereka mengharamkan hubungan intim diluar nikah.

d. Qiyas

رابعًا: المعقول

الإنسان كائن اجتماعي، لا يستطيع أن يعيش منعزلاً عن أخيه الإنسان، والرجل يكمل المرأة

والمرأة تكمل الرجل، والعلاقة بينهما علاقة تعاون وتناسق وتكامل، والحاجة إليها أمر فطري

والإسلام جاء لتنظيم هذه العلاقة بعقد الزواج

Artinya:

“Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak akan mampu hidup menyendiri dari pasangannya. Pria akan sempurna dengan keberadaan wanita, dan sebaliknya.

Dan hubungan keduanya adalah hubungan yang didasarkan pada hubungan saling membantu, harmonis, dan saling menyempurnakan kekurangan masing-masing.

Keinginan untuk hidup secara berpasang-pasangan merupakan fitrah manusiawi. Islam datang membawa sistem tata nilai melalui hubungan akad pernikahan.”

Lanjut, mari kita lihat juga Nash-nash keharaman Zina.

Ada begitu banyak Ayat-ayat tentang keharamam perzinahan, diantaranya:

a. Firman Allah SWT

– Surah al-Isra ayat 32:

 

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

 

Artinya:

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”

Secara analisa kaidah Ushul Fiqh, redaksi di atas merupakan bentuk Mafhum Muwafaqah, hukum pelarangan yang tidak tertulis, dibalik teks yang tertulis.

Maknanya apa?

Maknanya, mendekati saja “TIDAK BOLEH, apalagi melakukan ZINA-nya!”

– Surah An-Nour ayat 30:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

Artinya:

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”

– Surah An-Nour ayat 4:

 

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

 

Artinya:

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”

b. Ancaman Hadits Nabi

لم تَظْهَرِ الفاحشةُ في قومٍ قَطُّ؛ حتى يُعْلِنُوا بها؛ إلا فَشَا فيهِمُ الطاعونُ والأوجاعُ التي لم تَكُنْ مَضَتْ في أسلافِهِم الذين مَضَوْا

 

Artinya:

“Tidaklah terjadi perzinahan dalam satu masyarakt, melainkan Allah tampakkan Wabah penyakit, kelaparan yang tidak pernah terjadi pada para orang sebelum mereka.”

 

قال الرسول صلى الله عليه وسلم: البكْر بالبِكْر؛ جَلْدُ مائة ونَفْيُ سَنَة، والثّيّبُ بالثّيّبِ؛ جَلْدُ مائة والرّجْم

 

Artinya:

“Gadis yang berzina, maka cambuklah mereka 100 kali dan asingkan dalam setahun. Mereka yang sudah pernah menikah cambuklah 100 kali dan rajamlah!”

Dari dalil-dalil di atas merupakan Nash-nash Qathi’e yang bersifat Muhkamat yang tidak perlu lagi membutuhkan penafsiran dan penakwilan lagi, disebabkan dalil yang sudah terang benderang.

5. Ketidakmampuan Memahami Kaidah Ushuliyyah

Ketidakmampuan Abdul Aziz dalam memahami dan menganalisa dalil-dalil muhkamat, membuatnya terjebak menjajalkan dalil-dalil yang bersifat mutasyabihaat.

Padahal, dalil hukum yang Qathie pada surah al-Isra ayat 32 sudah lebih jelas daripada penakwilannya dalam mencari celah pendalilan hukum mut’ah pada surah al-mu’minun ayat 6, malat aimaanuhum yang jelas keluar dari konteks ayat.

Jadi, terangnya Abdul Aziz sangat keliru besar dalam mengambil metodologi berpikir secara pendekatan Ushuliliyah Fiqhiyyah dalam berijtihad istinbath hukum.

Kekeliruan serta kecacatan berpikirnya secara ilmiah sudah saya tuliskan pada artikel lain. Insya Allah, saya juga akan menuliskan kesalahpahamannya dari sudut pandang Teori Hermenuetika.

Kesimpulannya: Jadi, dari sekian dalil-dalil di atas menegaskan bahwa kesimpulan Abdul Aziz sangat menyimpang dan menyesatkan, lebih dari itu menunjukkan kecacatan logika berpikir yang sangat akut dan fatal.

Pemahamam semacam itu, bukan saja sampah bagi agama Islam, juga pelecehan bagi semua agama di dunia. Agama mana yang melegalkan perzinahan? Apakah ini temasuk kategori penistaan agama?!

 

(* KH. DR. Miftah el-Banjary, MA, Penulis Nasional, Pengkaji Semiotika Tafsir al-Qur’an dan Alumnus Prog. S.3 Prodi Sastra & Bahasa Arab di Institute of Arab League, Cairo Mesir.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT