BerandaCerpenCerpen: Kisah dibalik 2035 Langkah

Cerpen: Kisah dibalik 2035 Langkah

Oleh: Muhammad Nurdin *)

PALONTARAQ.ID – Hujan terus menerus menunjukkan keperkasaannya sejak subuh tadi,  sementara dingin terus mengusik sampai terasa ke tulang sumsung. Hampir sepekan ini sulit rasanya menikmati berkas cahaya pagi. Namun biasnya yang temaran yang tersembul dari balik puncak gunung di ufuk timur. Memang ini adalah awal tahun dan biasanya merupakan puncak dari musim penghujan. Apalagi di masyarakat berkembang pemahaman, jika hujan diawali pada hari jumat, maka hujan akan turun dengan lebat dan itu akan berakhir pada jumat berikutnya.

Sejak tadi aku sudah siap untuk berangkat, tapi teman yang sering menjemputku belum juga menampakkan diri. Mungkin juga sementara dalam perjalanan. Tiba-tiba suara handphoneku berbunyi. Ada pesan yang masuk.

“Ass. Sementara saya start dari rumah, Pak!

Demikian bunyi pesan singkatnya.

Tiba-tiba ada tiupan angin yang begitu kencang di selingi derasnya hujan. Namun itu tidak mampu menyurutkan niat kami untuk berangkat ke sekolah.

Selang beberapa menit, dari sela guyuran hujan, teman saya sudah terlihat berdiri, menunggu di pinggir jalan. Kami pun berangkat menembus titik-titik air hujan yang seakan tumpah dari langit.

Setelah melewati hitungan waktu sekitar  dua puluh menit, kami pun sampai ditepian sungai. Guyuran hujan masih tak kunjung reda. Bahkan mampu memberikan irama di atas permukaan sungai.

“Pak, bisa kita menunggu sebentar?” tanya temanku sambil memandang jauh, seakan mencari sesuatu di ujung pandangan.

“Bisa. Siapa yang ditunggu?” aku balik bertanya.

”Ibu Ela mohon ditunggu katanya, karena agak takut jalan sendiri kalau hujan begini.” Jawabnya dengan sedikit senyuman.

Belum lama kami berbincang, yang ditunggu pun sudah datang. Ibu Ela, dengan jas hujannya yang masih basah oleh titik-titik hujan.

Dengan beriringan kami pun berangkat melewati jembatan kayu yang masih kokoh membelah sungai.

Perjalanan kali ini sungguh sangat menantang dan menguji ketelitian dan kecermatan kami, karena sebagaian besar jalan yang akan kami lewati licin dan berlumpur.

Sepatu yang dipakai seakan sebuah magnet karena semua lumpur pematang tambak hampir seluruhnya menempel. Sesekali teman-teman di depan saya menghentakkan kaki serta menggosok gosokkan bagian bawah sepatunya untuk menghilangkan sebagian lumpur hitam yang terus saja menempel.

Di sisi lain jalan yang kami lalui, di kiri kanannya tumbuh rumputan liar setinggi lutut. Bahkan ada yang sudah hampir setinggi badan. Tidak ada suara, hanya rintik hujan deras serta percikan ikan dipermukaan tambak yang menyertai perjalanan kami yang cukup melelahkan.

Namun di hati,  kami tetap bersyukur. Karena sesungguhnya kamilah orang-orang pilihan. Tidak semua orang mau menerima tantangan seperti ini. Hujan masih terus mengguyur sesekali, diselingi tiupan angin yang tidak terlalu kencang. Namun hawanya yang dingin  mampu menembus ke balik jas hujan yang dikenakan.

Jalan yang kami lalui sudah setengahnya dari tempat tugas. Dari balik pepohonan yang cukup rimbun, di tepian tambak samar-samar dinding sekolah berwarna orange sudah terlihat.

Kami telah semakin dekat dengan tujuan. Tumpahan air dari langit masih terus mengguyur seakan-akan ingin mengantar kami untuk sampai  ke sekolah. Semakin dekat jarak kami dengan sekolah, jalan yang kami lewati pun semakin becek dan berlumpur.

Tiba-tiba teman-teman yang ada di depan saya berhenti.

“Pak, bisa kita istirahat sejenak di pondokan yang ada di depan itu?” tanya Ibu Ela yang tampak begitu kelelahan.

Saya tidak langsung mengiyakan permintaan Ibu Guru tersebut. Saya juga menoleh ke belakang dan menanyakan pertanyaan yang sama. Akhirnya, salah seorang teman setengah berteriak dari belakang.

“Tidak usah, Pak! Lanjut saja karena sudah dekat!”

Kami pun melajutkan perjalanan  karena memang jarak hanya tersisa kurang lebih 100 meter lagi. Namun jalannya semakin parah dan menantang.

Disamping harus cermat juga harus menggunakan rasa. Lumpur, becek dan berair. Itulah yang menghiasi jalur terakhir yang akan kami lalui. Jika tidak berhati-hati, jurang-jurang kecil di samping kiri kanan setiap saat terus mengintai.

Dengan perjuangan yang cukup berat, kami pun tiba di ujung jalan. Kami sejenak menghentak-hentakkan sepatu untuk menghilangkan sebagian lumpur yang menempel.

Sesaat kemudian kami berjalan menuju sekolah yang tidak begitu jauh dari tempat kami berdiri tadi. Suasana terasa sunyi. Teras sekolah terlihat kotor dan kehitaman oleh lumpur. Sepertinya ada sebagian siswa yang tidak memakai sepatu. Tampak ada jejak kaki yang  menempel di lantai. Hujan mulai reda, namun titik-titik air masih terus  mengguyur sehingga menimbulkan bunyi di atap sekolah. Ibarat sebuah pertunjukan orkestra.

Waktu telah menunjukkan pukul 07.45 pagi. Saya pun mulai berkeliling, memantau keadaan di tiap ruang kelas. Jumlah siswa yang hadir tidak seperti hari-hari biasanya. Mungkin karena pengaruh cuaca. Sebagian teman ada yang mengatakan kalau hujan deras seperti ini ada sebagian orang tua yang melarang anaknya ke sekolah. Namun saya belum punya waktu untuk memahami makna dibalik informasi tersebut.

Sekolah tempat kami mengabdi hanya terdiri dari tiga ruang kelas. Itu pun di setiap ruangan dibuatkan sekat sehingga cukup untuk enam ruang belajar. Berada di antara rumah penduduk. Bahkan di bagian barat berdampingan langsung dengan selokan pembuangan sampah rumah tangga. Sehingga terkadang menimbulkan bau yang mengganggu indera penciuman siswa dan guru.

Sampai hari ini kami tidak berani menyampaikan keluhan. Kami masih menunggu dan menunggu niat baik mereka. Sebelumnya sekolah tersebut sudah mulai keropos karena tidak mampu menahan kondisi alam pesisir. Tapi kini setelah direhabilitasi, sedikit ada perubahan suasana. Termasuk mewah untuk ukuran kampong tersebut.

Tanpa terasa waktu terus berlalu. Bel istirahat telah dibunyikan. Namun tetap sunyi karena hanya beberapa siswa yang hadir. Saya menuju rumah dinas yang bangunannya juga sudah termakan usia.

Rumah dinas tersebut di samping sebagai ruang guru juga berfungsi sebagai ruang kepala sekolah, sekaligus administrasi. Jika terjadi pasang naik, air laut hanya beberapa meter dari lantai papan rumah tersebut. Maklum, rumah dinas tersebut dibangun di atas alur sungai. Tapi begitulah keadaannya.

Setiap saat dari balik jendela, perahu nelayan terlihat datang dan pergi. Bahkan tepat di samping rumah dinas, oleh penduduk dijadikan tempat untuk mengeringkan rumput laut yang juga merupakan usaha masyarakat selain mencari ikan dan kepiting.

Bersamaan dengan bunyi bel tanda masuk, handphone saya bordering.

“Assalamu’alaikum,” salam Pak Rahman. Beliau adalah Kepala UPTD Pendidikan Kecamatan Bungoro. Sekolah-sekolah SD di Kecamatan Bungoro berada di bawah tanggung jawabnya.

“Waalaikumsalam,” balasku.

“Saya berencana berkunjung ke sekolah Bapak,” lanjut Pak Rahman.

“O… bisa, tapi saya lihat hujan akan segera turun, Pak!” jawabku memperingati. Mengingat hujan dapat memperburuk medan sehingga perjalanan menjadi bertambah melelahkan.

Memang beliau terkadang menyempatkan diri berkunjung ke sekolah kami tapi jalurnya dari arah utara. Katanya, jalannya tidak terlalu jauh, tapi tetap licin dan berlumpur, terlebih musim hujan seperti ini.

Memang sekolah kami berada di perbatasan kecamatan yang dibatasi oleh sungai yang bermuara ke laut sebelah barat. Belum ada kendaraan yang mampu menembus ke lokasi sekolah. Bahkan penduduk setempat hanya menyimpan kendaraanya saja, selanjutnya berjalan menyusuri pematang tambak.

Mengabdikan diri di daerah pesisir seperti itu membutuhkan kesabaran. Bahkan terkadang kami harus menerima kritik yang terkadang mengusik rasa keikhlasan kami. Terkadang di tuduh malas, lambat datang tapi cepat pulang. Bahkan beberapa tahun lalu pernah dimuat disalah satu surat kabar terkenal, namun kami tetap tegar untuk sebuah pengabdian.

Di ufuk barat awan semakin menghitam, diiringi suara gemuruh guntur yang samar terdengar. Kata orang tua dulu, bunyi  guntur yang terdengar seperti itu memberi isyarat bahwa musim penghujan berada pada puncaknya.

Waktu pun menunjukkan pukul 12.05 siang. Salah seorang teman guru yang paling senior dari kami –karena beberpa bulan lagi akan memasuki masa purnabakti– menghampiriku.

“Dinda…,” demikian panggilannya yang sangat karab di telinga saya, “sebaiknya kita semua bersiap-siap untuk kembali karena sepertinya hujan akan segera turun, dan kelihatannya akan sangat deras.”

“Iya kanda, memang sebaiknya kita segera bersiap-siap pulang,” sahutku sembari mengamati langit yang tampak menggelap.

Kami memang kalau ke sekolah melalui jalur yang berbeda. Dia dari arah utara sementara saya dengan lima teman lainnya dari arah selatan.

Beberapa saat kemudian kami pun berangkat. Bersamaan dengan itu pula  hujan pun  turun dengan sangat derasnya, seakan ada sesuatu yang senagaja ditumpahkan dari langit. Dengan memakai jas hujan kami kembali menyusuri jalan yang penuh dengan lumpur dan licin. Sebenarnya kami bisa saja pulang lebih awal, tapi sebagian teman masih menyimpan rasa trauma karena adanya laporan yang ketika itu sangat menyakitkan hati.

“Pak, saya sudah hampir 10 tahun melalui jalan ini, dan terkadang di hati kecil saya merasakan keharuan kapan nasib saya bisa berubah? Apakah akan terus begini?” kata teman saya yang masih berstatus honorer.

Saya pun menimpali, ”Ya, tetaplah sabar dan semangat, insya Allah suatu saat nanti Tuhan akan memberikan yang terbaik. Saya kira itu janji Tuhan bagi hambanya yang sabar dan ikhlas menjalaninya.”

Demikian nasehat saya kepadanya.

Tiba-tiba ada kilat seakan-akan ingin menyambar. Kami pun semua berjongkok. Dada saya berdegup kencang, karena jalan yang kami lalui merupakan ruang terbuka hanya beberapa pepohonan yang tumbuh di pinggir tambak.

Sesaat kemudian terdengar dentuman keras dari arah barat. Salah seorang dari kami sempat menjerit. Mungkin merasa kaget dengan suaranya yang menggelegar. Suasana sunyi semakin terasa hanya suara titik-titik hujan yang terasa memberi untaian melodi di atasa permukaan tambak. Ditambah dengan gesekan jas hujan teman yang pas berada di belakang saya.

Perjalanan kami terasa lambat karena sesekali kami harus berjingkrak menghindari lumpur dan tanah yang licin. Awan pun terlihat menggelayut mengelilingi segenap permukaan langit. Sepertinya hujan ini mengantar sampai ke rumah masing-masing.

Namun, di sisi lain jalan yang kami lalui, sepanjang 2035 langkah ini menyimpan nuansa dan panorama indah, karena terkadang di tengah derasnya hujan masih terlihat sekelompok burung. Entah burung apa namanya. Terbang rendah dan sesekali menukik di atas permukaan tambak hendak menyambar para penghuni di dalamnya. Bahkan terkadang saya berpikir, alam yang cukup indah ini, yang diapit oleh dua buah sungai, bisa menjadi peluang emas jika suatu saat nanti dijadikan tempat peristirahatan. Namun ini hanya impian saya saja. Tiba-tiba saya tersentak dan kaget karena beberapa langkah di depan saya terdengar jeritan.

Saya pun mempercepat langkah, ternyata ada teman yang jatuh, kakinya terpleset masuk ke dalam sauwang (sebuah papan berbentuk kotak tempat keluar masuknya air ke tambak). Untung saja perjalanan sudah dekat. Sejenak langkah berhenti, sepertinya kaki ibu guru tersebut terkilir karena dari mulutnya keluar suara meringis. Sementara di situ tidak ada tempat atau rumah tambak untuk sejenak beristirahat.

Setelah kakinya diurut oleh teman lainnya, ia mulai berdiri tapi dia tetap meringis. Dengan langkah yang sedikit terpincang-pincang kami pun melanjutkan perjalanan karena dari kejauhan sudah terlihat jemabatan kayu melengkung.

Deretan rumah di tepian sungai sudah nampak jelas, bahkan deru perahu yang datang dan pergi. Namun dengan kaki yang terkilir begitu yang harus melalui lumpur yang licin, memerlukan tenaga ekstra. Apalagi dia perempuan. Jarak kami begitu dekat, tapi tantangan semakin berat, jalur yang tidak rata jika tidak hati-hati, kita bisa saja tercebur ke sungai atau tambak.

Tapi selangkah demi selangkah dan pasti akhirnya kami pun tiba di rumah yang ada ditepian sungai itu, yang sekaligus tempat kami semua memarkir kendaraan. Waktu telah menunjukkan pukul 12.55 siang. Begitu lama perjalanan yang harus kami lalui dengan kondisi hujan dan lumpur yang licin.

“Para astronot baru saja melakukan pendaratan dari luar angkasa,” candaku.

Kamipun semua tertawa lepas. Seakan langkah kami yang 2035 itu sejenak terlupakan. Setelah berbincang sejenak selanjutnya bersalaman ala komando, kamipun beranjak pulang menembus derasnya hujan yang sepertinya tidak untuk reda. Namun semua itu adalah pemberian Allah  yang  patut kita syukuri, karna apa yang ada di dunia ini tidaklah sia-sia.

Jalan yang telah kami lalui sepanjang waktu semuanya bertasbih kepadaNya dan kami yakin nun jauh di atas sana akan tercatat sebagai ibadah dan amal jariah. Kami semua akan tetap terus mengabdi, walau jauh di pesisir sana, untuk menyelamatkan masa depan anak-anak negeri. (*)

 

(* Muhammad Nurdin, S.Pd., Guru SD Negeri 26 Jollo, Padang-Padangeng, Desa Bulu Cindea, Kec. Bungoro, Kab. Pangkajene dan Kepulauan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT