BerandaArtikelPerlunya Keadilan dalam Merumuskan Kebijakan Kependudukan

Perlunya Keadilan dalam Merumuskan Kebijakan Kependudukan

Oleh: Dr. Adian Husaini

PALONTARAQ.ID – Dalam sebuah artikel berjudul “Kajian Kebijakan Kependudukan di Indonesia”, di Jurnal Ilmu Administrasi Publik 1 (2) (2013), UGM Yogyakarta, penulisnya mengungkapkan, bahwa prediksi Thomas Robert Malthus (1766-1834), dalam soal pertumbuhan penduduk dan ketersediaan pangan, bisa dikatakan cukup tepat dan tetap berlaku hingga saat ini.

Menurutnya, teori Malthus tentang kependudukan yang ditulis dalam esainya yang berjudul “Essay on the Principle of Population”, turut memberikan pengaruh besar untuk meyakinkan Darwin tentang terjadinya proses seleksi alam dalam evolusi mahluk hidup. Malthus menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan penduduk adalah berdasarkan deret geometri (1, 4, 9,16, … dst.) sedangkan jumlah makanan hanyalah bertambah menurut deret aritmetika (1, 2, 3, 4,… dst.).

Dengan pertumbuhan penduduk seperti sekarang, pengangguran semakin banyak dan pada akhirnya menimbulkan banyak masalah. Sebab, orang yang tidak bekerja tetap makan dan banyak di antaranya yang kemudian terpaksa melakukan apa saja untuk menyambung hidupnya.

Bila sebagian di antara mereka masih bersedia untuk menyambung hidup secara halal maka ternyata banyak juga di antaranya yang kemudian terpaksa harus dengan cara melanggar hukum dan norma agama sebab kebutuhan perut memang tak dapat ditunda sehari pun.

Bila kaum prianya banyak yang terjerumus melakukan kejahatan, maka kaum wanitanya banyak yang terperosok ke dalam prostitusi. Dan rasanya, tidak ada seorang pun yang bercita-cita untuk menjadi penjahat semasa kecilnya. Menurut sebuah penelitian, 95 persen wanita tuna susila sebenarnya juga ingin melakukan pekerjaan yang lain. yang halal, yang terhormat, yang baik- baik, jika memang ada.

Penulis artikel itu menawarkan solusi untuk memberantas penyebab kemiskinan dan pengangguran. Salah satu cara memberantas kemiskinan dan pengangguran ini adalah dengan kontrol kelahiran. Sebab, dengan kontrol kelahiran, akan lebih mudah mengatasi kemiskinan. Dengan sedikit kelahiran, maka akan terdapat ruang yang cukup bagi semua orang untuk mencari makan.

“Dengan itu pula kita akan bisa dengan lebih mudah mengatasi pengangguran, karena kita memang akan bisa lebih mudah pula mengupayakan agar pertumbuhan angkatan kerja senantiasa sesuai dengan lapanngan kerja yang tersedia,” tulisnya.

Selain menimbulkan berbagai macam masalah sosial, jumlah penduduk yang semakin bertambah juga menimbulkan dampak pada masalah yang lain, yaitu masalah lingkungan. Semakin banyak penduduk berarti semakin banyak areal persawahan dan hutan yang berubah fungsi menjadi pemukiman penduduk.

***

Begitulah cara berpikir banyak orang dan pejabat negara agar negara kita semakin makmur. Karena ketersediaan pangan yang terbatas, maka yag diperlukan adalah pembatasan atau pengurangan angka kelahiran, agar manusia yang berebut pangan semakin sedikit.

Cara berpikir seperti itu sebetulnya tidak sepenuhnya benar. Sebab, faktanya, kekayaan alam di Indonesia sangat melimpah ruah. Yang perlu dilakukan adalah pemerataan persebaran penduduk, agar jangan menumpuk di beberapa pulau saja. Jumlah pulau di Indonesia mencapai belasan ribu pulau. Yang dihuni hanya beberapa ratus pulau saja.

Sebagai contoh, di Provinsi Kepulauan Riau, ada sekitar 2400 pulau. Yang dihuni hanya sekitar 300 pulau. Jumlah penduduk provinsi ini hanya 2 juta jiwa. Sebanyak 1,4 juta tinggal di Pulau Batam. Sekitar 200 ribu jiwa tinggal di Tanjung Pinang. Sisanya, 300 ribu jiwa, tersebar di sekitar 300 pulau. Jadi, masih ada sekitar 2000 pulau yang nganggur.

Selama dua tahun terakhir, saya mengunjungi sekitar 20 provinsi di Indonesia. Begitu melimpahnya kekayaan alam kita. Tanah-tanah yang subur dan nganggur begitu banyak kita jumpai, di mana-mana. Padahal, tanah itu ditanami singkong saja tumbuh dan menghasilkan produk yang bisa dikonsumsi dan bernilai ekonomi.

Bahkan, tak perlu jauh-jauh ke luar Jawa. Di Pulau Jawa saja masih banyak area hutan dan tanah-tanah kosong yang nganggur, tak digarap dengan layak. Belum lagi lautan yang begitu luas dan sangat kaya dengan sumber daya laut.

Maka, kebenaran teori Malthus itu sebenarnya patut dipertanyakan. Manusia kelaparan dan hidup dalam kondisi kekurangan bukan karena menipisnya sumber pangan. Tetapi, karena enggan memanfaatkan lahan-lahan dan potensi alam lainnya.

Di sinilah pentingnya faktor pendidikan yang benar dan tepat untuk rakyat Indonesia! Rakyat Indonesia yang 270 juta lebih ini tidak kekurangan pangan atau kekurangan tempat tinggal, jika dididik dan diberdayakan dengan baik. Rakyat bukan hanya memerlukan skill untuk memanfaatkan lahan, tetapi juga pandangan hidup (worldview) yang benar.

Rakyat akan mau bekerja keras, terjun ke daerah-daerah pelosok jika mereka diberikan pemahaman tentang makna dan tujuan hidup yang hakiki dan membahagiakan. Makna sukses hidup bukan hanya diukur dari jumlah pendapatan per kapita, tetapi sukses adalah ketika seorang menjalani hidup yang penuh kebahagiaan (sa’adah).

Apalagi, Pancasila sangat menekankan ditegakkannya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. “Adil” bukan berarti harus sama semua. Semua penduduk diperintahkan agar maksimal hanya punya dua anak. Penyamarataan seperti ini tentu tidak adil.

Ada manusia yang unggul dalam hal akhlak, ekonomi, pendidikan, dan kepemimpinan, sehingga ia layak diberi kesempatan untuk memiliki anak dalam jumlah banyak. Karena ia mampu mendidik dengan baik. Manusia-manusia terdidik ini berpotensi utuk mengembangkan sumber daya alam yang melimpah.

Sebaliknya, ada orang-orang yang sepatutnya tidak mempunyai anak sama sekali. Misalnya, pemerkosa. Manusia bejat seperti ini jangan dikasih kesempatan untuk mempunyai anak. Ia patut dihukum dan dikebiri. Maka, jangankan beranak dua, punya satu anak saja ia tidak layak. Ini yang namanya “adil”. Yakni, menempatkan atau memberikan perlakuan kepada seseorang sesuai dengan kondisi masing-masing.

Prinsip keadilan inilah yang perlu ditegakkan dalam merumuskan kebijakan tentang kependudukan. Jangan sampai masalah kependudukan hanya didekati dengan satu cara pandang saja. Bahwa, semakin kecil jumlah penduduk, maka akan semakin besar peluangnya untuk hidup sejahtera. Cara pandang seperti ini tidak adil dan perlu dievaluasi.

InsyaAllah dengan jumlah penduduk yang banyak, tetapi mereka adalah orang-orang baik, maka mereka akan memberikan manfaat bagi kemajuan bangsa Indonesia kedepan. Ungkapan “banyak anak, banyak rejeki” itu betul, jika anak-anak itu dididik dengan benar dan tepat, sehingga mereka menjadi manusia yang berguna bagi sesama.

Wallahu A’lam bish-shawab. (*)

 

Dr. Adian Husaini, Depok, 9 Maret 2023

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT