BerandaAkademiaBeginilah Cara Membangun Peradaban Mulia di Bumi Nusantara

Beginilah Cara Membangun Peradaban Mulia di Bumi Nusantara

Oleh: Dr. Adian Husaini 

PALONTARAQ.ID – Pakar sejarah Arnold Toynbee menekankan peran penting agama dalam suatu peradaban. Berbeda dengan Samuel Huntington, Toynbee tidak menekankan pada wacana clash of civilizations, tetapi lebih menekankan pada aspek ‘peran dinamis agama dan spiritualitas dalam kelahiran dan kehancuran satu peradaban’.

Ia menyimpulkan, banyak peradaban yang hancur (mati) karena ‘bunuh diri’ dan bukan karena benturan dengan kekuatan luar. Dalam studinya tentang kebangkitan dan kehancuran peradaban, Toynbee menemukan, bahwa agama dan spiritualitas memainkan peran sebagai ‘chrysalis’ (kepompong), yang merupakan cikal bakal tumbuhnya satu peradaban.

Antara kematian dan kebangkitan satu peradaban baru, ada kelompok yang disebut Toynbee sebagai ‘creative minorities’ – yang dengan spiritual yang mendalam (deep spiritual) atau motivasi agama (religious motivation)– bekerja keras untuk melahirkan satu peradaban baru dari reruntuhan peradaban lama.

Karena itu, ujarnya, aspek spiritual memainkan peran sentral dalam mempertahankan eksistensi suatu peradaban. Peradaban yang telah hilang inti spiritualitasnya, maka ia akan mengalami penurunan (Civilizations that lost their spiritual core soon fell into decline).

Berdasarkan analisis Toynbee itu, bisa dipertanyakan, dimana posisi agama dalam upaya kebangkitan ‘peradaban Indonesia’? Indonesia perlu melihat secara cermat pada peradaban mana negara ini akan dikaitkan, baik pada masa lalu maupun masa kini dan mendatang? Apakah Indonesia mau mengkaitkan dirinya dengan peradaban Islam, peradaban Hindu, atau peradaban Barat?

Untuk itu, bangsa Indonesia perlu menelaah dengan cermat sejarah dan perjalanan berbagai peradaban dalam meraih kebangkitan. Selama ini, Indonesia telah mengaitkan dirinya dengan peradaban Hindu-Majapahit, dan mengagungkan Gajah Mada sebagai tokoh utama pemersatu Nusnatara.

Di dalam Tafsir al-Azhar, saat menguraikan makna QS al-Maidah ayat 57-63, Buya Hamka, membuat uraian khusus tentang rangkuman strategi misionaris Kristen dan orientalis dalam menyerang Islam. Caranya adalah dengan mengajarkan sejarah yang salah.

Hamka, antara lain mencatat: “Diajarkan secara halus apa yang dinamai Nasionalisme, dan hendaklah Nasionalisme diputuskan dengan Islam. Sebab itu bangsa Indonesia hendaklah lebih mencintai Gajah Mada daripada Raden Patah. Orang Mesir lebih memuja Fir’aun daripada mengagungkan sejarah Islam…”.

Renungkanlah kembali kata-kata Buya Hamka itu! Bahwa untuk mengokohkan penjajahan, maka DIAJARKAN nasionalisme yang sudah dijauhkan dari pijakan Islam. Itulah nasionalisme sekuler. Anak-anak sekolah diajarkan untuk mencintai tanah air tanpa dikaitkan dengan rasa syukur dan ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Jika nasionalisme dijauhkan dari ajaran Islam, maka seolah-olah bangsa Indonesia boleh semaunya saja mengelola negeri ini, terlepas dari tuntunan Ilahi. Seolah-olah kekayaan alam di Indonesia ini boleh digunakan apa saja, semaunya orang Indonesia, tanpa mempedulikan panduan kemaslahatan yang telah dicontohkan oleh utusan Allah SWT yang terakhir, yaitu Nabi Muhammad saw.

Jika kecintaan terhadap tanah air tidak dilandasi agama, dan manusia Indonesia merasa berhak mengelola negeri ini semaunya sendiri, sesuai dengan pikiran dan hawa nafsunya sendiri, maka yang terjadi pastilah kerusakan dan kehancuran. Berkah akan hilang, sebab para pemimpin dan rakyatnya berlaku angkuh dan tidak mau beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.

Padal Allah SWT menjanjikan: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS al-A’raf: 96).

Jadi, kita simak lagi pendapat Arnold Toynbee, bahwa aspek spiritual memainkan peran sentral dalam mempertahankan eksistensi suatu peradaban. Peradaban yang telah hilang inti spiritualitasnya, maka ia akan mengalami penurunan (Civilizations that lost their spiritual core soon fell into decline).

Maka, jika ingin mewujudkan satu peradaban mulia di bumi Nusantara, maka umat Islam – sebagai mayoritas penduduk di negeri ini – harus berjuang keras untuk menempatkan dirinya sebagai ‘pemimpin’ di semua bidang kehidupan. Artinya, upaya menjauhkan umat Islam dari tuntunan agamanya, justru akan menghambat kebangkitan peradaban mulia di bumi Nusantara.

Semua itu bergantung kepada kualitas manusia muslim di Indonesia, yang ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Umat Islam perlu merumuskan dan merintis jalannya sendiri dalam mewujudkan peradaban mulia itu. Siapa pun gubernur, menteri atau presidennya.

Kerja-kerja kebangkitan peradaban ini – sebagaimana dirumuskan oleh Arnold Toynbee — bergantung kepada “kelompok-kelompok kecil yang cerdas dan kreatif” (creative minorities); Kebangkitan peradaban mulia tidak dibangun oleh kerumunan massa yang tidak cerdas dan tidak kreatif. Wallahu A’am bish-shawab.

 

www.adianhusaini.id

Depok, 14 Februari 2023

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT